MEA : Peluang atau Ancaman bagi Indonesia ???


Selamat Datang di Palagan MEA rakyat Indonesia. Ya, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah resmi dimulai pada 31 Desember 2015. Kesepakatan yang dilakukan oleh 10 negara anggota ASEAN pada 2007 itu akan menciptakan pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. 

Tujuan dari diciptakannya MEA ini, berdasarkan piagam ASEAN adalah dalam upaya meningkatkan perekonomian kawasan dengan meningkatkan daya saing di kancah regional dan internasional agar ekonomi tumbuh merata. Juga meningkatkan taraf hidup masyarakat ASEAN. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara-negara ASEAN telah menyepakati untuk melakukan liberalisasi (free flow) pada lima aspek ekonomi: barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Akibatnya, kompetisi perdagangan di ASEAN akan semakin ketat. 

Antara Peluang dan Ancaman

Sebagai konsekuensi adanya pasar bebas, semua pihak akan diberi peluang yang sama; semua diberi kebebasan masuk persaingan. Siapa yang kuat, dialah yang akan menang. Pasar bebas akan benar-benar menguntungkan pihak kuat. Sebaliknya, pihak yang daya saingnya lemah akan tertindas.

Liberalisasi juga menjadi faktor mendasar rusaknya tatanan ekonomi  negara yang menjalankan Kapitalisme. Liberalisasi ekonomi  yang berlangsung di negara ini juga telah terbukti gagal menciptakan ekonomi yang maju, mandiri, stabil dan menyejahterahkan. Kesenjangan makin lebar. Aset-aset penting dikuasai oleh investor asing. Barang-barang impor menggusur produk lokal. Sektor finansial rentan terdampak krisis. Nilai tukar rupiah pun naik-turun.

MEA juga akan mengancam sektor pertanian. Sebabnya, daya saing sektor pertanian negeri ini masih rendah. Dukungan pemerintah terus dikurangi semisal dengan mencabut dan mengurangi berbagai subsidi pertanian. Dukungan dalam bentuk lain juga terasa minim. Produk impor di pasar dalam negeri akan makin membanjir. Ketergantungan pada impor pun akan terus besar.

Pemberlakuan pasar bebas juga akan menyebabkan komersialisasi sektor publik (seperti pendidikan dan kesehatan). Peran negara dalam mengurus rakyatnya akan makin tak terasa. Negara akan berperan sebatas pembuat aturan dan jadi wasit. Berbagai pelayanan untuk rakyat akan diliberalisasi, diserahkan ke swasta. Rakyat harus membayar untuk mendapat layanan yang menjadi haknya. Jika ingin kualitasnya makin baik, maka rakyat harus bayar makin mahal.

MEA akan membuat arus investasi dan jasa termasuk bidang kesehatan dan pendidikan makin deras membanjiri. Tenaga kesehatan dan pengajar luar akan mudah masuk. Para investor ASEAN akan mudah mendirikan rumah sakit dan sekolah berkelas Internasional.

Negeri ini kaya akan sumber energi, sumberdaya mineral, sumberdaya nabati dan SDA lainnya. Dengan liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, liberalisasi energi dan liberalisasi sektor lainnya, kekayaan itu akan lebih menjadi jarahan, sumber bahan baku, sumber keuntungan untuk pihak luar.

Masih ada ancaman lain yang tak kalah berbahaya, yaitu kehancuran basis kehidupan keluarga. Saat beban hidup makin berat, setiap laki-laki ‘terpaksa’ akan menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah keluarga, kemudian bergeser  kepada perempuan yang lebih ‘bisa bersaing’ di dunia kerja, termasuk untuk menjadi TKW di luar negeri. Akibatnya, tentu sudah dapat ditebak, yaitu hancurnya sendi-sendi rumah tangga.

Kesiapan Indonesia menghadapi MEA bisa menjadi peluang, tapi juga ancaman bagi Indonesia.

Presiden Joko Widodo menegaskan kesiapan dan optimisme Indonesia dalam menghadapi MEA. Jokowi meminta rakyat Indonesia tidak perlu takut menghadapi MEA. Bahwa seharusnya negara lain takut negaranya akan kebanjiran produk dan tenaga kerja dari Indonesia. 

Hal sama juga diutarakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia mengatakan masyarakat, khususnya para pelaku usaha bisa memanfaatkan kesempatan besar di balik tantangan besar ini untuk mencapai perdagangan investasi di ASEAN ini. (Viva.co.id, 1/1/2016)

Liberalisasi ekonomi yang melandasi MEA memang menjanjikan peluang kemajuan ekonomi bagi negara-negara ASEAN. Namun demikian, secara empiris liberalisasi juga menjadi faktor fundamental rusaknya tatanan ekonomi negara-negara kapitalisme di dunia ini. Uni Eropa, misalnya, yang menjadi acuan MEA, hingga saat ini masih berjuang untuk keluar dari krisis yang disebabkan oleh sektor finansialnya yang rapuh. Liberalisasi ekonomi yang berlangsung di negara ini juga telah terbukti gagal menciptakan ekonomi yang maju, mandiri, stabil dan menyejahterahkan. Sebaliknya, kesenjangan pendapatan penduduk semakin lebar, aset-aset strategis dikuasai oleh investor asing, barang-barang impor menggusur produk domestik, sektor finansial yang rentan terdampak krisis, dan nilai tukar rupiah bergerak tidak stabil.

Pandangan Islam

Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara. Dalam Islam, negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain baik dalam bidang ekonomi perdagangan atau lainnya. Perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara. Karena itu, untuk menghilangkan ancaman dan bahaya akibat MEA dan liberalisasi pada umumnya, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah naungan Daulah Khilafah Islam. [Sri Indrianti (Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Tulungagung)] [VM]

Posting Komentar untuk "MEA : Peluang atau Ancaman bagi Indonesia ???"