Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rezim Iran: Model Penyesatan dan Kerusakan Saat Tiadanya Khilafah


Rezim yang berkuasa di Iran sejak revolusi 1979 —yang mereka sebut revolusi ideologi Islam— mendapat legitimasi kekuasaannya dengan meyakinkan para pengikutnya untuk menegakkan hukum Islam, yakni “pemerintahan Islam” yang didasarkan pada tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) dan standar Islam, serta mengadopsi hukum-hukum Islam sebagai konstitusinya.

Namun, gelembung-gelembung yang mereka lepaskan di udara itu hanya untuk mendapatkan pengikut, dan membius perasaan kaum Muslim di dunia, yang segera memudar dengan cepat ketika konstitusi yang dibuatnya tidak berbeda dari konstitusi sekuler manapun, yang mengabadikan sistem republik, dan asas pemisahan kekuasaan, serta mengadopsi sistem kapitalisme sebagai dasarnya, sekalipun berusaha menutupinya dengan pembalut Islam. Sehingga tercipta gagasan kabur yang disebut dengan wilāyah al-faqīh (kekuasaan ahli fiqih), kemudian menjadikannya sebagai dasar bagi pemerintahan yang disebutnya dengan pemerintahan Islam.

Apakah sistem yang dibentuk oleh revolusi Iran itu menyebabkan kebangkitan rakyat Iran dan kemajuannya? Apakah Iran terbebas dari ketergantungan politik, ekonomi dan budaya kolonialis imperialis seperti yang diklaimnya? Ataukah Iran diselimuti kerusakan masyarakat, pendistorsi secara ekonomi, sosial, budaya dan politik? Lebih dari itu, apakah Iran benar-benar menerapkan sistem Islam ini, ataukah itu kebohongan dan kepalsuan semata?

Pertama: Kondisi Perekonomian

Iran adalah negara dengan perekonomian terbesar kedua di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dalam hal Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP)—yang mencapai 282 miliar dolar pada tahun 2002—dan produsen minyak terbesar keempat di dunia setelah Arab Saudi, Rusia dan Amerika Serikat—yaitu empat juta barel per hari—serta kelima terbesar pengekspor minyak di dunia, dan kedua yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia setelah Arab Saudi, dengan cadangan minyak Iran sekitar 10 persen dari total cadangan dunia, dan memiliki cadangan gas alam terbesar kedua di dunia. Termasuk anggaran 2014—menurut Iran TV—mencapai 290 miliar dolar, sesuai laporan Bank Dunia, Maret 2014.

Kepala Komite Energi, di Dewan Syura Islam Iran, Mas’ud Mir-Kazemi menekankan bahwa “Republik Islam Iran memiliki kekayaan yang luar biasa dari minyak dan gas, dan menempati peringkat pertama di dunia. Juga terdapat lebih dari tiga ribu tambang aktif yang memproduksi berbagai mineral dan logam. Bahkan banyak dari hasil pertanian Iran merupakan penyumbang pertama hasil pertanian di dunia.” (Channel Alalam, 24/06/2013).

Namun, kenyataan di Iran, bahwa rakyat Iran menderita krisis besar terkait bahan bakar mobil, dan berada pada tingkat yang mengerikan dalam hal pengangguran, kemiskinan, korupsi dan inflasi. Iran mengimpor 40 sampai 50 persen dari kebutuhan bensin mobil (situs al-Quds, 28/03/2014, dan al-Iqtishadiyah, 01/07/2007). Bahkan pemerintah berencana untuk meningkatkan impor bensin. Harga minyak naik 75 persen pada Maret 2014, dua hari setelah 95 persen dari rakyat Iran mendaftarkan nama mereka dalam program bantuan tunai, sehingga hal ini membuat pemerintah mulai berkampanye yang mendesak keluarga Iran untuk meninggalkan program tersebut (Alarabiah Net, 27/04/2014).

