Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biaya Pendidikan Semakin Mahal, Masihkah Kita Berharap Kepada Kapitalisme-Demokrasi ?


Pendidikan mahal dalam beberapa tahun terakhir ini, di mana biaya pendidikan dalam seluruh jenjang pendidikan semakin hari semakin meroket, setiap menit empat anak putus sekolah berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan indeks pembangunan rendah. Indonesia tercatat berada di peringkat 67 dari 127 Negara dalam Education Development Index. Sementara, laporam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.

Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi nya putus sekolah di Indonesia , namun faktor yang paling umum yang di jumpaiadalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa/siswi tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar. Tercatat hingga saat ini 1,5 juta lebih anak usia 6-7 tahun terancam putus sekolah. Selain itu juga guru merupakan ujung tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dimana guru akan melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan. Artinya, secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri, sedangkan secara kuantitas, jumlah guru di Indonesia cukup memadai. Namun secara distribusi dan mutu, pada umumnya masih rendah.  Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan ini cukup memprihatinkan, dengan prosentase lebih dari 50% di seluruh Indonesia. Ternyata mencari sekolah murah apalagi berkualitas di negeri ini cukup susah. Dari sejak TK, SD, SMP, SMP hingga perguruan tinggi semua dikenakan biaya dengan beban yang cukup besar, mulai dari iuran sekolah, seragam, buku-buku, dan iuran lainnya. Hal ini menyebabkan hanya yang kaya saja yang memiliki kesempatan untuk pintar dalam mengenyam pendidikan. Tak hanya itu, karena pengambil kebijakan tidak sensitif untuk segera merespon mahalnya biaya pendidikan banyak sekolah-sekolah yang di swastanisasi karena malasnya pemerintah mengambil peran. Hal ini dibuktikan dengan anggaran pertahanan yang lebih besar daripada anggaran pendidikan. Seakan kembali ke jaman rimba yang kuat yang menang. Yang bermodal yang pinter. Selain dipicu oleh kurang responsifnya pengambil kebijakan juga dipengaruhi oleh sistem ekonomi global yang telah mendominasi yaitu Kapitalisme. 

Pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan terampil tapi tidak religius dan tak jarang culas.

Kapitalisme dengan konsep ekonomi liberalnya ingin menyebarkan sistemnya dengan instrumen pentingnya yaitu perdagangan bebas yang harus diterapkan oleh semua negara tak terkecuali negara berkembang, yang dikomandai oleh rezim WTO. Sistem ini telah memaksa sebuah negara untuk mencabut subsidinya yang memiliki tujuan perlindungan dan membuka pasar sebebas-bebasnya termasuk sektor publik yang seharusnya dikuasai pemerintah melalui privatisasi yang dijalankannya. Setelah itu pemerintah dijadikan sebagai robot yang sepenuhnya menjamin berjalannya sistem ekonomi pasar. Dan selanjutnya didoronglah proses wirausaha dengan menjamin karya inovatif memiliki perlindungan hukum yang kuat yang sekarang dikenal dengan istilah hak cipta atau hak atas kekayaan intelektual. Karya tersebut akhirnya memiliki nilai jual yang tinggi yang tak mampu lagi dibeli orang yang tak punya nyali karena kehabisan nasi. Rezim neoliberalisme telah menempatkan pengetahuan sebagai modal, dengan kekuatan globalnya yang membuat institusi pendidikan tak lagi mudah mengakses karya intelektual karena harus membeli hak cipta terlebih dahulu yang tentunya mahal. Karena dasar dari proses pendidikan berbiaya mahal maka sekeluarnya nanti dari sekolah juga harus mampu mengembalikan modal yang telah digunakan untuk biaya sekolah. Akhirnya sekolah dinilai berdasarkan ekonomi, berdasarkan untung rugi. Hanya yang memiliki modal yang bisa mengecap sekolah dan yang tak memiliki modal hanya mampu menatapnya. Lagi-lagi orang miskin tersiksa di negeri sendiri, hanya menjadi korban mahalnya biaya pendidikan. Selain itu sekolah juga dimanfaatkan sebagai sasaran para pengusaha, selain mengintervensi sekolah untuk memasukkan kurikulum yang cocok dan tepat bagi kepentingan dunia usaha juga ada yang secara khusus memanfaatkan untuk menjadi pemasok bagi kebutuhan sekolah mulai dari buku, seragam hingga peralatan lainnya. Bicara tentang kebodohan ternyata bukan hanya berasal dari pendidikan. Adakalanya kebodohan itu disebabkan lemahnya ekonomi yang mengharuskan untuk tidak bersekolah.Karena pendidikan sudah tidak manusiawi dalam pandangan orang-orang tidak mampu(miskin).Pendidikan sudah menjadi semacam kapitalisasi sehingga hanya orang -orang kaya saja yang bisa merasakannya. Dapat dikatakan bahwa orang miskin belum tentu bodoh. Demikian inilah sesungguhnya gambaran yang terjadi pada pendidikan negeri ini. Namun demikian, kesadaran pemerintah untuk bisa mengaplikasikan pendidikan untuk seluruh warga masyarakat tanpa pandang bulu belum bisa dilaksanakan. Padahal pendidikan merupakan sesuatu yang bisa mengangkat harkat dan martabat seseorang dari keterpurukan. Seandainya hal itu dilakukan dengan penuh arif dan tanggung jawab oleh Negara, kemungkinan orang-orang miskin dapat mendapat angin cerah. 

