Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Maraknya Fakir Miskin dan Anak Terlantar di Indonesia; Bukti Disfungsi Negara


Penulis : Ismi Tri Wahyuni (Aktivis Muslimah HTI Link Kampus Jember)

Mengingat pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tertuang “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Inilah salah satu fungsi negara yang termaktub dalam salah satu pilar kebangsaan Republik Indonesia.

Antara Harapan dan Kenyataan

Harapan dan kenyataan berbicara lain. Ketika merujuk pada pasal 34 ayat (1) UUD 1945 seolah memberikan harapan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar bahwa akan mendapat perhatian negara dimana negara akan bertanggungjawab menjalankan fungsinya untuk memberikan kesejahteraan, dalam artian menjamin penghidupan yang layak, menjamin pemenuhan kebutuhan hidup, menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai dan benar-benar mengentaskan kemiskinan secara tuntas, baik disebabkan faktor alamiah (cacat mental, cacat fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja dan lainnya), faktor kultural (malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan dan lain-lain) maupun faktor struktural (akibat kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat). Dari ketiga faktor tersebut yang paling dominan besar pengaruhnya adalah kemiskinan struktural, dimana berdampak luas kepada masyarakat dan menggejala di beberapa negara baik negara-negara berkembang maupun negara-negara maju.

Pada pasal 1 Nomor 6 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

Melihat pada kenyataan atau realitas di lapangan, baik skala lokal maupun nasional hingga hari ini menampakkan bahwa persoalan anak terlantar dan fakir miskin semakin marak dan kian bertambah, sehingga masih menjadi pembahasan berkelanjutan yang butuh kesegeraan menyelesaikan secara tuntas dan menangani secara serius. 

Berdasarkan laporan UNICEF (lembaga PBB untuk anak-anak) berjudul Cerita dari Indonesia (2015), dari sekitar 250 juta orang penduduk Indonesia, sebanyak kira-kira 84 juta diantaranya (1/3) adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Penelitian yang dilakukan Bappenas-SMERU-UNICEF pada 2012 menunjukkan, 44,3 juta anak Indonesia terkena dampak kemiskinan dan hidup dengan penghasilan kurang dari dua dolar (AS) per hari.

Ini fakta yang harus menjadi perhatian kita semua, terkait penelantaran anak. Menteri sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan saat ini terdapat setidaknya 4,1 juta anak terlantar di Indonesia (gresnews.com, 16/5/2015).

Fakta umumnya, masih banyak kita melihat di perkotaan dan di daerah para gepeng yang mengemis di jalanan, pusat keramaian, lampu merah, rumah ibadah, sekolah maupun kampus. Ironisnya, para gepeng (gelandangan dan pengemis) dan anak jalanan yang berada di jalanan meningkat jumlahnya tiap tahun, bahkan mereka menjadi bisnis baru bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Dimana keberadaan anak-anak jalanan menjadi ruang eksploitatif bagi preman, perdagangan anak alias human-trafficking pun terjadi, rentan terlibat narkoba, menjadi korban maupun pelaku free sex dan lainnya yang menunjukkan kehancuran masa depan anak bangsa. Padahal sejatinya anak merupakan modal atau aset bangsa untuk meneruskan estafet kepemimpinan. Jikalau kehidupan generasi tidak dijaga dan diperhatikan, bukan tidak mungkin Indonesia bakal semakin mengalami krisis identitas generasi pembangun dan mengalami darurat kuantitas generasi yang berkualitas. Tentu kondisi ini tidak diharapkan, namun pada kenyataannya hal ini telah mulai mengancam Indonesia dan generasinya secara umum.

Lebih-lebih angka kemiskinan yang terus meroket, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kemiskinan di Indonesia naik menjadi 28,59 Juta tahun 2015. Mengindikasikan angka kemiskinan mengalami kenaikan, bukan penurunan, dari tahun sebelumnya 2014 penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,28 juta. Ini yang terdata, dan tentu masih menjadi fenomena gunung es. Jumlah penduduk miskin bisa jauh lebih dari perhitungan yang terekap, sebab kemiskinan di negeri yang kaya ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Deputi Bidang Kemiskinan Ketanagakerjaan dan Usaha Kecil Menengah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (UKM Bappenas), Rahma Iryanti bahwa kemiskinan yang dihadapi Indonesia berada pada tingkat kemiskinan kronis yang terus berlanjut.

