Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi Sistem Rusak-Rusakan, Kalau Bukan Khilafah, Lalu Solusi Apa!


Oleh : Umar Syarifudin 
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri) 

Krisis multidimensi, termasuk krisis keuangan, di Amerika Serikat dan Eropa, termasuk Indonesia sudah cukup menjadi bukti bahwa demokrasi di negara-negara kampiun demokrasi itu gagal mewujudkan sistem pemerintahan yang mampu membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak. Sistem demokrasi telah melahirkan hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya, muncullah kebijakan elit politik yang lebih pro pemilik modal daripada pro rakyat. Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap merupakan penyakit kronis demokrasi.

Makin lama, masyarakat makin sadar bahwa demokrasi tidak mengarah pada solidaritas, kemakmuran dan kebebasan tetapi konflik sosial, anggaran belanja negeri yang berlebihan dan pemerintahan yang bersifat menindas. Dulu, di pihak Barat eropa banyak yang menganggap demokrasi sebagai sistem politik terbaik yang bisa dibayangkan. Karena itu tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi sebuah agama sekuler. Kepercayaan politik terbesar di bumi. Mengkritik ide demokrasi adalah sesuatu yang berisiko dan Anda bisa dianggap musuh masyarakat beradab karenanya. Padahal secara normatif maupun empiris demokrasi bukanlah ide yang bisa diterima akal sehat dan tidak bisa menyelamatkan manusia.

Cacat Bawaan Demokrasi 

Pertama, Demokrasi selalu mengarah pada salah satu mekanisme "pemilihan", membawa orang kepada pesta demokrasi, kontes popularitas dan jargon. Secara tiba-tiba, pada musimnya, orang menjadi populis, berusaha merakyat (atau kelihatan dekat kepada rakyat?) dengan membawa misi perwakilan, menjadi penyelamat masa depan orang banyak, dengan menawarkan janji-janji singkat, bukan perbaikan jangka panjang. 

Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan value. Demokrasi yang diklaim oleh Abraham Lincoln sebagai “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” ternyata telah membajak suara rakyat untuk kepentingan segelintir elit yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan.

Semua orang dianggap sama, rata, berhak menyuarakan aspirasi. Itu berarti menyamakan siapapun, tidak ada beda antara orang kaya dan miskin, bodoh atau intelektual. Manusia mungkin saja "memilih" suara sama, namun mereka berasal dari latar belakang lingkungan berbeda, karakter mereka berbeda. Mengasumsikan adanya kesamaan secara a priori, berarti menganggap semua orang menjangkau keputusan, melek informasi, dan paham mekanisme yang terjadi dalam pemerintahan. Kenyataannya, tidak demikian.

Kedua, Politikus popular, lebih sering fokus pada emosi, bukan pada bangunan nalar politik atau akal sehat daripada mendahulukan signifikansi kebijakan. Bukankah orang sering menjagokan politikus berdasarkan pilihan yang tak masuk akal? Mengapa orang masih menaruh harapan kepada mantan presiden yang pernah berpidato mengutip pahlawan daerah, lalu mengirim tentara ke daerah itu untuk melakukan pembantaian? Mengapa orang masih menaruh harapan kepada mantan presiden yang pernah memamerkan kebersihan partainya namun ternyata partai itu korup?

Fungsi partai politik sebagai pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya partai politik yang konsisten dengan ideologinya. Partai politik sebagai sarana pendidikan politik masyarakat lebih parah. Kita melihat partai mengambil suara dari masyarakat bukan dengan pencerdasan terhadap visi, program partai, atau kaderisasi. Melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama sekali tidak mencerdaskan malah membodohi masyarakat.

Ketiga, Demokrasi punya bawaan bernama korupsi. Ini bukan kekeliruan (flaw) dari sistem demokrasi, hanya saja, setiap ada sistem demokrasi selalu ada korupsi. Logikanya sederhana: mesin politik kekuasaan membutuhkan "uang ekstra", mungkin untuk membayar kampanye, menjalankan hegemoni, ataupun menikmati hasil setelah tidak berkuasa. Korupsi bersifat sistemik, memaksa, dan di segala bidang. Tidak ada alokasi dana tanpa korupsi, tidak ada birokrasi tanpa korupsi. Korupsi bisa berupa penempatan orang, waktu, kesempatan, wilayah, ataupun fasilitas. Semua bisa dikorupsi.

