Politik Transaksional Realitas Potret Demokrasi


Oleh : Umar Syarifudin 
(Departemen Politik DPD HTI Kota Kediri)

Isuk dele sore tempe. Itu istilah wong Kediri untuk menggambarkan realitas politik demokrasi saat ini yang suram. Sarat inkonsistensi pada visi dan janji. Kredo yang berkembang di tengah masyarakat pada akhirnya bahwa dunia politik itu sarat dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan disebut sebagai proses transaksional. Artinya, ada tukar-menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Dengan demikian, semakin banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal korupsi. Ini menunjukkan kepada publik akan praktik politik transaksional tersebut.

Dulu partai A gembar-gembor katakan tidak pada korupsi. Belakangan hari, petinggi-petinggi partai masuk bui. Dulu partai B koar-koar konsisten bersih dan peduli. Nyatanya, petingginya tersandung turbulensi korupsi. Dulu dan sekarang partai C teriak-teriak peduli nasib wong cilik, nyatanya mencekik. Paling banyak pula anggota dewan dari partainya yang harus berurusan dengan KPK. Sungguh ironi dan paradoks.

Dulu koalisi X menyatakan kami sangat solid, siap menjadi oposisi pemerintah, faktanya sekarang berubah. Syahwat berkuasa yang memuncak, sebagian partai-partai di luar lingkaran kekuasaan tidak kuat berpuasa. Akhirnya merapat ke pemerintah. Partai-partai politik sudah distempel oleh masyarakat konsisten dengan inkonsistensi. Dalam obrolan sehari-hari (ngalor-ngidul) jika menyinggung politik, acapkali masyarakat merespon “sinis”, “gemas’’, dan “geregetan” terhadap ulah para politikus yang memuakkan. Apatisme masyarakat terhadap budaya politik yang kotor dalam demokrasi perlu disikapi secara serius.

Di masa kampanye, para politikus mengeluarkan banyak dana untuk membiayai kegiatan tersebut. Dalam logika bisnis, modal yang sudah dikeluarkan tersebut harus kembali pulih atau minimal impas. Padahal besarnya gaji bulanan yang diberikan oleh negara kepada para politikus yang menduduki berbagai jabatan legislatif, eksekutif maupun yudikatif belum tentu mampu mengembalikan besarnya modal yang pernah dihabiskan untuk membiayai dana kampanye.

Nafsu korupsi menjadi jalan pintas yang bisa menjebak para politikus untuk mengembalikan atau mencari keuntungan setinggi-tingginya dalam jangka waktu singkat. Dalam konteks politik transaksional tersebut, partai politik sekadar menjadi jembatan politik yang dapat mengantarkan para politikus meraih berbagai jabatan publik yang diperebutkan secara bebas dan demokratis.

Nalarnya, politikus yang memiliki modal finansial yang kuat akan dilirik oleh partai politik. Kendati pun ada faktor-faktor lain yang cukup berpengaruh pada kesuksesan seorang politikus memenangi pertarungan pemilu maupun pilkada. Misalkan dukungan massa dan relasinya dengan media massa, popularitas, dan bahkan keberuntungan (nasib).

Dalam kamus politik, empat faktor di atas menjadi daya tarik yang diperebutkan oleh para politikus. Dukungan massa dan relasinya dengan media massa, popularitas, keberuntungan (nasib) dan besarnya modal finansial menjadi power yang mendukung eksistensi seorang politikus. Penguasaan empat hal di atas dapat mendongkrak rapor keterpilihan seorang politikus menjadi sang pemenang dalam berbagai pesta demokrasi.

Dugaan adanya proses tawar-menawar atau politik transaksional juga terjadi dalam pembahasan APBN 2016. Dalam kasus RAPBN 2016, kuat diduga "negosiasi" terjadi. Salah satunya karena ada barter dengan anggaran gedung DPR yang dibatalkan dalam anggaran tahun-tahun sebelumnya. Tapi kini masih harus dicari "udang" yang lain di balik penolakan penyertaan modal negara karena anggaran gedung sudah disetujui.

Gaya politik transaksonal itu ibarat racun yang sangat mematikan bagi rakyat Indonesia. Politik transaksional juga berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Hal tersebut terlihat dari beberapa kasus-kasus pejabat dan politisi yang terjebak dalam kasus yang menghianati amanah rakyat tersebut.

Dalam demokrasi, sangat wajar dunia politik sebagai panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Puncak kesuksesan politik ditafsirkan ketika pejabat mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya. Walhasil, politik transaksional telah menjadi realitas politik yang patut dicegah dan dicarikan solusi. Jalan demokrasi terbukti membuat negeri ini rugi. Saatnya negeri ini berbenah untuk menerima tatanan hidup yang Islami. [VM]

Posting Komentar untuk "Politik Transaksional Realitas Potret Demokrasi "