Tetapi Opini umum mengatakan bahwa untuk menjadi orang pintar memang harganya mahal. Begitu juga dengan pendidikan. Petanyaanya adalah, bagaimana untuk bisa memintarkan orang-orang miskin apabila dituntut untuk menjadi orang pintar? Setidaknya ada semacam gambaran realitas pada masyarakat tentang kehidupan sehari-hari bahwa untuk sekedar mencari makan saja susah, apalagi untuk biaya yang lainnya. Tentunya gambaran ini sudah bukan tabu lagi. Para orang tua yang tak mampu memasukkan anak-anak disekolah memaksakan mereka untuk bekerja mencari uang. Setiap hari pekerjaan anak-anak itu berkutat dengan kerja-kerja keras demi sesuap nasi. Dan pastinya tidak mungkin sanggup lagi memikirkan hal lain, khususnya pendidikan. Kemiskinan dan pendidikan, kedua hal itu apabila tidak saling seimbang maka dapat memunculkan pihak ketiga yaitu kebodohan. Agar tidak terjadi problematika yang panjang, maka solusi mengatasi yaitu harus dilakukan reorientasi dan penataan kembali pendidikan mulai, pendidikan harus dibebaskan dari kapitalisme.

Islam Mengatur Pendidikan

Dalam Islam, hubungan pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Termasuk mengatur soal pendidikan, pendidikan itu harus ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan dalam kehidupan. Hasilnya adalah orang-orang yang pintar, trampil dan berkemampuan sekaligus berkepribadian Islam dan berakhlak. Islam menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. 

Sumber dana untuk semua itu adalah dari pemasukan harta milik negara dan hasil pengelolaan harta milik umum, seperti tambang mineral, migas, hutan, laut, dsb.

Dengan itu, maka pendidikan bermutu dengan gratis atau biaya sangat rendah bisa disediakan dan dapat diakses oleh seluruh rakyat. Hal itu memang menjadi hak mereka semua tanpa kecuali dan menjadi kewajiban negara. 

Dunia pendidikan yang sarat masalah saat ini hanya bisa dituntaskan dengan mencampakkankapitalisme dan menerapkan syariah Islam secara total. Hanya dengan penerapan syariah dalam bingkaiKhilafah Rasyidah saja, pendidikan bermutu bisa dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali baik kaya atau miskin, muslim atau non muslim. Karena itu saatnya dilipatgandakan upaya dan perjuangan untuk menerakan syariah dan menegakkan Khilafah Rasyidah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Mardatilla, A.Md (Tim Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Propinsi Bengkulu] [VM]

Posting Komentar untuk "Biaya Pendidikan Semakin Mahal, Masihkah Kita Berharap Kepada Kapitalisme-Demokrasi ?"

close