Kegagalan demokrasi dalam mewujudkan sistem politik yang bersih dan sehat tampak pada mahalnya biaya Pemilu dan Pilkada. Jika Pemilu 2004 dana sumbangan dari perusahaan dibatasi maksimal Rp 1 Miliar, Pemilu 2014 yang lalu diperbolehkan sampai Rp 7,5 Miliar. Adapun sumbangan perseorangan dapat ditransfer langsung ke rekening partai sampai Rp 1 Miliar. Karena itu, masuk akal jika kemudian parpol didominasi oleh mereka yang memiliki modal besar (para kapitalis). Tentu karena mereka pada umumnya menyumbang kepada parpol imbalannya berupa kebijakan yang menguntungkan bagi mereka saat parpol tersebut duduk di kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Dalam kondisi tersebut, tampaknya segala usaha pemberantasan korupsi akan menemui jalan buntu karena justru negaralah yang menjadi pelaku korupsi (korupsi negara), sedangkan biangnya adalah sistem demokrasi.

Keempat, Demokrasi bisa mengatasnamakan kepentingan untuk melakukan "tugas negara" atau menyelamatkan masa depan. Amerika adalah contoh yang baik bagi demokrasi yang buruk, ketika sekarang (melalui jasa agen pembelot NSA bernama Edward Snowden) ketahuan melakukan pengintaian (surveillance) dan menguping (wiretap) pembicaraan telepon warganya. Praktek pemakaian intelejen, polisi rahasia, misi militer tersembunyi, adalah urusan negara yang sengaja tidak dipublikasi, namun kelak publik harus menerima akibatnya. Tidak hanya urusan dunia intelejen, negara melakukan kesepakatan (deal) dan perjanjian (agreement) yang melibatkan masa depan anak cucu, sering tanpa melibatkan informasi yang memadai, misalnya: menyetujui permodalan asing untuk penguasaan telepon seluler, bumi, air, dan kekayaan negara. Jika tiba-tiba kelak negara penganut sistem demokrasi terlibat utang yang harus dibayarkan 48 triliun lebih per tahun, itu karena para penguasa menjalankan tugas. Mereka menyebutnya "kebijakan negara", dengan catatan: anak cucu yang akan menanggungnya.

Kelima, Realitas birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu Korpri dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar. Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan. Saat birokrasi tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang memegang pucuk kebijakan, maka dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya karena birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan tersebut memihak pada partai lain. Akibatnya kebijakan tinggal kebijakan dan tidak terlaksana. Lebih parahnya, ini dapat memicu reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk stabilitas pemerintahan. 

Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh kecil adalah pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan ketidakpercayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi karena adanya kapitalisasi birokrasi. Hal di atas mendorong pada birokrasi yang tidak rasional. Kinerja menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip yang digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.

Keenam, di bidang pendidikan, salah satu masalah utama pendidikan di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan. Hal tersebut tidak terlepas dari rekomendasi liberalisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan dari UNESCO tentang HELTS (Higher Education Long-term Strategy) dan WTO tentang GATS (General Agreement on Trade in Services), yang harus diratifikasi oleh Indonesia sebagai anggota PBB dan WTO (World Trade Organization). Jelas, pengelolaan pendidikan di Indonesia saat ini di-drive menuju sekularisasi, liberalisasi dan kapitalisasi sesuai arahan pasar global yang dikendalikan oleh negara-negara kapitalis.

