Darurat Asap dan Egoisme Hemat Biaya ala Kapitalis


Bencana kabut asap di daerah Sumatera telah menelan banyak korban. Selain korban jiwa, bencana kabut asap yang dipicu oleh kebakaran hutan dan lahan, juga membuat banyak warga menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Di Riau saja, warga yang terjangkit ISPA sebanyak 44.871 jiwa. Jumlah itu tersebar di beberapa kabupaten dan kota. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan, penderita ISPA tertinggi terdapat di Kota Pekanbaru yaitu 8.661 jiwa. Besarnya jumlah ini karena udara di Kota Bertuah dalam beberapa bulan belakangan lebih buruk dari daerah lain. Di Kota Dumai penderita ISPA tercatat 3.467 jiwa, Indragiri Hilir 1.245 jiwa, Kampar 2.137 jiwa, Rokan Hulu 3.515 jiwa, Siak 4.539 jiwa, dan Kepulauan Meranti 471 jiwa. "Kemudian di Kabupaten Bengkalis 2.918 jiwa, Pelalawan 1.950, Rokan Hilir 1.676 jiwa, Kuansing 4.571, dan Indragiri Hulu 2.246 jiwa," Jumlah penderita ISPA ini diperoleh dari laporan setiap puskesmas, rumah sakit, dan klinik kesehatan di Riau. Jumlah ini diprediksi akan meningkat karena kualitas udara di beberapa kabupaten masih di level tidak sehat dan berbahaya. Selain penyakit ISPA, gara-gara kabut asap jumlah penderita asma juga meningkat.

Tercatat 1.701 warga menderita asma dan harus dirawat. Masyarakat juga terjangkit pneumonia (peradangan jaringan di salah satu atau kedua paru-paru), iritasi mata dan penyakit kulit. Tidak hanya Riau, daerah lainnya yang juga menghadapi banyak ancaman bahaya akibat kabut asap yakni Jambi, Palangkaraya, Pontianak,Kampar, Bengakis, dan Siak. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)menyebutkan, Indeks Standard Pencemaran Udara (ISPU) di kota-kota itu sudah berada di level berbahaya, akibat kabut asap di beberapa daerah. Kabut asap tahun ini jauh lebih parah dari tahun lalu, ini disebabkan karena suhu udara pada Juli hingga September 2015 lebih tinggi dibanding tahun 2014. Tidak hanya berbagai penyakit yang ditimbulkan akibat kabut asap, tapi aktivitas bisnis dan aktivitas masyarakat juga terganggu. Kerugian tersebut mulai dari sisi kerusakan lingkungan, terhambatnya kegiatan ekonomi, hingga terganggunya kesehatan warga. Akibat kebakaran, ribuan hektar hutan dan lahan rusak. Satwa yang menghuni kawasan yang terbakar juga terancam mati. Di bidang ekonomi, kabut asap terutama mengganggu jadwal penerbangan. Berbagai tindakan pun dilakukan untuk menangani kabut asap yang semakin hari semakin memburuk, dalam jangka pendek, pemerintah memanfaatkan hujan buatan, pemadaman dari udara dan dari darat. Sejumlah pesawat dikerahkan untuk memadamkan kebakaran lahan di Riau, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, serta di Jambi. Namun, pemadaman dari udara tidak bisa dilakukan selama penerbangan juga terganggu akibat kabut asap. Hujan buatan juga belum bisa dilakukan karena belum ada awan yang berpotensi hujan. 

Lalu, bagaimana dengan Provinsi Bengkulu? apakah bebas kabut asap? ternyata tidak. Tiga pekan yang lalu penderita ISPA di Kepahiang mencapai 400 orang/hari dengan jarak pandang 200 meter, di Karang Tinggi (Bengkulu Tengah) jarak pandang hanya 100 meter. Kabut asap mengganggu penglihatan (mata merah) dan sesak  nafas. Dapat kita bayangkan betapa besar dampak yang ditimbulkan akibat kabut asap yang diakibatkan dari ulah tangan beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab demi mengelola usaha untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Disini peran negara dalam menyelesaikan masalah bencana kabut asap sangat diharapakan, negara harus benar-benar serius menanggapi hal tersebut karena menyangkut banyak nyawa manusia. Pembakaran hutan sebagai bentuk penghematan biaya dalam mengelola lahan gambut ini adalah suatu bentuk egoisme oknum tanpa melihat dampak yang ditimbulkan bagi orang banyak dan ini termasuk liberalisasi atau swastanisasi pengelolaan SDA di Indonesia. Komersialisasi dan privatisasi pengelolaan sumberdaya alam yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh Negara. Sumber Daya Alam (SDA) masuk dalam kategori kepemilikan umum yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat (al-milkiyyah al-‘ammah). Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara  secara profesional, seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. Karena itu pengelolaannya tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi pihak asing. Pada prinsipnya, setiap individu atau komunitas kecil masyarakat dibolehkan untuk memenuhi kebutuhan dalam mengelola usaha secara mandiri selama perkara tersebut tidak mengganggu kepentingan umum dan tidak menimbulkan perpecahan/persengketaan dengan masyarakat lainnya.

Negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta (privatisasi) karena akan menghilangkan penguasaan atas aset-aset milik umum, baik sebagian maupun keseluruhan; baik sementara maupun selamanya; baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam sistem ekonomi kapitalis, kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha dijamin oleh negara melalui undang-undang. Peran negara diminimalkan dalam kegiatan ekonomi dan hanya diposisikan sebagi regulator. Dengan demikian peluang swasta khususnya asing akan semakin besar dalam menguasai perekonomian negeri ini. Penggantinya adalah sistem ekonomi dan politik Islam. Hal itu bisa terwujud jika umat Islam dan tokoh umat secara bersama-sama berjuang untuk menegakkan kembali sistem ekonomi Islam di bawah  naungan Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Dengan itu terealisasilah Islam sebagai rahmatan lil a’lamin. [Nining Tri Satria, S.Si (Ko. Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Darurat Asap dan Egoisme Hemat Biaya ala Kapitalis"