Pusat Statistik Iran mengumumkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan anak muda saat ini mencapai 26%. Menteri Koperasi dan Pekerjaan, Ali Rabi’i mengatakan bahwa penciptaan lapangan kerja untuk saat ini tidak mungkin, sebab pertumbuhan ekonomi di negara tersebut masih di bawah nol (Alarabiah Net, 25/10/2013), berdasarkan laporan Bank Sentral Iran. Sementara tingkat inflasi tahunan saat ini bertengger di 34,7% (Alarabiah Net, 27/04/2014). Dan dalam satu bulan harga makanan naik berkisar 34% dan 48% (France, 24/04/2012).

Seorang anggota parlemen Iran, Musa Tsarwati mengatakan bahwa 20% dari rakyat Iran hidup di bawah garis kemiskinan, dan sebagian besar dari mereka tidak menerima layanan yang diperlukan dari pihak yang berwenang. Tsarwati mengatakan: “Statistik menunjukkan bahwa 15 juta warga yang mewakili 20% dari total penduduk negara hidup di bawah garis kemiskinan.” Ia menjelaskan bahwa “7 juta dari mereka ini tidak mendapatkan dukungan apapun dari instansi pemerintah, dan mereka tidak mendapatkan layanan apapun untuk meningkatkan standar hidupnya (Alarabiah Net, 06/03/2014).

Selain tingginya jumlah perumahan kumuh di Iran. Dalam laporan Pusat Studi al-Jazerah (05/03/2012) disebutkan bahwa dari hasil beberapa studi dan penelitian diketahui ada lima juta orang—ada yang mengatakan dua puluh juta orang—hidup di daerah kumuh.

Adapun korupsi di negara ini sudah mencapai batas yang tidak bisa dikendalikannya. Seorang anggota parlemen Iran, Ghulam Ali Ja’far Zadah, anggota komisi investigasi di parlemen memperingatkan bahwa besarnya angka korupsi yang terungkap pada masa pemerintahan Ahmadinejad, bisa merugikan negara dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara.

Ia mengatakan: “Korupsi sudah sangat besar hingga batas yang membuat kami sangat takut jika semua terungkap dapat menyebabkan perlawanan sosial terhadap sistem.” Sungguh, amat disayangkan bahwa pemerintah Ahmadinejad yang mengklaim pemerintahan bersih, justru menunjukkan kejahatan yang sangat besar.” (al-hayah, 13/10/2013).

Situs Erem News dalam sebuah laporannya (27/08/2014) mengatakan bahwa sebagai akibat dari situasi ekonomi yang memburuk di Iran, ribuan rakyat Iran bermigrasi—yang sebagian besar berijazah dan memiliki keahlian tinggi—demi menghindari kesulitan hidup dan kurangnya kesempatan kerja. Mantan Menteri Sains, Teknologi dan Riset Iran Reza Faraji Dana mengatakan bahwa besarnya angka yang meninggalkan Iran karena menghindari situasi yang keras, yaitu sekitar 150 ribu elite setiap tahun.

Akan tetapi kebiasaan pemerintah, bahwa mereka tidak pernah menemukan jalan keluar bagi kegagalan pengelolaan negara, kecuali mencabut hak-hak rakyat dan mempersulit hidupnya. Sehingga pemerintah tidak pernah menemukan jalan keluar bagi krisis ekonominya, kecuali apa yang disebut dengan reformasi radikal, di antaranya adalah mengubah total kebijakan subsidi listrik, bahan bakar, dan bahan makanan pokok (Alarabiah Net, 27/04/2014).

Mungkin beberapa kata yang diungkapkan oleh salah seorang rakyat biasa yang mengelola sebuah toko kecil ini mencerminkan ekspresi fasih tentang kondisi ekonomi dan kehidupan di Iran: “Harga-harga naik, dan penjualanku menurun sekali.” Ia menambahkan: “Kehidupan tidak semakin lebih baik.” (surat kabar an-Nahar (27/04/2014).