Ketujuh, sistem demokrasi dalam bidang sosial melahirkan kebebasan. Paham Liberalisme yang diagung-agungkan itu tidak menciptakan masyarakat yang beradab, tetapi malah melahirkan masyarakat yang tak beradab. Kemaksiatan merajalela, tingkat kriminalitas yang tinggi, tingkat kriminalitas yang tinggi. Meski UU Pornografi telah diundangkan, faktanya itu seperti macan ompong. Seks bebas seperti telah menjadi biasa. kebebasan yang dilahirkan dari rahim demokrasi menimbulkan problem maraknya kejahatan seksual. Hal ini hampir menyerupai apa yang sudah lazim terjadi di berbagai negara kampium demokrasi kapitalis Barat semisal Inggris dan Amerika Serikat. Di sana bisa terjadi 78 kasus pemerkosaan setiap jamnya, atau 683.280 kasus setiap tahun. Ini adalah fenomena mengerikan yang menyuguhkan potret masyarakat yang rusak dengan hancurnya moralitas, kemaksiatan merajalela dan tingkat kriminalitas yang tinggi akibat penerapan sistem demokrasi. 

Kedelapan, masalah kedaulatan (hak membuat hukum) di tangan rakyat, dengan asumsi suara rakyat adalah kebenaran, suara rakyat adalah suara Tuhan. Ironisnya, karena didukung oleh suara mayoritas maka perbudakan pada abad ke-19 di Amerika bagian selatan dikatakan benar oleh rakyat. Karena itu, ketika negara imperialis Barat mengarahkan agar sistem demokrasi yang mempunyai cacat bawaan itu digunakan untuk melakukan perubahan masyarakat di wilayah Timur Tengah saat ini dan negeri-negeri Muslim lainnya, sudah pasti bakal mengalami gagal total.

Kesembilan, Demokrasi rentan krisis karena sistem keuangannya ribawi, pasar saham yang spekulatif seperti judi dan mata uang kertas yang tidak berdasarkan pada emas. Demokrasi hanya mengokohkan penjajahan kapitalis dunia terhadap Indonesia. kapitalisme dan demokrasi tidak menjamin kesejahteraan tiap individu rakyat. Kapitalisme membiarkan persaingan bebas, sementara demokrasi gagal lahirkan penguasa yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. demokrasi dan sistem ekonomi liberal gagal menjadikan negeri ini lebih baik dan sejahtera. Sebaliknya, negeri ini makin rusak dan bobrok. Alih-alih menyelesaikan masalah, demokrasi dan sistem ekonomi liberal justru menjadi sumber masalah! Betapa tidak. Ongkos demokrasi yang amat mahal terbukti menjadi pemicu utama korupsi marak. 

Demokrasi yang dipropagandakan “dari, oleh dan untuk rakyat” pada praktiknya hanya untuk kepentingan para pemilik modal dan korporasi. Berbagai undang-undang liberal yang dihasilkan justru menyengsarakan rakyat. Bahkan demokrasi juga menjadi pintu masuk bagi negara-negara kafir penjajah untuk menguasai dan merampok kekayaan alam negeri ini.

Kesepuluh, Demokrasi dan nasionalisme sebagai payung pembenaran bagi pemerintah Indonesia terhadap penjajahan-penjajahan kaum muslimin oleh negara-negara Barat maupun Timur, Utara maupun Selatan. Sebagai contoh, serangan brutal Amerika dan Rusia dengan alasan memerangi umat Islam dengan propaganda memerangti terorisme di Suriah. Negeri kaum Muslim menjadi medan bagi pesawat tempur, artileri dan kapal perang musuh. Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat islam diinvasi musuh lalu bertepuk tangan untuknya, memujinya dan memanggilnya. Namun, itu merupakan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.

