Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

‘Wangi’ Blok Emas Banyuwangi dalam Ancaman Korporasi


Oleh : Umar Syarifudin (*)

Banyuwangi menjadi perhatian ‘pebisnis’.  Kabar santer bahwa di kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa tersebut, menyimpan potensi tambang emas yang besar, yakni di Gunung Tumpang Pitu, dekat Pantai Selatan Banyuwangi. Sebelumnya masyarakat sekitar tidak banyak yang mengetahui, bahkan daerah itu sebelumnya dipenuhi dengan cerita mistik yang secara tidak langsung semakin menjauhkan masyarakat dengan rencana kepentingan pihak-pihak tertentu yang berniat mengeksplorasinya. Layaknya gadis cantik di tengah kerumunan jejaka. Ini karena emas yang disimpan dalam perut buminya. Bukan hanya perusahaan emas raksasa yang mengadu peruntungan di hutan jati itu. 

21 Ahli geologi dan peneliti pertambangan dari dalam dan luar negeri yang melakukan field trip (studi lapangan) ke wilayah pertambangan emas di bukit Tumpang Pitu yang tak jauh dari Pulau Merah di Banyuwangi. Field Trip ini hasil  kerjasama 3 lembaga, yakni Society of Economic Geologists (SEG), CODES University of Tasmania, Australia, dan Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI). Para peneliti yang dipimpin geolog ekonomi nasional Ade Maryono antara lain berasal dari Australia, Jepang, Brazil, Mexico, Inggris, China, Laos. Turut dalam rombongan, geolog ekonomi Indonesia terbaik Ade Maryono.

Prof David Cooke menyebutkan, Banyuwangi dipilih para deolog dunia lantaran mereka meyakini Pulau Merah memiliki kandungan emas terbaik di dunia. Dari kacamata geolog potensi Pulau Merah ini dinilai istimewa lantaran cadangan kandungan emas dan pola-pola endapan batuannya yang menarik. Hasil riset menyebutkan Pulau Merah istimewa. Selain kandungan emasnya dinilai terbaik di dunia, bebatuan yang ada di sana bagaikan laboratorium alam yang luar biasa yang langsung bisa kita saksikan.

 Kini, eksplorasi tambang emas di tengah alas jati Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur, mulai membawa korban. Pengeboran di tambang emas seluas 11,6 ribu hektare membuat hutan jati itu gundul dan limbahnya mengotori laut.Rusaknya lingkungan dikhawatirkan mengganggu pasokan air untuk sungai-sungai yang selama ini mengairi lahan pertanian di Banyuwangi bagian selatan. Gunung Tumpang Pitu, Sebagai kawasan resapan air dengan debit 30 liter per detik, sangat tinggi untuk menjamin ketersediaan air bawah tanah dan sungai-sungai di sekitarnya.

Kondisi itu menyulut protes lembaga swadaya masyarakat, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, dan Islamic Centre for Democracy and Human Rights Empowerment (ICDHRE) Banyuwangi. Empat tahun terakhir, mereka mempertanyakan pemberian izin tambang untuk IMN. Limbah tambang IMN juga berpotensi merembes ke laut. Proses pemurnian emas dari logam lain menggunakan sianida. Laporan amdal PT IMN menyebutkan perseroan akan membuang limbah pemurnian (tailing) sebanyak 2.361 ton per hari ke Teluk Pancer di sebelah barat Tumpang Pitu.

Sejumlah warga yang menolak tambang belum ada titik temu dengan pihak Pemkab Banguwangi, aparat Kepolisian dan PT BSI (pengelola tambang di kawasan Gunung Tumpang Pitu). Penolakkan tambang emas di Kawasan Gunung Tumpang Pitu, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi sudah berlangsung sejak tahun 1997. Penolakan tambang karena imbas dari penambangan tersebut mengganggu warga.  Selain itu, Gunung Tumpang Pitu ini menjadi pelindung warga dari tiupan angin barat daya. Angin tersebut sangat kencang dan bisa memporak-porandakan rumah milik warga.

