Purwakarta, Kearifan Lokal Atau Kemusyrikan?
Purwakarta. (Inforial/tempo.co) |
Purwakarta istimewa, Tak sedikit ulama-ulama besar lahir dari kota tersebut. Sebut saja kiyai Being Yusuf dan mama Sempur. Mereka lah yang gigih memperjuangkan Islam di tengah umat. Sampai akhirnya, umat menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya.
Purwakarta pun terkenal dengan kota santrinya, setidaknya ada 265 pesantren yang tercatat di Depag (Departemen Agama) yang konsisten membina santri-santri nya agar menjadi manusia yang taat pada syariat. Pesantren-pesantren berbasis aqidah Islam inilah yang mampu menjebolkan ustadz ustadzah, sebagai perpanjangan tangan rosul untuk menyampaikan rislahnya pada umat manusia.
Bagaimana dengan Purwakarta Hari Ini?
Siapa saja yang datang ke kota purwakarta, pasti akan mendapati sepanjang jalan penuh dengan simbol-simbol non Islami. Patung-patung kokoh menjulang tinggi, menghiasi kota. Pohon-pohon disepanjang jalan diberi “kain poleng” kain hitam putih, dengan tujuan agar keberkahan di kota ini melimpah. Ditambah janur yang melengkung disepanjang jalan kota mirip dengan janur di bali. Tak tertinggal gapura-gapura yang khas di gedung-gedung pemerintahan termasuk sekolah. Ada apa dengan Purwakarta?
Simbol-simbol Islam menguap entah kemana, digantikan dengan simbol-simbol yang tak lagi mengingatkan kita pada Rob semesta alam. Dalam ilmu semiotika, simbol adalah bentuk interaksi yang dominan dalam interaksi sosial manusia. Semakin sering, kita melihat dan terbiasa dengan simbol-simbol tersebut, maka semakin makna atau gagasasan dibalik simbol tersebut masuk kedalam pemahaman kita.
Tentu saja kebanyakan simbol yang memenuhi kabupaten ini mengandung hadhoroh (peradaban) yang bertentangan dengan agama Islam, sehingga secara syariat pun simbol tersebut haram untuk digunakan.
Bukan hanya simbol, lebih dari itu masyarakat purwakarta seolah-olah digiring menuju kemusyrikan. Misal dalam Perbup (Peraturan Bupati) tentang desa berbudaya pada bab 5 pasal 8, tercantum didalamnya bahwa masyarakat wajib memadamkan listrik diluar rumah pada saat bulan purnama dengan alasan untuk penghematan listrik.
Pertanyaannya, kenapa harus malam bulan purnama? ternyata dalam tradisi hindu, pemadaman lisrtik pada saat malam bulan purnama adalah bentuk pemujaan terhadap dewa Chandra pada upacara purnama.Umat hindu di bali pada malam purnama ini memohon berkah dan karunia dari sanghyang widhi wasa yang telah menerangi dunia beserta isinya.
Sedangkan dalam syariat Islam, tidak ada ritual khusus dalam malam bulan purnama, akan tetapi kita disunahkan untuk berpuasa pada ayyamul bidh, yaitu pada hari ke 13,14 dan 15.
Kearifan Lokal Berujung pada Kemusyrikan
Kearifan lokal menjadi basis peraturan yang menjadi pijakan kota ini. Sehingga tata kelola pemerintahannya pun berbasiskan budaya setempat, budaya sunda. Pertanyaannya, apakah patung-patung pawayangan, kereta kencana yang diberi kemenyan setiap hari, pohon-pohon ber ‘poleng’ , dan sejumlah tradisi dan aturan di daerah purwakarta ini termasuk kearifan lokal suku sunda?
Menurut guru besar IPB (Institut Pertanian Bogor) Prof KH Didin Hafidhuddin, sunda tidak begitu. Masyarakat Sunda adalah masyarakat Muslim yang religius. Sehingga adat kebiasaan yang terlahir pun sesuai dengan ajaran Islam, bukan kepercayaan yang bersifat mistik.
Contoh lain, atas dasar kearifan lokal, pemerintah daerah Purwakarta memberikan sangsi yang dinilai berlebihan kepada warga yang tidak ikut gotong royong, Salah satu sangsinya adalah tidak akan dikuburkan jika yang bersangkutan meninggal dunia. Ini adalah aturan yang menyalahi agama, karena secara syariat seluruh muslim jika meninggal wajib dikubur.
Benarkah yang demikian adalah tradisi yang lahir dari spirit kearifan lokal? menurut mantan Ketua Umum BAZNAS, Prof Didin, Kearifan lokal bukanlah pada melakukan tradisi-tradisi yang bertentangan dengan akidah dan syariah seperti itu. Kearifan lokal itu bagaimana kita bertindak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Bukan masyarakat dipaksakan untuk memiliki keyakinan tertentu yang sudah salah dalam pandangan Islam.
Budaya Syirik Buah Sistem Demokrasi
Jika kita cermati persoalan purwakarta ini, seolah - olah budaya atau adat istiadat bertarung dengan agama. Mengapa demikian? jika kita merujuk bahwa budaya adalah prodak dari hasil berfikir, maka bisa dipastikan budaya yang lahir hari ini akan banyak bertentangan dengan agama. Mengapa? karena arah pandang manusia saat ini adalah sekuler - memisahkan agama dengan kehidupan. Sehingga hasil karyanya tidak akan sejalan dengan syariat.
Manusia manusia yang menganut ide sekulerisme ini tidak menjadikan agama sebagai patokan dalam karyanya. Mereka bebas berkreasi, membuat satu rumusan kebudayaan sesuai dengan yang ia kehendaki. Tanpa bersandar pada sesuatu yang mutlak. Sehingga budaya yang tersodorkan pun jauh dari agama.
Begitupun dengan budaya syirik yang menjamur, hal demikian merupakan konsekuensi logis dari diterpkannya sistem demokrasi yang serba bebas. Tidak ada penjagaan terhadap aqidah dalam sistem ini. Bahkan, atas nama kebebasan, pemerintah sendirilah yang melindungi adanya praktek-praktek syirik. Berbeda dengan sistem Khilafah Islamiyah, sistem pemerintahannya berkewajiban untuk menjaga warganya agar terbebas dari syirik dan budaya-budaya yang bertentangan dengan Islam. Wallahualam bi Sowab [Kanti Rahmillah, S.T.P, M.Si (Muslimah Hizbut Tahrir Purwakarta)] [VM]
Posting Komentar untuk "Purwakarta, Kearifan Lokal Atau Kemusyrikan?"