Kedua: Kondisi Sosial

Masyarakat Iran menderita akumulasi masalah sosial, yang paling penting dan paling tinggi penyebarannya adalah penggunaan narkoba di kalangan anak muda, serta penyebaran prostitusi sebagai akibat langsung dari memburuknya kondisi perekonomian dan kehidupan di negara ini.

Iran—menurut laporan internasional—menempati peringkat tertinggi pecandu narkoba di dunia, khususnya heroin dan opium; 2,5% dari populasi berusia di atas 15 tahun, adalah para pecandu beberapa jenis obat-obatan terlarang (al-Bayan, 07/08/2013). Pada tahun 2000, pemerintah secara resmi mengakui bahwa ia memiliki 1,2 juta pecandu narkoba (BBC Arabic, 15/12/2000). Bahkan beberapa departemen pemerintah percaya bahwa jumlah pecandu mencapai hingga empat juta orang (asy-Syarq al-Ausath, 24/09/2005).

Surat kabar asy-Syarq al-Ausath (24/09/2005) mengatakan dengan mengutip dari Darkhash Mukiri, Direktur Pusat Nasional Iran untuk Studi Ketergantungan bahwa ketika gempa menghancurkan kota Bam di akhir tahun 2003, maka di antara barang bantuan yang dikirim oleh pemerintah ke kota itu adalah dosis metadon (sejenis obat opioid sintetik, yang digunakan sebagai analgesik dan untuk merawat kecanduan dari pengguna golongan opioid, seperti heroin, morfin dan kodein), karena diyakini bahwa 20 persen dari penduduk di wilayah itu adalah para pecandu. Mengingat banyaknya rakyat Iran yang menjadi pecandu opium, hingga para analis pemerintah merekomendasikan bahwa negara harus belajar cara budidaya opium.

Sebagai akibat dari penyebaran kemiskinan, serta buruknya kondisi perekonomian dan kehidupan di negara ini, maka tidak sedikit perempuan yang melakukan praktek prostitusi untuk melarikan diri dari kenyataan menyakitkan yang mengelilingi mereka. Surat kabar al-Bayan (07/08/2013) mengutip dari Radio Free Europe bahwa berdasarkan angka resmi, ada 300 ribu wanita yang bekerja sebagai pelacur di Iran, dan menurut surat kabar ini, jumlah itu terus meningkat.

Rasul Nafisi, seorang sosiolog dan Dekan Fakultas Studi Persia di Strayer University of Washington menyatakan, “Alasan peningkatan prostitusi sekarang adalah lemahnya perekonomian, tingginya angka perceraian, dan eksploitasi perempuan yang melarikan diri dari keluarga miskin.”

Situs Bahrain News (27/01/2014) mengutip dari majalah Lebanon al-Syira’, edisi (684) bahwa mantan Presiden Iran mengatakan ada seperempat juta anak pungut (semula terlantar) di Iran akibat dari pernikahan kontrak (mut’ah).

Jamela Kadivar, anggota parlemen Iran, dan anggota Fraksi Perempuan di Parlemen mengatakan: “Sumber utama kegelisahan kami terletak pada penyebaran tren ini secara dramatis. Dikatakan bahwa angka resmi yang dirilis oleh Organisasi Kesejahteraan Sosial menjelaskan bahwa ada lebih dari 1,7 juta perempuan dan gadis, yakni sekitar (6 %) dari jumlah perempuan di Iran, mereka melarikan diri dari rumahnya, dan menjadi tunawisma, sehingga banyak dari mereka yang akhirnya melakukan praktek prostitusi.”

Sementara reaksi rezim yang berkuasa terkait masalah ini, bahwa Presiden Rohani mendorong lembaga-lembaga pemerintah untuk “menahan diri dari terlalu banyak campur tangan dalam kehidupan rakyat yang tidak bisa mengintimidasi mereka dengan cambuk untuk masuk surga, namun biarkan mereka memilih jalan mereka sendiri ke surga.” (surat kabar al-Hayah, 13/10/2013).

