Membaca Geopolitik Suriah
Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
Serangan demi serangan terus mendera warga Suriah. Termasuk serangan udara pemerintah Suriah melanda rumah sakit di kota Aleppo. Insiden tersebut menewaskan setidaknya 16 orang dan upaya penyelamatan masih terus berlangsung. Aljazeera mengabarkan, serangan terhadap rumah sakit Al Quds terjadi pada Rabu (27/4) malam. Insiden membuat sejumlah staf medis dan warga sipil meninggal, termasuk dokter Wasem Maaz, salah satu dokter anak yang tersisa di daerah pemberontakan itu. Setidaknya 35 orang, termasuk delapan anak-anak tewas di Aleppo pada Selasa (26/4). Kelompok pemantau mengatakan serangan tersebut dilakukan pasukan pemerintah.
Serangan AS dan Rusia dari udara, laut dan darat, dengan pangkalan dan penasehat mereka, adalah melalui koordinasi dengan Amerika, bahkan mewakili dan dengan perintah dari Amerika. Warga mereka sendiri bersaksi. “Surat kabar Guardian Inggris mengutip dari seorang senator di Kongres Amerika John McCain bahwa AS terlibat dengan Rusia dalam perang proxy di Suriah…” (Aljazeera, 5/10/2015).
Rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, untuk mengirimkan pasukan tambahan ke Suriah mengundang tanggapan dari Rusia lewat juru bicara Kementerian Luar Negerinya, Maria Zakharova. Dalam temu wartawan mingguan, Zakharova mengatakan, Rusia ingin mengetahui lebih detail tentang rencana AS untuk meningkatkan jumlah pasukan khusus di Suriah, seperti dikutip dari laman Reuters, Rabu (27/4/2016). Awal pekan lalu, Obama mengumumkan ekspansi terbesar pasukan darat AS di Suriah sejak perang saudara dimulai. Penyebaran hingga 250 pasukan khusus meningkatkan kekuatan AS di Suriah kira-kira enam kali lipat dari sebelumnya. Zakharova pun lantas mengingatkan bahwa kebijakan AS di Timur Tengah harus lebih koheren, dimana sebelumnya Washington menyatakan tidak akan ada tentara AS di Suriah, seperti dikutip dari Sputnik. Sebelumnya, AS telah mengirim setidaknya 50 anggota pasukan khusus untuk membantu pasukan pemberontak Suriah memerangi kelompok ISIS. Pengiriman pasukan itu dilakukan pada bulan Oktober tahun lalu.
Atas Rancangan AS tersebut, Rusia melakukan manuver perlawanan, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia mengatakan, tidak ada dasar hukum untuk kehadiran personel militer Amerika Serikat (AS) di Suriah. Pasalnya, pemerintah Suriah tidak memberi izin pada AS untuk menyebar pasukan di wilayah negara itu. "Tentu saja mereka tidak sah," kata Wakil Menteri Luar Negeri Gennady Gatilov kepada wartawan, ketika ditanya apakah tentara AS telah dikerahkan di Suriah legal secara hukum, seperti dikutip dari laman Sputnik, Rabu (27/4/2016). Awal pekan ini, Presiden AS Barack Obama mengaku akan mengirim 250 pasukan operasi khusus tambahan ke Suriah dalam beberapa pekan mendatang. Pengiriman pasukan itu untuk mendukung milisi lokal dalam perjuangan anti-Daesh, istilah Arab untuk ISIS. Sebelumnya, pada bulan Oktober tahun lalu, AS telah mengerahkan setidaknya 50 tentara ke Suriah untuk membantu milisi lokal memerangi kelompok ISIS.
Suriah menjadi medan Proxy War
Permasalahan Suriah menjadi panjang karena terjadi tarik ulur berbagai kepentingan diantara negara-negara superpower yang menguasai dewan keamanan PBB, dan juga kepentingan politik Syi’ah dan Israel. Banyak kekuatan internasional yang berusaha memberi pengaruh terhadap hasil perang Suriah. Mulai dari Amerika, Rusia, Turki, negara-negara Arab, Iran, Inggris, Uni Eropa, Israel hingga China sebagai aktor-aktor Negara.