Bertolak dari realitas-realitas tersebut, ternyata amanat UUD 1945 yang sudah dicetuskan telah diciderai sendiri dan tak sejalan dengan pembukaan UUD 1945 bahwa Pemerintah Indonesia akan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sayangnya pernyataan tersebut masih sekedar formalitas, manis di bibir dan belum terwujud secara riil. Fungsi negara tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Kapitalisme Penyebab Disfungsi Negara

Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum saja. Kemudian penanganan masalah sosial dan ekonomi, diserahkan kepada masyarakat itu sendiri atau swasta. Faktanya, banyak kita jumpai yayasan-yayasan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan dan sebagainya serta banyak program swastanisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Jelas ini makin menunjukkan bahwa negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat dan kehilangan kemampuan dalam menjalankan fungsinya yang merupakan tanggungjawab negara. Kapitalisme berhasil memandulkan atau mengebiri fungsi negara, hingga negara mengalami disfungsi. Kapitalisme yang notabene berorientasi uang (money-oriented) atau orientasi keuntungan (profit-oriented), bukan kemaslahatan ummat, meniscayakan berlakunya hukum rimba “siapa yang kuat, dia yang menang dan berhak hidup”. Yang imbasnya, kesenjangan kaya miskin terjadi dimana-mana. Dalam sistem Kapitalisme, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggungjawab si miskin itu sendiri, bukan beban bagi umat, negara ataupun hartawan.

Sebagaimana yang kita jumpai di wilyah DKI Jakarta, diberlakukan pasal 40 Perda DKI 8/2007 yang mengatur larangan mengemis dan larangan memberi uang atau barang kepada pengemis, dimana disebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang: (a) Menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (b) Menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (c) Membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil; beserta penjatuhan hukuman (hukumonline.com). Nyata-nyata menampakkan sikap berlepas diri, berlepas tanggungjawab, apatis/ tidak peduli dan tidak empati, sehingga tentu kebijakan ini tidak efektif dan solutif, sebab permasalahan yang dihadapi anak-anak terlantar dan fakir miskin banyak diakibatkan masalah ekonomi. Mereka belum terpenuhi kebutuhan hidupnya, disebabkan negara yang mereka harapkan akan dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup rakyatnya, nyata-nyata abai.

Harus diakui bahwa Kapitalisme terbukti gagal menyelesaikan problem pengentasan anak-anak terlantar dan fakir miskin. Alih-alih dapat menyelesaikan, justru yang terjadi malah menambah deretan masalah yang tak berujung dari waktu ke waktu. Sudah saatnya, kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain kapitalisme, yang mampu mengatasi dan menjawab segala persoalan kehidupan dengan solusi tuntas dan mumtaz.

Aktivasi Fungsi Negara dengan Islam

Seruan kembali kepada Islam untuk menjadikannya sebagai solusi bagi seluruh problematika manusia, telah banyak difirmankan Allah swt dalam ayat-ayatNya, yang diantaranya;

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS. Ar Ruum: 41).

Tentu jelas bagi kita, yang dimaksudkan dengan kembali ke jalan yang benar ialah kembali kepada hukum Allah swt. yang bersumber pada al Qur’an dan as Sunnah, sehingga kembali kepada Islam merupakan kewajiban dan jawaban atas persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya.

Bahkan panggilan untuk menegakkan Khilafah sudah semakin menggema dan banyak diperbincangkan, tidak hanya dalam lingkup lokal, melainkan nasional, internasional hingga mendunia. Disamping, Khilafah disadari sebagai role model negara yang menyejahterakan dalam fakta sejarahnya dan dikenal dunia luas sebagai mercusuar dunia, Khilafah merupakan janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah akan kembalinya Khilafah ke tengah-tengah manusia. Sehingga, sebagai seorang muslim, tentu kita mengimaninya, sebab Allah dan RasulNya tidak akan mengingkari janji. Sudah barang tentu, masa depan Khilafah akan banyak berhadapan dengan masalah yang diwariskan dari masa sekarang, diantaranya masalah penelantaran anak dan kemiskinan yang tidak hanya dialami oleh Indonesia melainkan di negeri-negeri lainnya. Bagaimana Khilafah mensolusi hal ini?