Meneropong Masalah

Tahun 2009 pemerintah menetapkan UU Minerba No 4/2009 yang mengizinkan perusahaan asing menanamkan modal langsung dalam perusahaan pemegang IUP (ijin Usaha Pertambangan). Alhasil PT IMN dan Intrepid sepakat membentuk struktur perusahaan baru sesuai dengan kesepakatan kerja sama sebelumnya. Selama kerjasama, Intrepid mengklaim telah menggolontorkan dana hingga AU$ 100 juta untuk mendanai proyek IMN. Akan tetapi di tengah jalan saham PT IMN berpindah tangan secara misterius.

Berdasarkan paparan PT IMN, jumlah cadangan bijih emas Tumpang Pitu mencapai sekitar 9.600 ribu ton dengan kadar emas rata-rata mencapai 2,39 ton. Sedangkan jumlah logam emas sekitar 700 ribu ton. Penambangan dengan metode “tambang dalam” (underground mining) itu akan memproduksi emas mencapai 1,577 ton pertahun. Total investasi awal yang disiapkan PT IMN mencapai US$ 4,3 juta.

IMN mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) tahap eksplorasi seluas 11,6 ribu ha di Banyuwangi bagian selatan, berdasarkan SK Bupati Banyuwangi No 188/05/KP/429.012/2007. Selain Tumpang Pitu dengan luasan 1.700 ha, konsesi IMN juga mencakup areal Katak, Candrian, Gunung Manis, Salakan, Gumuk Genderuwo, dan Rajeg Besi.

Lalu, sejak eksplorasi pertama kali pada 20 September 2007 sampai 29 Februari 2012, IMN sudah membor di 367 titik dengan kedalaman total 116.495 meter. Terdiri atas 16 titik sedalam 4.172 m yang dikerjakan PT Hakman Platina Metalindo dan IMN 351 titik dengan kedalaman 112.322 m. IMN pun sudah mendapat izin eksploitasi dari Bupati Banyuwangi melalui SK 188/10/KEP/429.011/2010 dengan luas 4.998 ha.

Masalah muncul, terutama karena adanya tumpang tindih atau sengketa kepemilikan saham perusahaan di IMN. Awalnya, IMN menjalin kerjasama dengan mitranya asal Australia, Intrepid Mines Limited. di IMN, Interpid bertindak sebagai penyandang dana dari seluruh kegiatan operasional perusahaan. Sebagai penyandang dana, intrepid dijanjikan keuntungan hingga 80% dari produksi IMN. Saat kerjasama diteken, undang-undang belum membolehkan perusahaan asing memiliki saham di perusahaan kuasa pertambangan, sehingga disepakati membentuk Perusahaan Modal Asing (PMA).

Perselisihan menjadi ruwet dan berujung pada ancaman untuk memperkarakan sengketa ke pengadilan, lantaran Intrepid merasa dikhianati IMN. Sejak memutuskan bergandengan tangan pada Agustus 2007, Intrepid, yang masuk melalui anak usahanya, Emperor Mines Limited, mengaku sudah merogoh kocek sekitar US$ 100 juta alias hampir Rp 1 triliun. Tapi, di tengah jalan, mereka melihat ada tanda-tanda mitranya bermain belakang, bahkan ada kabar telah mengalihkan sahamnya ke perusahaan lain.

Dalam sebuah pernyataan kepada bursa saham Australia, Intrepid menyebutkan soal pengalihan itu. Mereka mengatakan 80 persen saham IMN diyakini telah berpindah tangan dari pemegang sebelumnya, yakni pasangan suami-istri Andreas Reza Nazaruddin dan Maya Miranda Ambarsari. Pemilik terbaru disebut-sebut adalah PT Cinta Kasih Abadi, PT Selaras Karya Indonesia, Andreas Tjahjadi, dan Rahmad Deswandy.

