Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesunyian dalam Pilkada Serentak


Pilkada 9 Desember 2015 tak jadi serentak. Karena ada 5 daerah yang menjadwalkan ulang. Pemerintah sebenarnya begitu berkepentingan untuk suksesnya Pilkada serentak. Apa daya, upaya itu tak terwujud. Sebenarnya, Pilkada ini yang berkepentingan besar adalah partai politik, orang yang ingin berkuasa, dan segelintir ‘pemain tersembunyi’ yang menyokong pasangan calon kepala daerah (Paslonkada). Sebagaimana amanat UU, paslonkada berangkat dari dukungan partai politik dan independen. Paslonkada dari partai politik peluang menang lebih besar karena kinerja mesin politik dan pemetaan sosial masyarakat. Meski demikian, banyak juga jalur independen yang unggul dan jadi kepala daerah. Lantas, bagaimana posisi rakyat? Rakyat sekadar sebagai ‘stempel’ bagi mereka untuk menduduki kekuasaan.

Dasar hukum pemilukada langsung ini adalah amandemen pasal 18 UUD 1945, ayat (4) yang menyebutkan, 

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dilipih secara demokratis.”

UUD 1945 kemudian diperkuat dengan  Undang-undang Nomor 32 Tahaun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, juga mengatur tentang pemilihan kepala daerah. Praktis, pemilukada ini merupakan amanat UUD dan UU hasil keputusan di parlemen. Kepala derah merupakan pengejawantahan dari keputusan pemerintah pusat. Selain itu, atas nama otonomi daerah, kepala daerah memiliki kewenangan sendiri untuk mengambil keputusan. Di sisi inilah terkadang ada ketidaksambungan kebijakan antara pusat dan derah. Jika kepemimpinan daerah bersifat oligarki dan otoristik, maka kepala daerah akan membuat aturan sewenang-wenang dan melukai hati rakyat.

Pemilukada Unik

Rakyat memegang peranan penting dalam pilkada. Komunikasi politik dibangun oleh partai dan paslonkada untuk meraup dukungan publik. Segala daya upaya dikerahkan agar meraih puncak kekuasaan. Sebagaimana di Jawa Timur, partai besar dan koalisi mengklaim memenangkan pilkada di banyak tempat: PDIP 13, Gerindra 10, PAN 9, Demokrat 9, PKB 8, Nasdem 7, PKS 7, Golkar 7, Hanura 5, dan PPP 1. Begitu pula berdasar survey cepat, incumbent masih unggul di beberapa tempat. Yang menarik diamati adalah respon rakyat dari itu semua.

Rakyat menjadi obyek yang disorot selama masa kampanye dan pelaksaan pilkada. Selebihnya, rakyat dikembalikan pada posisi asalnya: bawahan dan sumber klaim kebijakan. Maka tak heran, jika rakyat kian apatis dan pragmatis menghukumi pilkada. Dalam benak pemikirannya terbesit: “siapapun pemimpinnya, kondisi kita tetap masih sama”.

Penyelenggara pemilu (Kemendagri-KPU-Bawaslu-Partai Politik) sebenarnya sudah menangkap fenomena ini. Mereka pun mencoba menarik hati rakyat agar datang memilih di TPS. Survey yang dilakukan sebelum pilkada menunjukan jika partisipasi Pilkada 2015 ini sepi peminat. Selain juga faktor teknis terkait pengadaan logistik, dana dari APBD, dan teknis lainnya di lapangan.

Fenomena unik pilkada serentak ini ada di beberapa TPS. Misalnya, petugas KPPS memakai pakaian tradisional, lakon pewayangan, menyediakan door prize, jajanan pasar, hingga buah-buahan. Tak ubahnya, pilkada ini pesta kecil di TPS. Pesta besarnya, sudah dihelat paslon dalam masa kampanyenya. Ada juga saweran dalam serangan fajar bagi pemilih. Tampaknya, rakyat pun memandang pilkada biasa aja. Bukan barang baru jika akhirnya merka tidak memilih. Buktinya 46% tidak memilih di Pilkada Surabaya, begitu pula di daerah lainnya. Mereka tak merasa risau dengan tidak memilih. Tidak pula takut jika kebijakannya nanti membelenggu rakyatnya. Karena faktanya, rakyat sudah cerdas dalam menentukan pilihan.

Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirugikanlah yang berkoar-koar bahkan menuding golput sebagai tindakan salah. Dalil keagamaan kerap dijadikan stempel. Tak ayal ini semakin mengaburkan pemahaman keagamaan rakyat. Hal penting yang harus dipahami bahwa pilkada serentak ini bagian dari sistem politik demokrasi. Jelas, demokrasi memisahkan agama dari kehidupan (sekular) dan menjunjung tinggi kebebasan. 

Golput dan Kesunyian Partisipasi

Golput merupakan bahasan menarik di setiap pemilihan. Bahkan ada yang menggunakan fatwa untuk menyerukan memilih dan mengarahkan rakyat pada partai atau pasangan tertentu. Hal ini tentu bertolak belakang dengan fakta yang ada. Alasan tidak memilih sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Surabaya Consulting Group, Didik Prasetyo (www.kabarsurabaya.com/?p=7622). 

Hal itu di antaranya, apatisme politik yakni ketidakpedulian terhadap proses pemilihan pemimpin dikarenakan tidak berhasilnya edukasi politik masyarakat bahwa pemilu itu penting. Faktor lemahnya sosialisasi yang dilakukan KPU turut bepengaruh. Dibuktikan dengan minimnya baliho atau poster tentang pilkada. Peraga kampanye pun dipasang asal-asalan.  Panwaslu cenderung overacting dan membatasi gerak calon dan tim kampanye dalam sosialisasi. Ada juga faktor ketidakvalidan DPT dan dilema hari libur bagi kaum metropolis. Hari libur digunakan untuk santai bersama keluarga. 

Ke depan, SCG merekomendasikan agar sosialisasi dilakukan KPU, bisa mengombinasikan antara ide “pembatasan agar kemampuan calon setara” dengan tetap mengakomodasi kreativitas grass root dalam membuat pilkada meriah yang ujungnya meningkatkan kehadiran pemilih. Serta edukasi atau pendidikan politik harus dilakukan sejak dini agar kesadaran bernegara terbangun.

Ramlan Surbakti (Memahami Ilmu Politik, 2010: 184) menjelaskan bahwa partisipasi politik di negara yang menerapkan sistem politik demokrasi  merupakan hak warga negara, tetapi dalam kenyataanya, presentase warga negara yang berpartisipasi bebeda satu negara ke negara yang lain. Dengan kata lain, tidak semua negera ikut serta dalam proses politik. Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi politik seseorang adalah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik).

Perlu ada catatan bahwa edukasi politik dan mewujudkan kesadaran rakyat lebih penting dibandingkan menuduh dan menuding rakyat yang tidak memilih. Jika sistem politik demokrasi yang diterapkan di Indonesia yang mayoritas muslim dan negeri lainnya sudah tidak dilirik rakyat. Maka saatnya ada partai politik islam ideologis yang menawarkan gagasan politik Islam di tengah oase demokrasi yang membosankan. Harus ada seruan kesadaran politik dan ideologis.

Langkah strategis yang harus dilakukan partai islam ideologis adalam mendidik umat dan memandunya memahami politik islam berdasar manhaj kenabian. Menjelaskan struktur pemerintahan Islam dari Khalifah hingga kepala daerah, disertai departemen yang membantunya. Umat dipahamkan bahwa politik adalah mengurusi urusan rakyat dengan menjadikan syariah Islam sebagai panduannya. Partai Islam ideologis pun akan menjelaskan perbedaan sistem politik demokrasi dengan politik Islam. Agar umat kian terang benderang pemahaman politiknya. Tidak mudah dihasut dengan seruan pragmatis dan menjebak. Umat pun dibina dalam kelompok kecil seperti diskusi mingguan atau acara besar seperti seminar, diskusi publik, dan tabligh akbar. Membangun opini publik melalu berbagai media untuk semakin mencerdaskan umat.

Oleh karena itu, jika umat paham politik Islam secara kaffah. Maka rakyat akan tahu kualitas pemimpin yang harus dipilih dan didukung. Tentu dasar dari sistem politik itu harus sesuai dengan islam. Rakyat hidup aman dan tentram. Diurusi kehidupannya berdasarkan perintah Allah. Serta Islam membawa rahmat bagi seluruh alam dan untuk rakyat, baik muslim maupun non muslim. “Jangan salahkan golput. Karena golput adalah pilihan dan nyoblos bukan solusi.”[Hanif Kristianto (Analis Politik di Surabaya)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Kesunyian dalam Pilkada Serentak"

close