Berkaca pada pandangan Islam, Syekh An-Nabhani mengkategorikan yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm.236, Darul Ummah-Beirut).

Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu menyangkut sandang, pangan dan papan.

Sebagaimana dalam firman Allah swt;

“Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf” (TQS. al Baqarah: 233)

“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu” (TQS. Ath-Thalaaq: 6)

Dalam Rasulullah saw. bersabda:

“Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR. Ibnu Majah)

Apabila kebutuhan pokok (prmer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran umat manusia. Karenanya, Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah swt. “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (TQS. al Baqarah: 268)

Mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung:
  1. Orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri.
  2. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu.
  3. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal, dari kas lainnya.
  4. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum muslim.

Tidak hanya itu, syariat Islam memiliki pengaturan kepemilikan, yang tercakup dalam tiga aspek: jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Dalam Islam pula mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan menyediakan layanan pendidikan yang murah bahkan gratis.

Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada orang non muslim yang menjadi warga negara Khilafah, mempunyai hak yang sama.

Adapun dalam kasus penelantaran anak, sejatinya memelihara anak-anak terlantar seperti anak-anak jalanan merupakan salah satu fungsi negara. Negara memiliki kekuatan untuk memaksa orang yang wajib mengasuh anak bila mampu. Bila tidak mampu, negara wajib mencarikan pengasuh yang mau bertanggung jawab, atau negara menampung dan mendidik mereka dalam rumah-rumah khusus anak yatim dan anak terlantar.

Islam sebagai sistem hidup yang sempurna sangat memuliakan seorang anak dengan cara memenuhi hak-hak mereka, diantaranya:

Pertama, syari’at menjamin hak hidup setiap anak, baik sebelum atau bahkan setelah dilahirkan (QS. Al-Isra: 31). Dengan keimanannya, tidak akan ada orang tua yang tega membunuh anaknya hanya karena kawatir tak mampu memberikan nafkah yang layak.

Kedua, Syari’at Islam menetapkan bahwa seorang anak berhak dinafkahi ayahnya. Jika ayah tidak mampu, entah itu karena sakit keras ataupun cacat, maka kewajiban itu jatuh pada keluarga terdekat yang mampu (QS.Al-Baqarah: 233). Kalau ternyata mereka pun tidak mampu, maka negaralah yang menanggung kewajiban itu melalui baitul mal.

Ketiga, hak hidup aman. Orang tua wajib melindungi anaknya, menjaganya dari gangguan dan memberikannya rasa aman. Begitupula negara, pelaksanaan syari’at Islam yang sempurna, termasuk ketegasan penerapan sanksi hukum bagi pelaku kriminalitas akan menjamin keamanan dan keselamatan anak-anak.

Keempat, hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar manusia. Negara wajib menjamin pendidikan berkualitas bagi warganya dengan biaya yang sangat terjangkau, bahkan gratis jika memungkinkan.  Khilafah tidak diskriminatif dalam memberikan layanan pendidikannya, baik anak dari keluarga kaya ataupun miskin dari semua agama memiliki hak dan kesempatan yang sama.

Dengan demikian, Islam mampu menjamin terpenuhinya hak-hak fakir miskin dan hak-hak anak, ketika pengaturan Islam secara keseluruhan diterapkan dalam kehidupan. Layak pula sistem Islam dijadikan sebagai pengganti sistem kapitalisme. Karenanya, wajib dan perlu memperjuangkan dan mengaktivasi fungsi negara dengan Islam, dimana Islam dengan Khilafah ‘ala minhajj an-nubuwwah akan mampu menjadi junnah (perisai/pelindung) ummat (baca: rakyat) dan mewujudkan riayah su’unil ummah (pemeliharaan urusan ummat) sebagaimana telah terbukti sepanjang 13 abad ummat pernah hidup dengan penerapan Islam secara menyeluruh, 2/3 dunia pernah dipimpin dalam naungan Khilafah dengan segala pencapaian dan kegemilangannya. Wallahu ‘alam bi ash-shawwab. [VM]

Posting Komentar untuk "Maraknya Fakir Miskin dan Anak Terlantar di Indonesia; Bukti Disfungsi Negara"

close