Andreas Tjahjadi tercatat sebagai presiden komisaris di IMN, sekaligus direktur non-eksekutif di Seroja Investment, perusahaan yang berbasis di Singapura, yang menangani pengangkutan batu bara produksi PT Adaro Energy Tbk. Selain Andreas, direktur di Seroja Investment adalah Edwin Soeryadjaya, presiden komisaris di Adaro Energy.

Pemimpin eksekutif Intrepid, Brad Gordon, mengatakan masuknya juragan Media Group itu ke perusahaannya bertujuan membantu mempromosikan perusahaan dan kepentingan bisnisnya di Indonesia. Surya Paloh, kata Gordon, memiliki bisnis yang beragam, dari perminyakan dan gas sampai hotel dan properti.

Para analis pertambangan di Australia mengatakan posisi Surya tak lain merupakan beking bagi Intrepid. Maklum, bekas politikus Golkar yang kini mendirikan dan menjadi Ketua Umum Nasional Demokrat (Nasdem) itu ”dihadiahi” saham di tengah memanasnya sengketa antara Intrepid dan IMN. ”Masuknya Surya Paloh dimaksudkan untuk mendapat dukungan pengaruh dalam bernegosiasi dengan pihak-pihak lain yang beperkara,” ujar Peter Gray, analis dari Hartley’s Ltd, seperti yang Pernah ditulis Australian Associated Press. (siagaindonesia.com 18/04/14)

Dampak pengelolaan terhadap imbas lingkungan makin mengkhawatirkan, hutan lindung yang dari kejauhan tampak seperti jejeran gunung dengan tujuh puncak itu akan dijadikan lahan baru untuk mendulang rupiah, dengan mengesampingkan banyak aspek utamanya sosial dan lingkungan. Beberapa bagian hutan kini gundul. Warna hijau dedaunan berganti jadi cokelat tanah liat. Celakanya, banyak penambang meninggalkan lubang bekas galian dalam kondisi tetap menganga. Berbagai perlengkapan tambang tradisional dan sampah plastik berserakan.

Nuansa ‘aneh’ pun menyelimuti elit di Banyuwangi. Pemkab Banyuwangi sendiri menyatakan bahwa cadangan emas Tumpang Pitu akan mampu menyumbang 10-20 persen PAD Kabupaten Banyuwangi. Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari juga tetap ngotot mendukung penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu. Istri Bupati Jembrana Gde Winasa itu berdalih, penambangan emas berdampak positif  bagi masyarakat Banyuwangi. Sikap Ratna memunculkan kecurigaan. Mengingat, PT IMN akan membuang tailing ke laut di sekitar Pulau Merah. Jika proyek itu terealisasi, pantai Pancer, Puger, Grajagan dan Rejegwesi akan tercemar.

Tak hanya itu, hutan lindung Gunung Tumpang Pitu yang merupakan kawasan potensi air bawah tanah mencapai 30 liter per detik, akan segera beralih fungsi. Proyek itu juga akan mengancam keberadaan Taman Nasional Meru Betiri (TNBM) yang hanya berjarak 27 kilometer dari Tumpang Pitu.

Setali tiga uang, Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo juga merekomendasikan eksplorasi PT IMN di Tumpang Pitu dengan menandatangani surat nomor 522/7150/021/2007. Tentu saja keputusan Imam Utomo ini bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP) Jawa Timur 2002. Di mana terlihat bahwa Gunung Tumpang Pitu merupakan kawasan lindung mutlak dengan kategori hutan lindung. 

Masalah Sistemik

Konflik agraria memang tidak bisa dihindari. Sebab filosofi awal pengesahan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960, pada dasarnya ingin mengembalikan sumber-sumber agraria ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dimana petani dan masyarakat bawah bisa menikmatinya secara adil. Namun pada tahun 1967, diterbitkan kembali tiga undang-undang yang disahkan sekaligus, yakni pertambangan, kehutanan, dan penanaman modal. 

