AS dan 13 Tahun Penjajahan Brutal di Irak
Oleh : Ainun Dawaun Nufus (*)
Hari ini, 20 Maret 2003 adalah momen kelam bagi umat Islam, saat Amerika Serikat bersama dengan pasukan koalisi memulai agresi di Irak. Presiden AS George W Bush kala itu dengan pidato yang mudah diingat ‘We will smoke them’ mengumumkan dalam pidato televise. pasukan Amerika dan koalisi ‘melucuti’ Irak sekaligus ‘membantai’ rakyat Irak dan untuk mengamankan kepentingan AS dari bahaya. Pada 2003, George W. Bush, juga membangun koalisi internasional beranggotakan 49 negara untuk menggulingkan Saddam Hussein. Pada saat itu, Prancis dan Jerman menolak untuk bergabung dan menentang invasi ke Irak.
Jelas, Irak dibombardir oleh AS dan sama sekali tidak ada perlawanan dari Irak. Ini terjadi pada 20 Maret 2003, atau 19 Maret waktu AS, saat invasi dimulai. Irak kini menjadi salah satu negara paling tak aman di dunia, disertai pertikaian sektarian dan hidup warga sipil yang sehari-hari terancam. Negara sedang menghadapi tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Setidaknya, empat juta, atau sekitar 15 persen dari 27 juta penduduk Irak, telah tergusur dari rumahnya. Belum lagi -kini- beban berat harus dipikul rakyat menghadapi ‘problem Khilafah Palsu ISIS’.
Lihatlah Irak luluh lantak. pemerintah di Baghdad menggunakan demokrasi hanya untuk membuat diri mereka lebih kaya dan lebih kuat. Banyak orang Irak mengeluh bahwa setelah lebih dari satu dekade pembangunan, mereka masih kekurangan pelayanan publik dasar seperti bahan makanan, listrik dan pasokan air yang memuaskan. Irak, Negeri 1001 Malam, kini menghadapi lebih dari 1001 persoalan. Bukan kedamaian yang didapatkan setelah Saddam Hussein ditumbangkan Amerika Serikat tahun 2003 lalu, justru rakyat menghadapi situasi perang saudara yang mengerikan.
Ketika Amerika menduduki Irak tahun 2003, Paul Bremer, penguasa Amerika untuk Irak, menetapkan konstitusi yang mengandung benih perpecahan Irak. Bremer membuat konstitusi Irak berdasarkan kuota aliran dan sektarian. Benih perpecahan terus tumbuh. Lalu pada bulan Desember 2011 Amerika keluar dengan penampakan militernya, sementara hakikinya secara keamanan dan politik masih menancap. Kemudian Amerika mendudukkan di atas kursi pemerintahan Irak seorang diktator sektarian tulen, Nuri Al-Maliki.
Selanjutnya al-Maliki sengaja menindas daerah-daerah utara dan barat Irak. Ia berlaku zalim dan menindas. Setiap kali benih itu meredup, dinyalakan lagi dengan aksi-aksi dan ucapan-ucapan provokatif untuk memicu daerah-daerah itu. Eskalasi sektarian terus meningkat sampai pada pembentukan milisi-milisi bersenjata Syiah. Sebaliknya, negara memfokuskan pada Tanzhim Daulah (ISIS) sebagai teroris Sunni. Padahal organisasi-organisasi yang masuk ke Mosul, Tikrit dan lainnya terdiri dari banyak gerakan, tidak hanya ISIS.
Namun, oleh media Barat justru ISIS yang ditonjolkan. ISIS digambarkan—dengan gaya fantastis ala Hollywood—sebagai sebuah inkarnasi kejahatan di bumi, mengambil-alih peran Al-Qaeda yang sebelumnya memenuhi peran hantu ini. Meski ISIS adalah salah satu pemain dalam koalisi kelompok yang bangkit melawan rezim Irak, secara tidak jujur mereka digambarkan sebagai pemain dominan bahkan pemain satu-satunya yang mendorong gagasan ‘pengambilalihan wilayah oleh teroris’. Di Mosul, 1000 pejuang ISIS digambarkan mampu mengalahkan 30 ribu pasukan Pemerintah.
