Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengkritisi Hukuman “Kebiri” dalam Persepektif Islam


Apa yang dibanggakan dalam pemerintahan Jokowi-JK dengan umur yang baru setahun namun rakyat terus diberi kejutan “prestasi” kemerosotan,  mulai dari kabut asap pemerintah setengah hati mencari jalan keluar, BBM yang tarik ulur,  maju mundur antara menurukan harga atau malah sebaliknya harga BBM kian melangit mendorong kebutuhan lain  ikut meroket, namun yang tak kalah memilukan adalah penemuan bocah dalam kardus yang teridentifikasi korban pelecehan seksual, bukan kali ini saja terjadi  Komnas Anak mencatat sebanyak 342 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Jakarta pada Januari-April 2014. Sebanyak 52 persen atau sekitar 175 kasus merupakan kejahatan seksual. Sedangkan sepanjang 2013 tercatat ada 666 kasus kekerasan anak yang terjadi di Jakarta, dengan 68 persennya merupakan kekerasan seksual. Pemerintah kian pontang panting mencari jalan keluar, Jaksa Agung M Prasetyo mengungkapkan, salah satu solusi terhadap besarnya angka kejahatan seksual  adalah dengan memutus atau mengebiri saraf libido dari pelaku kejahatan seksual, Ketua KPAI Asrorun Ni’am mengatakan bahwa pemberlakuan hukuman kebiri ini adalah bentuk komitmen politik dari Presiden Jokowi untuk menghadirkan negara dalam perlindungan terhadap anak.

Kebiri Solusikah?

Tentu sangat disayangkan pernyataan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terlontar dari mulut sang presiden Jokowi, padahal tindakan seperti ini sangat reaktif, kalau dikaji ulang mengapa sekarang begitu banyak kasus pelecehan seksual, inilah seharusnya yang menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah,  jika sudah ada permasalahan yang kompleks berarti masyarakat indonesia tengah “sakit”, sakit kemerosotan moral,  kejahatan seksual (jarîmah jinsiyyah) ini pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks (dawâfi’ jinsiyyah) yang memuncak. Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu an-nau’) yang ada pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah dalam diri manusia, yang bisa terangsang lalu menuntut dipenuhi. Rangsangan muncul karena dua faktor: Pertama, pemikiran (al-fikr), termasuk fantasi (al-wahm) dan khayalan (at-takhayyul); Kedua, fakta (lawan jenis) bagi masing-masing pria dan wanita. Harus diakui di era globasisai negara tidak berperan menyaring segala bentuk informasi yang mampu merusak pemikiran masyarakat, industri perfilman dan hiburan bisa masuk tanpa adanya sensor, otomatis corak masyarakat kita lebih bebas, dalam bentuk pergaulan ataupun pakaian, hal demikian mampu mendorong nafsu seseorang terjerumus ke dalam kemasksiatan, maka dari itu “kebiri” bukanlah solusi hal ini dikuatkan oleh  Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar menyebutkan, “ pemerintah harus memastikan apakah hukuman kebiri tersebut bisa merusak fisik manusia secara permanen atau tidak. “Kalau iya itu tidak boleh!” katanya. Syamsul mengatakan bahwa semua itu harus dikembalikan pada asas hukum yang benar. Syamsul mengaku tidak sepakat jika hukuman kebiri akan merusak fisik manusia. "Kalo kebiri itu kan diimpotenkan, kebutuhan akan fitrahnya akan terganggu ".


Belajar Kepada Islam

Islam sistem hidup yang sempurna memberikan jawaban atas segala permasalahan manusia, tak satu pun aspek kehidupan yang luput dari pengawasan dan aturannya, pada masalah ini islam sebenarnya jauh memberikan solusi yang lebih efektif mulai dari  aspek pencegahan bagi perempuan dan laki-laki islam memerintahkan untuk menjaga pandangan, tidak boleh ada campur baur kecuali dalam perkara yang diperbolehkan syariat, kita pun melihat bagaimana islam memberikan kehormatan bagi perempuan untuk menutupi aurat tubuhnya. Lantas bagiamana hukuman bagi pelakunya  dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai hukuman hudud. Hudud merupakan hukuman di atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. Berdasarkan Surah an-Nuur, ayat 2, “...pelaku zina, baik lelaki mahupun perempuan wajib disebat sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku zina itu sudah mukhson (pernah menikah) sebagaimana ketentuan hadits Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka pelaku zina tersebut akan dikenakan hukuman rajam disaksikan oleh seluruh elemen masyarakat. Hukuman Allah atas pelaku pelcehan seksual begitu keras sehingga menjadi ancaman yang bisa membuat seseorang jera. Maha Besar Allah yang telah menciptakan aturan manusia-Nya, tiada lain syariat Allah sebagai bentuk penjagaan kehormatan dan kemuliaan hamba-hamba-Nya. Wallahu’Alam. Anastasia (Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Mengkritisi Hukuman “Kebiri” dalam Persepektif Islam"

close