LGBT, FTA dan Legal Of Frame : Pilar Pengokoh Liberalisasi
Oleh : Adil Nugroho
(Pemerhati Sosial Politik)
Dinamika dakwah bergerak penuh hikmah. Beragam kegiatan dengan berbagai cara pun dilakukan. Dipenuhi dengan keyakinan datangnya kemenangan yang dijanjikan Allah Ta'alla. Aktivitas dakwah mulai dari penanaman aqidah bil aqliyah. Hingga pembiasaan keterikatan pada syariah melalui pembinaan nafsiyah. Bahkan ada juga yang membentuk kelompok ideologis sufiyah. Sebuah fenomena dinamika dakwah dengan pernak perniknya yang menunjukkan keberagaman respon terhadap realitas persoalan yang diihsas (baca = dilihat).
Sebaliknya, upaya menghadang gerakan penyadaran umat pun begitu masif dilakukan. Baik melalui produk legislasi parlemen maupun kabinet. Atas nama demokratisasi dan perlindungan hak asasi. Tidak terkecuali fenomena yang menyeruak akhir-akhir ini. Benar-benar menggambarkan begitu sistemiknya persoalan yang dihadapi. Dari persoalan politik, sosial, budaya hingga ekonomi. Sepertinya tak satupun persoalan yang terjadi di negeri ini berdiri sendiri. Semuanya terkait satu sama lain. Hampir semua persoalan yang menyeruak ke permukaan bersifat esensial dan krusial. Diantara persoalan yang banyak dibicarakan orang salah satunya adalah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Banyak orang terjebak melihat persoalan ini hanya fokus pada entitas kelompok ini. Berikut berbagai kelompok di belakangnya yang secara intens memback upnya. Baik dari aspek moral, politik, intelektual, ekonomi, budaya dan lainnya. Padahal spektrum serangan liberalisasi sosial budaya yang ditunjukkan oleh LGBT ini diperkuat oleh berbagai pilar. Dan menggambarkan fenomena bentuk serangan yang diperkuat oleh gabungan berbagai strategi. Setidaknya beberapa pilar yang menopang gerakan LGBT antara lain : Pertama, terus dikawalnya RUU KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender) tidak menghalangi keluarnya Inpres Pengarustamaan Gender, dan diikuti dengan lahirnya berbagai Perda Pengarustamaan Gender di berbagai daerah, Kedua, strategi rekayasa propaganda baik melalui media-media mainstream maupun medsos hingga secara sadar atau tidak, telah mampu membentuk mindset diterimanya keberadaan entitas ini, Ketiga, revisi, amandemen atau judicial review terhadap produk-produk perundang-undangan berkonten syariah yang dianggap bermuatan melanggar hak asasi manusia seperti UU Perkawinan, UU Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, UU tentang Penodaan Agama adalah upaya delegitimasi Islam yang dianggap menghalangi atau menghambat gerakan ini, Keempat, lahirnya tokoh-tokoh intelektual dari entitas ini adalah sebuah perjalanan panjang rekayasa sosial yang akan menempatkan tokoh-tokoh intelektual ke dalam jajaran penentu kebijakan politis strategis yang akan sangat menentukan berbagai produk kebijakan penting, Kelima, advokasi hukum dan intelektual oleh berbagai NGO (Non Governmental Organization), LSM, lembaga riset, pusat kajian strategis yang mampu memberikan rekomendasi dan naskah akademik sebagai bahan lahirnya produk legislasi yang memperkuat keberadaannya. Pada akhirnya, menyeruaknya LGBT belakangan mendorong munculnya berbagai penolakan sporadis. LGBT sudah dianggap sebagai ancaman nasional. Bahkan ada yang mendorong lahirnya RUU Anti LGBT. Realitas sosial budaya LGBT seolah menyatukan visi dan langkah berbagai kalangan/kelompok yang tadinya berbeda pendapat. LGBT sesungguhnya menjadi simbol imperialisme melalui pintu liberalisasi sosial budaya.
