Bagi Ulama Aswaja: Khilafah itu Final
Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
Demokrasi yang berasaskan sekularisme ini tidak akan berjalan tanpa liberalisme, sehingga dalam demokrasi muncul liberalisme dalam bidang ekonomi, politik, budaya, hingga agama. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang digunakan untuk meraih keuntungan materi dengan mengatasnamakan rakyat. Demokrasi merupakan alat penjajahan gaya baru.
Sistem demokrasi, sama sekali bukan ajaran Ahlus Sunah Wal Jamaah, melainkan konsep kafir penjajah yang sebenarnya haram diterapkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Banyak ulama masa kini yang mengecam demokrasi dan memfatwakan haramnya menerapkan sistem demokrasi.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufrin (1990) menegaskan : “Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambilnya, menerapkannya, dan mempropagandakannya.” (ad-dimuqrathiyah nizham kufrin yahrumu akhdzuha aw tathbiquhaa aw ad-da’watu ilaihaa).
Penolakan serupa terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj dalam kitabnya Ad-Damghah Al-Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyah. Menurut Belhaj, umat Islam haram mengikuti demokrasi, karena termasuk perbuatan menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) (hal 18-19).
Semua konsep itu (demokrasi, sekularisme, republik) bukanlah konsep Ahlus Sunah Wal Jamaah, melainkan ajaran-ajaran asing yang sudah berada di luar lingkaran Islam (laisa minal Islam). Semua konsep asing itu muncul di Dunia Islam bukanlah terjadi secara damai dan atas kesadaran umat Islam itu sendiri, melainkan terjadi melalui penjajahan.
Barat selanjutnya membuat sistem pendidikan sekular yang melahirkan individu-individu yang mengaku sebagai Islam (dan sebagian yang mengaku berpegang teguh kepada ajaran Ulama Ahlus Sunah Wal Jamaah), tetapi ideologinya sekular-liberal. Mereka tidak kenal, tidak percaya dengan Khilafah. Mereka lebih mengenal dan meyakini ide demokrasi, sekularisme, dan sistem republik. menyedihkan.
Pandangan Ulama Aswaja
Pada dasarnya, para ulama empat mazhab tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertugas melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (pengaturan urusan umat). Jika kita merujuk kitab-kitab fikih, kita akan menemukan para ulama berbagai mazhab muttafaq bahwa menegakkan Khilafah itu wajib. Kewajiban ini adalah kewajiban yang bersifat syar’i, bukan bersifat ‘aqli.
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam agung (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini. Penyelisihan oleh sebagian kelompok Qadariah mengenai masalah ini sama sekali tidak bernilai karena persoalan ini telah ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat, juga karena kebutuhan umat Islam terhadap imam yang agung tersebut; demi keterikatan dengan hukum; untuk menyelamatkan orang yang dizalimi dari orang yang zalim; untuk memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam.” (Imam al-Kassani, Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406).
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya’la al-Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19).
Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri dari mazhab Zhahiri menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124).
Di tempat lain, Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).
Syaikh Manshur al-Buhuthi al-Hanbali, ulama besar mazhab Hanbali, dalam kitab Kasysyaf al-Qina’ ‘an-Matn al-Iqna’ (XXI/61), menyatakan, “(Mengangkat imam/khalifah) atas kaum Muslim (adalah fardhu kifayah) karena masyarakat membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kesucian, mempertahankan wilayah, menegakkan hudud dan menunaikan hak; juga untuk memerintahkan yang makruf serta melarang yang mungkar.”
Prof. Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jamu Lughah al-Fuqaha’ (I/253) menjelaskan, politik dalam Islam adalah: ri’âyah syu‘ûn al-ummah bi ad-dakhil wa al-khârij wifqa asy-syarî’ati al-islâmiyyah; artinya pemeliharaan urusan umat di dalam dan luar negeri sesuai dengan syariah Islam. Makna inilah yang ada dalam hadis Nabi saw. riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah ra: “Bani Israil itu diurus oleh para nabi (tasûsuhum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat maka akan diganti nabi (yang baru). Namun tidak ada nabi setelahku dan akan ada para khalifah dan jumlahnya banyak.”
Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VI/316), menjelaskan pengertian tasusuhum al-anbiyâ’, yaitu mengatur urusan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh para pemimpin dan wali terhadap rakyat-(nya).
Ringkasnya, politik dalam Islam adalah permeliharaan (ri’ayah) urusan umat di dalam dan luar negeri, yang subyeknya adalah negara dan umat. Negara secara real melaksanakan pemeliharaan itu. Umat melakukan kontrol terhadap ri’ayah oleh negara.
Dari situ, kita mafhum mengapa para fuqaha’ saat mengkaji masalah politik, selalu mengaitkan dengan Imamah, atau Khilafah. Sebab, tanpa Khilafah dan Imamah, aktivitas politik dalam Islam tidak akan sempurna. Imam al-Ghazali, di dalam Ihya’ Ulumuddin (I/17) menyatakan, “Agama itu pokok. Kekuasaan itu layaknya pelindung. Sesuatu yang tidak ada pokok atau fondasinya maka akan hancur. Sesuatu yang tidak ada pelindungnya maka akan hilang.”
Imam Alauddin al-Kassani, ulama besar mazhab Hanafi, dalam kitab Bada’iush-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i (XIV/406), menegaskan: “Mengangkat imam yang agung (khalifah) adalah fardhu, tanpa ada perbedaaan di antara ahlul haq.” Hal senada ditegaskan oleh Al-Imam al-Hafidz Abu Zakaria an-Nawawi al-Asy’ari asy-Syafi’i dalam kitab Syarh Shahih Muslim (VI/291). Al-Allamah asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitsami asy-Syafi’, dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (1/25), bahkan menegaskan, “Ketahuilah bahwa sahabat ra. telah sepakat bahwa mengangkat imam setelah lewatnya zaman kenabian adalah wajib; bahkan mereka ra. menjadikan mengangkat imam tersebut sebagai kewajiban paling penting. Mereka (lebih) menyibukkan diri mereka untuk mengangkat imam tersebut daripada memakamkan (jenazah suci) Rasulullah. Perbedaan mereka dalam penentuan (siapa yang menjadi imam) tidak menodai ijmak (shahabat) yang disebutkan.”
Dalam Islam, politik perkara ma’lumun minad din bidh-dharurah. Memisahkan politik dari Islam serta menjadikan Islam sebatas ritus dan moral adalah pendiskreditan Islam. Ide pemisahan Islam dengan politik itu merupakan ide ‘aneh’ yang sebelumnya tidak dikenal di dalam Islam.
Langkah Praktis
Saat ini yang harus kita lakukan adalah ambil bagian bergabung dalam perjuangan mewujudkan kembali Khilafah Rosyidah. Kita pun harus mengintensifkan proses menjelaskan dan memahamkan sistem Islam kepada segenap komponen umat, terutama para tokoh, ulama dan ahlul quwah termasuk militer. Revolusi Tunisia, Mesir memberi pelajaran berharga bahwa jika umat telah menghendaki dan mendesak suatu perubahan maka tidak akan terbendung. Sebagian tokoh dan militer pun pada akhirnya akan berpihak kepada umat karena mereka adalah anak-anak umat ini dan tentu tidak akan bisa berhadapan dengan umat yang melahirkan dan mengasuh mereka.
Perubahan rezim saja tidak cukup, tetapi harus disertai perubahan sistem. Sistem ideologi kapitalisme dengan sistem politik demokrasi dan sistem ekonominya telah sama-sama kita lihat dan rasakan kegagalannya dan penuh kebobrokan. Saatnya kita ganti dengan sistem Islam yang berasal Allah yang Maha Adil dan Bijaksana. Saatnya Khilafah memimpin dunia. [VM]
Posting Komentar untuk "Bagi Ulama Aswaja: Khilafah itu Final"