Ketiga: Republik Sektarian, Bukan Islam

Pasal XIII dari Konstitusi Iran menyatakan bahwa “Agama resmi Iran adalah Islam, dan doktrinnya adalah Ja’fari Itsna Asyari. Pasal ini akan tetap tidak berubah selamanya. Sedang doktrin-doktrin Islam lainnya … untuk doktrin-doktrin ini ada pelajaran resmi dalam masalah pendidikan, pengajaran keagamaan, dan hukum-hukum perdata.”

Siapapun yang mencermati Konstitusi Iran, yang menetapkan doktrin mayoritas, di samping menjadikan bahasa Persia sebagai bahasa resmi, maka ia akan meyakini bahwa konstitusi ini dibuat untuk sebuah negara sektarian, dan bukan negara Islam, sebagaimana yang diklaim oleh rezim penguasa. Negara Iran adalah negara nasionalisme, bukan negara bagi seluruh kaum Muslim.

Lebih dari itu, Iran didirikan sebagai negara sekuler yang diinginkan oleh sistem kapitalisme Barat. Sehingga Konstitusi dan undang-undang yang dirancang tidak ada hubungannya dengan Islam, atau dengan doktrin Ja’fari. Bahkan Iran tidak memperlakukan sama antara pengikut doktrin mayoritas dan pengikut doktrin-doktrin Islam yang lain, bahkah Iran cenderung memecah-belah mereka daripada menyatukannya.

Jadi, hanya sekedar janji bahwa doktrinnya dihormati dalam pengajaran, pendidikan agama, masalah perceraian dan pernikahan. Namun, jika kita perhatikan tampak perasaan benci dan ketidaksukaan yang disengaja, serta permusuhan terhadap doktrin lainnya, juga mengajari rakyat Iran permusuhan sektarian, dan menciptakan perselisihan sektarian. Semua ini adalah adonan yang siap untuk memaksakan dominasi mereka atas rakyat Iran, dan dengannya mereka berhasil melindungi mereka dari pemusnahan di tangan para pengikut doktrin lainnya, juga penggunaan api permusuhan ini untuk kepentingan rezim yang berkuasa, dan sebagai dalih kebijakan luar negerinya, yang akan dijelaskan nanti.

Misalnya, pengangkatan gubernur, para menteri, dan anggota presidium parlemen, semua didasarkan atas sektarian. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Shabah Musawi, Kepala Biro Politik Partai an-Nahdhah al-Ahwazi dikatakan: “Tidak ada seorang pun menteri atau gubernur yang dari Sunni. Juga, tidak ada satu orang Sunnipun di dalam anggota presidium parlemen Iran. Dan selama 27 tahun, kami meminta izin untuk membangun masjid Sunni di ibukota Teheran, namun pemerintah selalu menolak untuk menyetujui permintaan ini.” (surak kabar Elaf, 21/10/2010).

Sejauh ini, Iran hanya menjadikan doktrinisme untuk mencapai tujuan dan kepentingan rezim yang berkuasa, tanpa ada kepedulian terhadap doktrin jika bertentangan dengan kepentingan nasionalnya. Iran tidak melakukan apa pun untuk menolong rakyat Azerbaijan—yang kebanyakan mengikuti doktrin Ja’fari—dari pembantaian yang dilakukan Rusia terhadap mereka, pada tahun 1989, juga tidak mendukung mereka saat Armenia mendeportasi lebih dari satu juta orang Azerbaijan, pada tahun 1994, sementara itu kita menemukan bahwa Iran membela dan mendukung orang-orang Syiah yang berada di daerah lain, seperti di negara-negara Teluk, Yaman, Mesir dan Pakistan, dengan tujuan untuk melemahkan negara-negara ini, dan membangkitkan kerusuhan di dalamnya.

Sehingga kami dapati dengan jelas, bahwa Iran menggunakan doktrin Ja’fari hanya untuk mewujudkan kepentingan nasional dan regionalnya, dan untuk melaksanakan rencana politik yang didiktekan oleh tuannya, serta untuk memobilisasi pengikut dan pendukung.

