Isu Reshuffle Bikin Rakyat ‘Kesel’
Awal tahun 2016, pemerintahan Jokowi-JK bakal bergerak cepat. Tantangan datang silih berganti. Check and balance politik pemerintahan tampak pada dinamisasi elit politik dan partainya. Wacana koalisi dan oposisi tampak kian redup. Meski awalnya oposisi, tampaknya masih malu untuk menunjukan diri sebagai koalisi. Kekuasaan bagi elit politik merupakan suatu keniscayaan. Meski periode ini berwajah oposisi, bukan berarti mengalahkan diri. Hanya mengatur ritme untuk atur strategi. Syukur-syukur mencicipi sedikit bagi-bagi kue kekuasaan.
Hal yang jadi trend dari pemerintahan Jokowi-JK, selain check and balance juga reshuffle kabinet. Kocok ulang tak hanya di DPR/MPR, tapi juga pada susunan menteri kabinet. Beragam wacana mencuat: siapa menggantikan siapa? Siapa duduk di posisi mana? Dan siapa yang akan dibuang di luar pemerintahan? Kondisi demikian menggambarkan bahwa presiden memiliki tekanan psikologi politik yang kuat dari beragam kepentingan dan bisikan pembantunya. Tak ayal, upaya tebak-tebak reshuffle dimentahkan oleh pernyataan Presiden bahwa ini urusan dapur Presiden, belum ada yang tahu untuk itu. Hak prerogratif selalu dijadikan jimat politik.
Sistem politik demokrasi memegang asas check and balance dan reshuffle untuk kelancaran perjalanan pemerintahan. Jika ditilik lebih jauh, kedua asas itu membuktikan bahwa penguasa yang ada takut kehilangan posisinya. Kekuasaan menjadi ajang perebutan atas nama pesta demokrasi yang melibatkan rakyat. Posisi rakyat hanya selaku penyetempel atas penguasa yang berada di puncak kekuasaan. Ironis memang. Sistem demokrasi selamanya tak akan betul membawa kedamaian bagi rakyat. Kesejahteraan pun tak akan didapat.
Reshuffle Bikin Pegel
Namanya ‘kabinet kerja’, berjilid-jilid kebijakan, kerjanya pun berganti menteri dan posisinya. Di awal pembentukan kabinet kerja, Jokowi menegaskan bahwa akan diisi lebih banyak dari kalangan profesional daripada elit partai politik. Ya, benar di awal memang, namun dalam perjalanan semua bisa berubah. Sikap ini dibangun sejak awal untuk memberikan kepercayaan kepada Presiden baru oleh rakyatnya. Komunikasi politik untuk menyampaikan visi-misi pun dibangun sedemikian rupa untuk meyakinkan rakyat. Jadinya, rakyat kian jadi jatuh hati dan bertambah harapannya.
Gambaran reshuffle kabinet kian menunjukan jati dirinya dan membuat pegel rakyat. Ketika ini mencuat, elit partai politik pun mendekat. Sebagiamana disampaikan, Nasyrul Falah Amr anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Dapil Lamongan-Gresik,”untuk mendapatkan jatah satu menteri memang memungkinkan, namun untuk mendapatkan jatah dua kursi menteri sepertinya tidak memungkinkan karena parpol pendukung harus solid terlebih dahulu”. Hal itu disampaiakan dalam menanggapi terkait jatah dua menteri di tubuh kabinet dari PAN. Rhesuffle menteri ini disebabkan Presiden Jokowi berkeinginan untuk melaksanakan program kerja harus gerak cepat untuk pencapaian target. (www.panturajatim.com, 31/12/2015).
Rakyat pun akhinya disuguhi parodi politik kalangan elit. Posisi rakyat tetap jadi kalangan alit (jawa: kecil). Sistem politik demokrasi kian hari akan menunjukan wajah aslinya, bahwa sistem ini bekerja bukan untuk rakyat sebagai manusia. Sistem demokrasi bekerja untuk manusia yang ingin melampiaskan syahwat politik kekuasaannya. Serta kerakusan segelintir orang dalam menguasai hajat hidup manusia. Banyak orang pun akhirnya terperdaya dan mengambil demokrasi sebagai jalan untuk menduduki jabatan. Sementara itu, sudah banyak orang tergelincir karena menjabat tidak amanah dan dalam sistem yang salah.