Masalahnya tidak berhenti pada batas itu. Negara-negara sekitar Irak berlomba menonjolkan aspek sektarian. BasNews pada 20 Juni melaporkan, 150 pejabat intelijen Saudi diam-diam melakukan perjalanan ke pemberontak yang menguasai Kota Mosul melalui Provinsi al-Hasakah Suriah. Diduga negara-negara di kawasan ini telah bekerja pada berbagai isu regional dengan negara-negara Barat.
Bagaimanapun, Amerikalah yang kini berkuasa dan memegang kendali di Irak untuk mengatur segala urusan di negeri tersebut. Di belakang AS ada Inggris serta antek-anteknya yang tidak ingin Irak bersatu-padu. Mereka justru ingin Irak terpecah-pecah, saling bermusuhan dan bersaing serta saling memerangi sebagian terhadap sebagian yang lain! Setiap pihak bersikukuh memiliki daerah kekuasaan dan akhirnya menyerukan secara terbuka kedaerahan dan pemisahan.
AS ingin krisis di Irak terus berlanjut sehingga dapat mengkonsolidasikan perbedaan antara semua pihak untuk membuat rezim yang rapuh walaupun beban finansial invasi ke Irak, telah membuat AS tak bisa mengatasi beban utang. Ini terjadi saat ekonomi AS sedang menuju resesi akibat kehancuran sektor perumahan dan anggaran pemerintahan yang defisit ditambah lagi defisit perdagangan AS dengan negara lain.
Skenario Jahat
Para Analis menyebut ISIS bukanlah entitas independen. Ini adalah ciptaan intelijen AS. Ini merupakan aset intelijen AS, instrumen perang non-konvensional. Tujuan utama AS-NATO atas konflik ini adalah merekayasa penentangan terhadap Pemerintah Maliki. Penonjolan ISIS dimaksudkan untuk menghancurkan dan menggoyahkan Irak sebagai negara-bangsa.
Pembagian Irak sepanjang garis sektarian-etnis telah digambarkan di papan gambar Pentagon selama lebih dari 10 tahun. Pembentukan Kekhalifahan—oleh ISIS—mungkin menjadi langkah pertama menuju konflik lebih luas di Timur Tengah, mengingat bahwa Iran mendukung Pemerintah Al-Maliki dan taktik AS mungkin untuk mendorong campur tangan Iran.
Meskipun ISIS adalah salah satu pemain dalam koalisi kelompok yang bangkit melawan rezim Irak, ISIS secara tidak jujur digambarkan sebagai pemain dominan bahkan pemain satu-satunya yang mendorong gagasan ‘pengambilalihan wilayah oleh teroris’. Pada saat yang sama, perpecahan sektarian dan etnis sedang ditekan dan didorong. Para pemimpin Barat membebaskan kebijakan luar negeri mereka dari masalah yang dihadapi oleh Irak, dan malah mendorong fantasi ketegangan sektarian kaum Orientalis yang tidak terdamaikan dalam Islam. Rupanya, Sunni, Syiah, dan Kurdi akan selamanya berada di leher masing-masing kecuali mereka dipaksa dijinakkan oleh para tiran atau dilakukan intervensi oleh barat yang ‘beradab’ (menurut mereka).
Amerika tidak menilai kejadian-kejadian berdarah di wilayah Sunni antara suku-suku, ISIS, Ba’ats dan Naqsabandiyah sebagai gangguan keamanan meski pembantaian terjadi selama persengketaan dan peperangan di dalam satu wilayah yang sama. Amerika juga tidak memandang sampainya ISIS ke Mosul pada 10 Juni 2014 atau Tikrit atau yang lain sebagai gangguan keamanan, genosida dan tidak pula melampaui batas kemanusiaan. Hal itu karena semua itu adalah peperangan di satu wilayah yang sama. Akan tetapi, mendekatnya ISIS dan jamaah-jamaah Sunni lainnya dan mengancam Baghdad dinilai Amerika sebagai gangguan keamanan sehingga Amerika mengirimkan ahli-ahli keamanan.
Adapun sebab utama intervensi Amerika adalah menghalangi serangan apapun dari ISIS terhadap wilayah Kurdistan sesuai politik Amerika untuk memecah-belah Irak menjadi tiga wilayah dengan ikatan getas dengan pusat tanpa satu wilayah mencaplok wilayah lainnya. Amerika tidak ingin Irak kembali menjadi satu negara. Amerika ingin agar Irak tetap terpecah-belah menjadi wilayah-wilayah yang pada akhirnya berujung pada disintegrasi baik secara riil maupun konstitusional sesuai dengan rencana-rencana Amerika. Pada waktu yang sama Amerika tidak memandang persengketaan di dalam wilayah-wilayah itu sebagai gangguan keamanan yang mengancam perjanjian keamanan yang memperbolehkan intervensi Amerika. Inilah sebab utamanya dan bukan motif kemanusiaan apapun atau kekhawatiran terjadi genosida.