Keempat: Kebijakan Luar Negeri dan Kebohongan Permusuhan Iran-Amerika

Legitimasi rezim yang berkuasa di Iran ini dibangun di atas gelembung permusuhan dengan Amerika, dan menggambarkan AS sebagai “Setan Besar”, di samping pura-pura menjalankan peran sebagai pembela dan pendukung isu Palestina, kepemimpinan poros pencegahan dan perlawanan, serta slogan-slogan kilat yang cerah di langit namun tidak memberikan dampak apa-apa di bumi.

Juga, senantiasa melekat pada pemerintah di Iran, yaitu permusuhan terhadap AS, serta sanksi ekonomi akibat kegagalan kebijakan dalam negerinya. Kepala Komite Energi di Majelis Syura Islam Iran, Mas’ud Mir Kazemi mengatakan bahwa “Iran memiliki masa depan yang sangat cerah. Sementara yang menimbulkan kemarahan Amerika adalah suatu kenyataan bahwa akan ada negara yang ingin berdiri di atas kaki sendiri tanpa bergantung pada Timur atau Barat, serta meniup revolusi agama Islam, sehingga revolusi ini mampu untuk mencapai kemajuan meski harus menghadapi semua kendala.” (Channel Alalam, 24/06/2013).

Namun, bukan rahasia lagi tentang fakta peran Iran dalam barisan Amerika, dan perannya sebagai ujung tombak untuk pelaksanaan proyek dan rencana AS di kawasan itu. Surat kabar asy-Syarq al-Ausath (06/10/2013) mengutip dari mantan Kepala Dewan Penentuan Kepentingan Presiden Iran, Ali Akbar Hashemi Rafsanjani yang mengatakan bahwa “Pasukan Iran memerangi Taliban dan memberikan kontribusi dalam mengalahkannya. Bahkan seandainya pasukan Iran tidak membantu dalam memerangi Taliban, niscaya Amerika akan tenggelam dalam rawa-rawa Afghanistan.

Amerika harus sadar bahwa jika bukan karena Tentara Rakyat Iran, niscaya Amerika tidak pernah mampu menjatuhkan Taliban.” Di samping Iran mendukung  rezim yang diciptakan oleh Amerika di Irak, Iran juga membela boneka Amerika, al-Maliki. Jangan lupa bahwa al-Maliki yang didukung oleh Iran telah menandatangani perjanjian keamanan dan militer dengan Amerika Serikat sebelum keberangkatannya ke Irak, sehingga hal ini menunjukkan adanya koordinasi sikap Iran dan Amerika mengenai situasi di Irak setelah penarikan pasukan Amerika dari Irak, serta pembelaan dan dukungan yang diberikan oleh Iran untuk rezim al-Maliki dalam perang melawan organisasi negara (ISIS), dan masuknya pasukan resimen Al-Quds.

Iran menjadikan masalah sektarian dan pembelaan terhadap Syiah sebagai alasan untuk intervensinya di Irak dan Suriah, dimana dalam hal ini Iran mengklaim “untuk melindungi tempat-tempat suci kaum Syiah”, seperti yang dikatakan Presiden Rohani pada surat kabar Ray al-Yaum (18/06/2014). Kemudian pujian Amerika terhadap “peran konstruktif Iran di Irak” (surat kabar al-Hayah, 26/06/2014).

Termasuk juga peran Iran yang dirancang oleh Amerika dalam mendukung rezim penjahat Basyar Assad, dan mencegahnya dari jatuh. Bahkan peran ini yang dibanggakan oleh Mayor Jenderal Muhammad Ali Ja’fari, Komandan Pengawal Revolusi Iran, dalam pernyataannya yang dikutip oleh kantor berita Fars bahwa “medan perang pasukan resimen al-Quds—bagian dari Garda Revolusi—adalah di luar perbatasan Iran, mendukung gerakan-gerakan Islam, dan membela masyarakat melawan rezim yang otoriter.”