Sementara itu, liberalisasi ekonomi melalui pintu investasi asing dan aseng pun semakin marak. Sebuah liberalisasi sektor strategis yang difasilitasi oleh negara menggunakan legitimasi perundang-undangan. Menjadi bagian dari skenario Rantai Pasokan Global (RPG). Dimana Indonesia dipersiapkan menjadi koridor ekonomi penyangga pasokan bahan mentah dan bahan tambang. Sekaligus sebagai sasaran market beragam produk manufacture dengan populasi muslim terbesar di dunia. Forum AS-ASEAN Summit beberapa hari kemarin sebagai bukti yang menunjukkan cengkeraman asing dan aseng melalui liberalisasi ekonomi. Salah satunya rencana peningkatan intervensi ekonomi AS ke negara-negara ASEAN khususnya Indonesia yang memiliki posisi strategis secara geo ekonomi politik. Agenda ekonomi global itu disertai juga dengan treatment penanggulangan terorisme. Yang ditunjukkan oleh presentasi Jokowi atas keberhasilan Indonesia menanggulangi terorisme dengan pendekatan law of enforcement dalam bingkal criminal justice system dan deradikalisasi. Seolah menjadi satu paket tidak terpisah antara agenda ekonomi produk forum AS-ASEAN Summit dengan strategi penanggulangan terorisme. Forum tersebut pada hakekatnya semakin memperkuat komitmen Free Trade Agreement (FTA) yang sudah dilakukan. Baik di internal ASEAN dalam bentuk MEA (Asean Economic Community) dan AFTA (Asian Free Trade Agreement) maupun Eropa-ASEAN FTA, China-ASEAN FTA dan lain-lain. Dimana kurang lebih 50 negara berada dalam kerangka konsep "single market dan production base". Siapa yang lebih perkasa kekuatan ekonomi politiknya maka dialah yang memenangkan pertarungan. Dalam konteks itu posisi strategis Indonesia menjadi incaran utama. Terutama dari aspek ketersediaan sumber daya alam melimpah dan potensi market yang besar. Inilah hakekat pembangunan infrastruktur sebenarnya dilakukan dan ditujukan. Atas nama meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, pembangunan infrastruktur menjadi fasilitasi lapang Rantai Pasokan Global bahan mentah dan bahan tambang dari Indonesia untuk kepentingan rezim Kapitalis Global Asing dan Aseng. Melalui kebijakan MP3I (Master Plan Percepatan Perluasan Ekonomi Indonesia) oleh Jokowi, proses imperialisasi melalui pintu liberalisasi ekonomi FTA yang diperkuat oleh negara itu dilakukan. Inilah suprastruktur politik ekonomi yang melingkupi dan menentukan berbagai produk dan arah kebijakan politik ekonomi Indonesia. Keberadaan UUD 1945 yang menjadi referensi konstitusional kebijakan politik ekonomipun akhirnya harus disesuaikan. Sebuah fenomena yang menjelaskan makna sebenarnya di balik terjadinya liberalisasi konstitusi dan perundang-undangan. Sebagai jalan lapang terjadinya liberalisasi ekonomi.
Tidak saja liberalisasi sosial budaya seperti LGBT dan liberalisasi ekonomi melalui FTA yang diperkuat oleh perundang-undangan. Melainkan di sisi lain, juga dibuatnya perangkat perundang-undangan untuk melindungi dan mengamankan jalannya liberalisasi semua sektor berjalan lancar. UU Anti Terorisme, UU Intelijen, UU Ormas, RUU Kamnas, SE Kapolri Hate Speech dan lain-lain adalah produk perundang-undangan yang penuh prasangka negatif terhadap Islam beserta pengusungnya. Karena Islam berikut pejuangnyalah yang vokal dan berani selama ini melakukan perlawanan secara diametral terhadap liberalisme dan imperialisme produk barat. Wajar jika dalam kerangka "proxy war" barat yang dikomandani AS berikut China dan Jepang yang ikut memanfaatkan situasi membuat tafsir pengalihan arti sesungguhnya ancaman internasional/dunia. Yang diikuti kemudian oleh berbagai negara termasuk Indonesia untuk merumuskan arti sebenarnya "ancaman nasional". Memasukkan terorisme yang multi tafsir dan menyisakan ketidak-jujuran penanganannya sebagai ancaman nasional adalah bentuk prejudice halus terhadap Islam dan pengusungnya. Karena AS dan barat hingga kini maupun yang akan datang tidak akan pernah merubah defenisi terorisme yang selalu dilekatkan dengan Islam. Ancaman peradaban baru manusia dalam pandangan barat yang akan menggantikan kapitalisme adalah Islam. Banyak analis politik dan pakar sejarah barat memprediksikan perubahan konstelasi politik internasional ini.
Realitas politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya sebagaimana terurai di atas lah yang bisa menjelaskan diantaranya kenapa terjadi berbagai ketimpangan maupun ketidak adilan kebijakan di negeri ini. Karena terdapat cengkeraman kekuatan internasional yang sangat menentukan peta politik nasional hingga akhirnya membuat negeri ini tidak berdaya apapun kecuali senantiasa didikte. Sebuah ketidakberdayaan politik disebabkan oleh ketergantungan ekonomi melalui pintu investasi dan hutang. Lemahnya penanganan ancaman separatis OPM di Papua sekalipun termasuk yang diatur dalam UU TNI bukan dalam domain UU Anti Terorisme, revisi UU Anti Terorisme yang masih perlu direevaluasi, pembangunan infrastruktur transportasi dari dana pinjaman luar negeri (aseng) yang belum jelas siapa sebenarnya paling diuntungkan, nuansa perebutan saham dalam kerangka "Papa Minta Saham" yang melibatkan penguasa negeri ini pada pengelolaan sumber daya alam oleh Freeport dan investor asing lain, dan beragam persoalan berbagai sektor cukup menjadi bukti sistemiknya persoalan negeri ini melalui pintu liberalisasi semua sektor. Penting untuk merenungkan referensi ideologi negara yang mampu memecahkan problem sistemik negeri ini. Sekaligus merealisasikan keberdayaan semua sektor. Dan Islam diturunkan oleh Allah SWT yang memuat ajaran syariah, dakwah, jihad dan khilafah satu-satunya aturan hidup manusia yang mampu menuntaskannya. Penting direnungkan ayat Allah SWT yang artinya ; “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kusempurnakan kepadamu NikmatKu, dan telah Kuridloi Islam sebagai agama bagimu” (QS Al Maifah (5) ; 3). Wallahu a'lam bis showab. [VM]
Posting Komentar untuk "LGBT, FTA dan Legal Of Frame : Pilar Pengokoh Liberalisasi"