Amerika adalah gembong agresi atas negeri kaum Muslim. Amerika memerangi kita (umat Islam) di Syam dan Indonesia, dengan cara langsung ataupun tidak langsung, termasuk menggunakan beragam alat: lokal, regional dan internasional. Jika penguasa antek hampir jatuh, Amerika mengikat kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional. China dan Rusia mengikuti jejaknya AS, ini ditambah Eropa yang terus mengintai kita.
Hanya Berkah Dengan Khilafah

Kondisi yang kita alami ini, punya solusi yang sudah diketahui, bukan tidak jelas. Keberhasilannya, dengan izin Allah, telah dipastikan dan tak diragukan. Itu diucapkan oleh gua Hira’, hijrah Rasul saw dan al-Khilafah ar-Rasyidah; Inilah solusinya, kita kembali kepada benteng kokoh, kepada al-Khilafah ar-Rasyidah. Di situ ada kemuliaan dunia dan akhirat. Solusi yang termaktub di al-Kitab dan tak terhapus, disebutkan di dalam sunnah Rasulullah dan tak terlupakan. Tersimpan di lembaran-lembaran sejarah kemilau dan diingat oleh setiap orang yang punya pendengaran dan akal.

Perubahan hakiki tidak akan terjadi hanya dengan mengganti satu agen dan agen lainnya, bukan pula mengganti konsitusi sekular yang satu dengan konstitusi sekular yang lainnya, bahkan hanya dengan tambal sulam dengan syariah Islam yang digunakan sekadar sebagai kosmetik dan pewarna atau alat legitimasi saja. Perubahan yang sejati hanya akan terjadi ketika umat Islam bergerak dengan tuntunan yang telah diatur oleh syariah dalam satu pikiran, perasaan dan aturan yang sama dengan tegaknya Khilafah Islam serta memilih pemimpin yang amanah. 

Perubahan sejati inilah yang akan membuat kaum Muslim dan kafir (dzimmi) aman dengan jaminan keamanan dan kesejahteraan Islam tanpa diskriminasi. Dalam bidang ekonomi syariah Islam juga menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Barang tambang yang melimpah (emas, perak, minyak dll), air, hutan dan listrik merupakan milik umum yang digunakan untuk kepentingan rakyat; tidak boleh diberikan kepada swasta atau individu. Dengan cara seperti ini Khilafah akan mensejahterakan masyarakat, yang gagal diwujudkan oleh sistem demokrasi. 

Penulis mengetahui bahwa Anda, baik petani, guru, pedagang, ulama, militer, buruh pabrik, para pegawai direktorat yang memiliki kekuatan, hingga kabinet dan pegawai kabinet, semua sudah gelisah dan bosan dengan kezaliman para penguasa pro-kapitalis. Sebab Anda melihat bagaimana mereka merampas kekayaan umat bersama tuan-tuan mereka kaum kafir dan mereka juga melanggar kehormatan dan agama Anda. Akibatnya masyarakat menderita secara fisik dan ruhani dalam bentuk kemiskinan, kelaparan dan dilanggarnya hak-hak kita. Kita paham dan merasakan hal itu dan hati kita bergetar karenanya. Akan menjadi sia-sia jika kita gelisah dan bosan dengan semua itu, akan tetapi, kita diam saja dan tidak angkat suara menyatakan penolakan dan protes. Belum tibakah saatnya bagi kita untuk mulai melakukan perjuangan hakiki dan memberikan pengorbanan untuk mengokohkan Islam dan tidak terpedaya dengan aktivitas-aktivitas parsial? [VM]

1 komentar untuk "Demokrasi Sistem Rusak-Rusakan, Kalau Bukan Khilafah, Lalu Solusi Apa!"

Anonim 6/10/2016 11:48 AM Hapus Komentar
Daripada anda sibuk kentut dan berkoar2 memperjuangkan sebuah sistem yang tidak jelas arahnya, lebih baik anda bantu perjuangkan nasib masyarakat Muslim Indonesia yg insyaallah lebih jelas mamfaat dan pengaruhnya. seperti mmbantu mmperjuangkan anak jalanan agar bagaimana bisa mendapatkan pendidikan yg layak, membantu anak2 untuk bisa membaca ayat al-Qur'an, dan lain sebagainya. Itu semua lebih jelas dibandingkan dengan visi dan misi anda menyatukan dunia di bawah satu bendera (khilafah). mengenai hal itu allahalah nanti yg akan mewujudkanya di akhir zaman, kaerana itu sudah menjadi janjinya. jadi anda tidak punya kekuatan untuk itu. bagi saya, anda hanyalah manusia yg haus kekuasaan.
close