Irak, negeri dengan komposisi 80% penduduknya adalah bangsa Arab—kelompok etnis utama lainnya adalah Kurdi (15%), Asiria, Turkmen Irak dll (5%); kebanyakan tinggal di utara dan timur laut negeri—saat ini berada dalam jurang keterpecahan. Pasca invasi AS ke Irak, AS menyusun strategi belah-bambu antarsuku di Irak agar mereka tidak bersatu dan mudah dicengkeram. Irak masuk dalam jebakan AS melalui kekerasan sektarian yang berkepanjangan di antara tiga sekte Syiah Arab, Sunni Arab dan Kurdi.
Rencana untuk memecah Irak bukan muncul tiba-tiba, namun merupakan rangkaian yang tidak dimulai oleh Amerika pada saat pendudukan Irak, melainkan pada saat memberlakukan zona larangan terbang di wilayah utara Irak pada tahun 1991. Saat itu Amerika menjadikan wilayah Kurdistan seperti semi negara. Pada titik genting, Irak yang pada tahun 2002 menyimpan cadangan minyak sebesar 112,5 miliar barel atau hampir 11 % dari total cadangan minyak dunia, telah terkoyak-koyak.
Refleksi
Hendaknya kaum muslim dan seluruh lapisan masyarakat untuk tidak terjebak dalam histeria dan kebohongan. Suatu kebohongan adalah tetap kebohongan, tidak peduli berapa kali hal itu diulang. Kita telah melihat semua ini sebelumnya di Irak, Afghanistan dan di tempat-tempat lain. Kita harus menanggapi kebohongan ini dengan kebenaran: kebenaran bahwa masalah sebenarnya, akar masalahnya, adalah kekerasan barat, yang memunculkan kekerasan dari setiap individu atau kelompok berkali-kali dan pada kenyataannya menyebabkan penindasan yang memanggil umat untuk selalu bereaksi.
Negara-negara kapitalis dengan pimpinan Amerika tidak memberi nilai sama sekali terhadap faktor kemanusiaan atau moral. Namun, agenda bagi negara-negara itu adalah menyebarkan konspirasinya dan mempromosikan rencana-rencananya meskipun merusak kehidupan, ekosistem darat, laut dan udara. Begitulah, kaum kafir imperialis tidak memelihara hubungan dengan kaum Mukmin. Bahkan tangan mereka berlumuran darah di mana saja mereka tinggal. Itu menjadi saksi dari mereka menentang mereka. Untuk mereka kebinasaan karena apa yang mereka perbuat.
Tragis, kita melihat umat Islam yang telah memimpin dunia selama berabad-abad, kita melihat umat jatuh di bawah kontrol para penguasa diktator yang mencengkeram leher umat. Mereka menjadikan umat sebagai pentas untuk kaum kafir imperialis dan antek-antek mereka agar bisa menjalankan konspirasi dan rencana-rencana mereka. Ragam musibah telah menjadi makin hebat dan dahsyat menimpa umat ini sejak umat diam terhadap penghancuran Khilafah 90 tahun lebih yang lalu.
Hilanglah perisai yang menjadi tameng dan hilanglah perlindungan serta pemeliharaan yang baik. Akibatnya, umat pun ditimpa oleh apa saja menimpa mereka selama ini. Akan tetapi, yang meringankan penderitaan ini adalah kebangkitan berpengaruh yang kita saksikan di dalam umat. Umat hari ini bergerak dengan kuat dan beraktivitas dengan tegar. Kemudian, yang makin menghilangkan penderitaan ini insya Allah keberadaan para pengemban dakwah yang bersih yang berjuang siang dan malam. Mereka terus berjuang di dalam partai yang bersih dan murni dengan izin Allah untuk melanjutkan kembali kehidupan islami dengan tegaknya Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. [VM]
(*) Analis Politik (Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kediri)
Posting Komentar untuk "AS dan 13 Tahun Penjajahan Brutal di Irak"