Pada UU Pertambangan terdapat kesan keistimewaan bagi perusahaan tambang. Semua perusahaan tambang yang akan mengekploitasi memiliki imunitas yang tidak dapat ‘disentuh’ hukum, jika mendapat masalah. Jadi ada pemberian kistimewaan atau kekebalan hukum. Inilah hal pertama dari liberalisasi agraria.

Kesenjangan, kekerasan, dan dominasi korporasi sudah terjadi sepanjang rezim orde baru. Dan hal inilah sumber masalah yang mengakibatkan kekerasan. Namun, jika dilihat kasus kekerasan agraria sekarang ini ada perbedaan karekteristik dengan masa orde baru ialah kalau saat itu terpusat, namun saat ini dilakukan wewenangnya di otoritas daerah.

UU Minerba yang menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Pertambangan semakin menyempurnakan lepasnya peran Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal (swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal. Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asing—karena asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuat—untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90 persennya sudah dikuasai asing.

Maraknya mafia dalam bisnis tambang dan migas serta penyerahan kekayaan alam kepada asing adalah akibat penerapan sistem Kapitalisme di negeri ini. Sesuai dengan doktrin Kapitalisme, negara berwenang menentukan kontrak pemberian konsesi kekayaan alam kepada swasta dan asing. Wewenang itu dilegalkan melalui pembuatan peraturan dan UU. Hal itu sangat dimungkinkan karena penerapan sistem demokrasi memberikan wewenang membuat hukum kepada manusia, yakni pemerintah dan Wakil Rakyat. Karena itu, jika sudah terlanjur ada peraturan dan UU yang menghambat, maka peraturan dan UU itu tinggal diubah saja. Itulah yang terjadi selama ini.

Mengapa wakil-wakil rakyat memerlukan UU Minerba? Demi menjamin kepastian hukum bagi kalangan “investor”. Lagi-lagi begitulah alasan ‘logis’ Pemerintah. Alasan yang sama juga pernah dilontarkan Pemerintah saat UU Migas, UU SDA maupun UU Penanaman Modal disahkan. Hanya demi kepastian hukum bagi kalangan pengusaha, Pemerintah tega mengabaikan kepentingan rakyat. Dalam UU Minerba, misalnya, jelas-jelas sejumlah kontrak di bidang pertambangan yang selama ini amat merugikan rakyat—yang telah berjalan lebih dari 40 tahun sejak Orde Baru—tidak akan diotak-atik. Padahal sebagian besar dari kontrak-kontrak itu baru akan berakhir tahun 2021 dan 2041. Memang, dengan berpegang pada pasal 169b UU Minerba ini, Pemerintah bisa mendesak dilakukannya penyesuaian pada kontrak-kontrak yang ada sekarang ini. Namun, UU Minerba ini tetap mengakomodasi pasal 169a yang melindungi keberadaan kontrak-kontrak lama itu. Itulah yang menjadi alasan mengapa Pemerintah tidak akan ‘semena-mena’ mencabut kontrak pertambangan yang sudah ada.

Hal itu tidak akan terjadi jika syariat Islam diterapkan secara total dan menyeluruh. Dalam sistem Islam, Allah tetapkan kekayaan alam sebagai milik seluruh rakyat. pemerintah tidak punya wewenang untuk menyerahkan kekayaan milik rakyat itu kepada swasta apalagi asing. Pemerintah justru diharuskan oleh Islam untuk mengelola langsung kekayaan alam itu. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung atau dalam bentuk pelayanan dan fasilitas.

Siapapun tidak bisa mengubah ketentuan hukum itu. Sebab, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah. Manusia sama sekali tak punya wewenang untuk membuat aturan dan hukum. Pemerintah justru berkewajiban menerapkan hukum syariah. 