Ia menegaskan bahwa pasukan resimen al-Quds “telah melaksanakan misi-misinya di Lebanon, Suriah dan Irak dengan sangat baik.” Ia menambahkan, “penilaian terbaik terhadap kinerja resimen al-Quds adalah pengakuan para musuh,  semua upaya mereka gagal untuk menggulingkan pemerintah Suriah, dan dalam menjauhkan keamanan dan stabilitas di Irak (surat kabar al-Quds, 16/09/2014). Bahkan Hussein Amir Abdullahian, Deputi Menteri Luar Negeri Iran memperingatkan bahwa jatuhnya rezim Presiden Suriah Basyar al-Assad di tangan organisasi negara Islam (ISIS) akan mengancam keamanan “Israel” (Aljazeera, 12/10/2014).

Adapun program nuklir Iran, yang terus berjalan hingga hari ini, tidak lain adalah alat yang digunakan oleh Amerika, yang pada akhirnya digunakan untuk menundukkan negara-negara Teluk agar ada dalam pengaruhnya, yaitu digunakan untuk menunjukkan bahaya Iran bagi kawasan Timur Tengah, hingga negara-negara Timur Tengah tunduk pada pengaruh Amerika, lalu menetapkan sifat-sifat persenjataan militer yang bernilai ratusan miliar dolar, dan itu tidak memiliki tujuan jelas selain untuk menghidupkan pabrik-pabrik dan perekonomian Amerika.

Adapun saat ini, Amerika ingin menggunakan Iran dengan cara yang berbeda, yaitu memberi Iran peran regional yang menonjol dalam mewujudkan tujuannya. Lalu, program nuklir Iran dihentikan sementara untuk memfokuskan diri bagi campur tangan secara militer dan ideologi di negara-negara lain; Amerika ingin memasukan pengaruhnya.

Di sinilah kami melihat sejauh mana kesamaan politik Iran dan politik Amerika di semua masalah kawasan Timur Tengah. Kesamaan terkait Suriah, dan sebelumnya kesamaan di Afghanistan, juga kesamaan di Irak, dan kesamaan di Yaman … Bahkan bisa dikatakan bahwa ketergantungannya yang paling banyak adalah kesamaan politiknya itu.

Penutup

Dari uraian di atas jelaslah bahwa masyarakat Iran berjalan dengan langkah pasti dari yang buruk menuju yang lebih buruk, akibat sistem politik yang diterapkan di Iran. Konstitusi dan undang-undang, serta kebijakan yang ditetapkan sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Islam, semuanya hanya mengikuti ideologi kapitalisme Barat yang merupakan penyebab kerusakan dan penderitaan di dunia.

Dan rezim Iran ini hanyalah sebagian model dari model-model penyesatan, ketergantungan dan kerusakan dalam semua aspek kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Sehingga kaum Muslim di Iran, seperti kaum Muslim lainnya dituntut untuk berjuang keras dalam rangka mendirikan Khilafah Islam Rasyidah yang akan melanjutkan cara hidup Islam yang benar di negeri-negeri mereka, dan seluruh negeri kaum Muslim, seperti yang pernah ada berabad-abad yang lalu.

Kaum Muslim tidak akan selamat dari kerusakan sistemnya, pengkhianatan, ketergantungan dan kezalimannya kecuali dengan Khilafah yang dengannya kaum Muslim akan meraih kemuliaan dunia dan akhirat. Kepada Allah-lah semua niat baik kita dikembalikan. [Abu Abdillah – negeri dua masjid Suci] [www.visimuslim.com]

Sumber: Al-Wa’ie (Arab), No. 345 Tahun XXX, Syawal 1436 H./Agustus 2015 M.

Posting Komentar untuk "Rezim Iran: Model Penyesatan dan Kerusakan Saat Tiadanya Khilafah"

close