Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam Nusantara ; Lagu Lama, Aransemen Baru


Belakangan ini cukup ramai diperbincangkan tentang “Islam Nusantara”. Banyak intelektual, ulama, politisi, dan pejabat Pemerintah yang menggunakan istilah ini ketika membicarakan Islam. Pemantik awalnya adalah penggunaan langgam Jawa dalam tilawah Al-Quran pada saat Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. 17 Mei 2015 lalu di Istana Negara. Sejak saat itu perbincangan “Islam Nusantara” menghangat. Mereka mempropagandakan “Islam Nusantara” sebagai wujud implementasi Islam terbaik, dibandingkan dengan “Islam Timur Tengah” yang saat ini diwarnai berbagai konflik. Tentu saja, Konsep Islam Nusantara ini mendapatkan banyak tanggapan dan reaksi dari kalangan tokoh dan masyarakat terlebih para ulama yang selalu mendakwahkan islam. Paling tidak ada tiga bahaya yang perlu dicermati. Pertama: ide Islam Nusantara pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh Nurcholis Madjid. Ide Islam Nusantara itu tidak lebih dari sekularisasi yang diberi warna baru. Ini merupakan bukti bahwa upaya sekularisasi terhadap Islam tidak pernah berhenti, terus berlanjut hingga kini. Kedua: ide Islam Nusantara berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim. Antar negeri Muslim akan dipecah-belah melalui isu kedaerahan, ada Islam Nusantara, Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan sebagainya. Ini merupakan politik belah-bambu atau stick and carrot yang memang merupakan strategi penjajah untuk melemahkan kaum Muslim. Ketiga: ide Islam Nusantara dapat pula digunakan untuk menghadang upaya penegakan syariah dan Khilafah. Islam dengan berbagai labelnya seperti “Islam Indonesia” atau “Islam Timur Tengah” sebenarnya sama dengan istilah “Islam Radikal”, “Islam Militan”, “Islam Moderat” atau yang lain. Pengkotak-kotakan seperti ini sebenarnya murni merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam. Ini sebagaimana yang dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Begitulah bahaya di balik ide ini. Meski Islam hanya ada satu, tetapi kita tidak menutup mata adanya perbedaan di dalamnya karena faktor perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab.  Mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali pada sumbernya, bukan kepada orangnya. Sumbernya adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang maka siapapun dia, dari kelompok atau organisasi manapun, serta apa pun yang dibawa dan disampaikan itu bukanlah kebenaran, bukan Islam. Begitulah cara seharusnya menilai kebenaran Islam.

Oleh karena itu, menemukan kebenaran Islam harus dengan kembali pada Islam secara kaffah, yakni merujuk pada sumber aslinya, sekaligus merujuk pada ilmu alat serta kepada para pemikir dan mujtahidnya. Begitulah seharusnya. Hanya dengan cara seperti itu kebenaran Islam itu bisa direngkuh dengan sebenar-benarnya. Mengenai Timur Tengah yang terus bergolak sesungguhnya itu bukan karena faktor Islam. Wilayah ini terus-menerus membara karena strategi penjajah Barat untuk terus-menerus menjajah wilayah ini. Wilayah ini telah menjadi ajang pertarungan antara Inggris, Amerika dan Prancis. Karena itu mengaitkan konflik Timur Tengah dengan watak keislaman kaum Muslim di sana merupakan tindakan gegabah sekaligus menutup mata terhadap kepentingan negara-negara penjajah di wilayah tersebut.  Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan ketidakstabilan Timur Tengah hingga saat ini: (1) potensi ideologi Islam yang selalu mengancam kepentingan Barat; (2) persoalan minyak; (3) letak strategis Timur Tengah; (4) institusi Yahudi yang sengaja ditanam oleh Barat. Sebagai contoh, gejolak di Suriah yang masih terjadi hingga saat ini tak lain karena Revolusi Islam di sana membahayakan kepentingan Barat. Karena itu mengkambinghitamkan Islam sebagai biang konflik, selain berbahaya, juga memalingkan umat Islam dari musuh yang sesungguhnya, yaitu penjajahan Barat dengan sekularisme dan kapitalismenya. Pasalnya, muara dari konflik-konflik itu bukanlah Islam. Justru Islam itu solusi. Namun masalahnya, umat Islam belum mau mengambil kembali Islam sebagai solusinya. Mereka lebih percaya pada ideologi penjajah yang justru hendak menghisap darah dan kekayaan alam mereka. Akibatnya, konflik antar sesama kaum Muslim itu tidak pernah reda, bahkan terus membara. Kelompok liberal di negeri ini bersama Asia Foundation, Heritage Foundation, dan Rand Corporation, gencar menyerang ide syariah dan Khilafah dengan menganggap syariah dan Khilafah sebagai ancaman bagi Nusantara. Sebaliknya, perilaku moral yang rendah, seperti menjamurnya pornografi dan pornoaksi di area publik akibat liberalisme, juga kesengsaraan ekonomi yang diakibatkan oleh rusaknya sistem ekonomi kapitalis, tidak direspon sebagai isu utama oleh mereka. Inilah saatnya umat Islam kembali pada Islam dengan sistemnya yang adil dan sempurna yang berasal dari Allah SWT. Hanya saja, semuanya itu tidak akan pernah ada, kecuali dengan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Itulah satu-satunya institusi pemerintahan Islam yang bisa menjamin kehadiran Islam dengan wajahnya yang asli dan khas, sebagaimana yang diridhai oleh Allah SWT dan Hanya negara (Khilafah) yang bisa melindungi umat dari gerakan liberal dengan berbagai bentuk dan wajahnya ( dengan menggunakan berbagai istilah  seperti  Islam moderat, Islam Liberal, Islam Nusantara dll). [Nining Tri Satria, S.Si (Tim Media Muslimah Hizbut Tahrir Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Islam Nusantara ; Lagu Lama, Aransemen Baru"

close