Kekayaan alam termasuk tambang emas, Migas, dan sebagainya merupakan pemberian Allah kepada hamba-Nya sebagai sarana memenuhi kebutuhannya agar dapat hidup sejahtera dan makmur serta jauh dari kemiskinan. Allah berfirman:

] هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا … (٢٩) [

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …”. (Q.S. Al-Baqarah [2]:29)
Dengan demikian, pertambangan emas di bukit Tumpang Pitu bagian dari Sumber Daya Alam (SDA) yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan semua manusia dan penunjang kehidupan mereka di dunia ini sebagai kabaikan, rahmat dan sara hidup untuk dimanfaatkan oleh manusia dalam rangka mengabdi dan menjalankan perintah Allah.

Solusi Syariah

Jelas bahwa liberalisasi atas negeri ini telah merambah semua bidang kehidupan. Celakanya, semua itu dilegalkan oleh Pemerintah dan DPR—yang diklaim sebagai pemangku amanah rakyat—melalui sejumlah UU. Di bidang minyak dan gas ada UU Migas. Di bidang pertambangan dan mineral ada UU Minerba. Di bidang sumberdaya air ada UU SDA. Di bidang usaha/bisnis ada UU Penanaman Modal. Di bidang pendidikan ada UU Sisdiknas dan UU BHP. Di bidang politik tentu saja ada UU Pemilu dan UU Otonomi Daerah. Di bidang sosial ada UU KDRT dan UU Pornografi. Demikian seterusnya.

Secara tegas Nabi SAW menyebutkan, bahwa “Kaum Muslim bersyarikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” [HR Ahmad]. Karena itu, status tambang ini jelas merupakan milik umum, dan harus dikembalikan ke tangan umat [rakyat]. Dengan begitu, segala bentuk kesepakatan, termasuk klausul perjanjian dengan pihak swasta, begitu khilafah berdiri dinyatakan batal.

Sebab, Nabi SAW menyatakan, “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat, yang tidak ada dalam kitabullah. Tiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka batal, meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq, dan syarat Allah lebih kuat.” [Lihat, al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, hadits no. 29615].

Perusahaan ini juga tidak harus dibubarkan, tetapi cukup dibekukan sementara, dan diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun berubah, dari milik private menjadi milik publik dan negara. Selain bentuknya menggunakan perseroan saham (PT terbuka), yang jelas diharamkan, dan harus diubah, juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing pemiliknya. Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka.

Karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Maka, harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan private tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan private. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya. Kecuali, harta pokok mereka.

Dengan dinormalisasikannya kembali perusahaan publik dan negara sesuai hukum Islam, negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak pengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung running, atau tidak, bergantung tingkat kepentingan perusahaan tersebut. Jika sebelumnya perusahaan ini untung, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos harta haram. Karena, ini merupakan keuntungan dari PT terbuka, yang statusnya haram. Selain itu, ini juga keuntungan yang didapatkan individu dari harta milik publik dan negara. Setelah itu, keuntungan yang haram ini pun menjadi halal di tangan khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya.

Sebagai introspkesi, akibat hukum Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi ‘pintu masuk’ liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat? Mengapa kita masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri, kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi?

Setiap Muslim tentu menyadari, bahwa hanya syariah Islamlah yang pasti akan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan manusia, khususnya di negeri ini. Setiap Muslim juga tentu meyakini, bahwa hanya hukum-hukum Allah-lah yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Karena itu, sudah saatnya umat Islam tidak hanya setuju terhadap penerapan syariah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan berjuang untuk segera mewujudkannya. Ingatlah, penerapan syariah Islam adalah wujud keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Ingat pula, keimanan dan ketakwaan adalah sebab bagi turunnya keberkahan dari-Nya. 

Kondisi umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan tegaknya sistem al-Khilafah al-Islamiyah menggantikan sistem usang dan rusak itu. Al-Khilafah yang akan menerapkan Islam secara total yang dengannya membuat Rabb semesta alam ridha; mendatangkan kenikmatan kepada semua manusia baik muslim maupun non muslim dan memeratakan kesejahteraan ke seluruh penjuru negeri. [VM]

(*) Praktisi Politik (Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri)

Posting Komentar untuk "‘Wangi’ Blok Emas Banyuwangi dalam Ancaman Korporasi"

close