Isu reshuffle selamanya tidak akan menyentuh persoalan mendasar rakyat. Bahkan kian mengaburkan penguasa dalam mengurusi urusan rakyatnya. Karena mereka lebih sibuk memilih pembantu yang loyal bekerja untuk atasannya dan sebagai bentuk balas jasa. Dibandingkan mereka betul-betul bekerja untuk rakyatnya. Layar kaca dan media, tampaknya dijadikan media pencitraan dalam membangun komunikasi politik. Hasil capaian kinerja yang muncul menjadi kamuflase dan harapan kosong rakyat.
Politik Islam Kompatibel
Di tengah umat tersilaukan dengan sistem demokrasi, sesungguhnya politik Islam memberikan oase bagi dahaga umat. Politik Islam yang bermakna mengurusi urusan umat dengan syariah akan benar-benar fokus menjadikan kemaslahatan bagi umat manusia semuanya. Bukan kalangan elit atau segelintir orang. Hal ini dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan Khalifah yang lebih memilih mengabdi kepada Allah Swt dan rasul-Nya dengan amal soleh mengurusi urusan umat manusia. Suatu kondisi kontras dengan gaya kepemimpinan dalam sistem demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan.
Strategi politik Islam dalam mengatur kepentingan rakyat dilandasi dengan kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusinya. Hal ini diambil dari realitas pelayanan kepentingan itu sendiri. Orang-orang yang memiliki kepentingan mengnginkan kecepatan dan kesempurnaan pelayanan. Rasulullah saw. pernah bersabda :
“sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal. Jika kaloan membunuh (melaksanakan qishash) maka lakukanlah pembunuhan itu secara ihsan (baik/sempurna). Jika kalian menyembelih maka lakukan penyembelihan itu secara baik/sempurna....”. (HR Muslim dari Sydad bin Aus).
Ihsan (kebaikan,kesempurnaan) dalam melaksanakan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syariah. Untuk merealisasikan kebaikan dalam melaksanakan pekerjaan, harus dipenuhi tiga hal berikut dalam manajemennya:
- Kesederhanaan aturan: karena kesederhanaan aturan itu akan memberikan kemudahan dan kepraktisan. Sementara aturan yang rumit akan menyebabkan kesulitan.
- Kecepatan dalam pelayanan transaksi: karena hal itu akan memudahkan orang yang memiliki keperluan.
- Pekerjaan ditangani oleh orang yang mampu dan profesional.
Oleh karena itu, sejak awal dalam politik Islam sudah dibangun sistem yang baik dan orang yang mumpuni. Pelaksanaan tugas pun bukan asal atau dari kalangan utusan partai pendukung dan titipan partai. Sejak awal, khalifah menjadikan syariah Islam sebagai standar dalam pengaturan pemerintahan. Aturan yang diadopsi bukan asal-asalan dan tidak menguntungkan pihak kapitalis asing. Bisa dipastikan jika orang yang diberi jabatan bukan orang yang profesional, maka tunggu kehancuraanya. Nah, akankah Indonesia ke depan akan terkubur oleh sejarah peradaban? Karena diatur dengan sistem salah (kapitalis-demokrasi) dan orang-orang yang tak mumpuni dalam mengurusi umatnya? Jika ingin menjadikan Indonesia Sejahtera dan Raya, saat yang tepat untuk reshuffle aturan dengan menjadikan “syariah Islam” sebagai standar. Sistem politik Islam dengan syariah akan kompatibel dengan Khilafah Rasyidah sebagaimana metode kenabian. [Hanif Kristianto (Analis Politik)] [VM]
Posting Komentar untuk "Isu Reshuffle Bikin Rakyat ‘Kesel’"