Jika mencermati bagaimana Suriah jadi ajang perebutan pengaruh negara-negara Imperialis, maka kita harus buka kembali berkas-berkas terkait hasil Konferensi Perdamaian di San Remo, pada 24 April 1920. Konferensi internasional yang dihadiri para negarawan Eropa tersebut, masih sangat diliputi atmosfer pasca Perang Dunia I yang mana Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, merupakan negara-negara pemenang perang. Maka melalui Konferensi San Remo itulah, antar negara-negara adikuasa pemenang Perang Dunia I, berbagi daerah mandat.
Perancis mendapat Suriah, Inggris diserahi mandat untuk Irak dan Palestina. Suriah, Irak, dan Palestina melalui perjanjian San Remo itu dinyatakan sebagai daerah mandate katergori A. Sejak awal, perjanjian San Remo sejatinya memang ditujukan untuk bagi-bagi daerah kaya minyak di Timur Tengah. Misalnya dalam bagi-bagi daerah di Irak atau yang dulu masih dikenal dengan nama Mesopotamia, sejak 1918, yaitu ketika Inggris dan Perancis sudah jelas-jelas muncul sebagai negara-negara pemenang Perang Dunia I, kedua negara tersebut sudah bikin kesepakatan diam-diam untuk berbagi daerah kaya minyak di Irak.
Misalnya Perancis sudah sepakat bahwa Mosul, salah sebuah kota terbesar di Irak yang kaya sumber-sumber minyak mentah, akan diberikan kepada Inggris. Selain itu, pada 18 April 1919, Perancis dan Inggris menandatangani sebuah perjanjian di mana Perancis menerima saham yang semula milik Jerman(negara adikuasa yang kalah dalam Perang Dunia I), dan diizinkan membuat pipa minyak melintasi daerah mandatnya dari Mosul sampai Laut Mediterania. Tentu saja perjanjian Perancis-Inggris ini hanya sekadar penanda akan adanya kesepakatan-kesepakatan susulan yang tentunya di luar topic yang disepakati oleh kedua negara di Perjanjian San Remo. Dengan kata lain, perjanjian April 1919 tersebut hanya sekadar “Mahar” belaka.
Buktinya pada 25 April, jadi kurang dari semingu sejak perjanjian Inggris-Perancis, Perancis menerima bagian saham sebesar 25 persen dari Perusahaan Minyak Turki (juga negara kalah dalam Perang Dunia I), dan diizinkan mengangkut minyak dengan kereta api atau pipa dari Mesopotamia (Irak) dan Iran melalui Suriah. Melalui kesepakatan ini jelas sudah, bahwa dari sejak pasca Perang Dunia I, Suriah nampaknya secara tersirat menjadi objek bagi-bagi kekuasaan antara Inggris dan Perancis. Pada perkembangannya Irak, Suriah dan Palestina keberatan dengan Perjanjian San Remo yang pada dasarnya hanya untuk melegalisasikan kontrol asing (Inggris dan Perancis) di kawasan Timur Tengah. Dan bukan dimaksudkan untuk memerdekakan negara-negara Arab tersebut.
Ringkas cerita, Perjanjian San Remo yang merugikan Suriah serta Irak dan Palestina, ternyata malah menyulut perlawanan ketiga negara tersebut, meskipun secara militer Perancis dan Inggris pada akhirnya berhasil mengatasi keadaan. Namun, hal itu justru mendorong Inggris untuk menggelar kembali sebuah Konferensi Internasional di Kairo membahas masalah Timur Tengah, pada 12-24 Maret 1921.
Konferensi Kairo menghasilkan beberapa keputusan antara lain: Kerajaan Irak diserahkan kepada mantan Raja Suriah Faisal, yang digulingkan Perancis pada 7 Agustus 1920 gara-gara menentang Perjanjian San Remo. Sedangkan Pengeran Abdullah, kakak Faisal, didukung untuk memerintah keemiran Transyordania. Pintarnya Inggris, agar tidak terkesan mengontrol negara-negara Arab itu, dan gerakan perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis bisa dikendalikan, maka sistem mandate yang pada kenyataannya merupakan bentuk penjajahan asing, diganti dengan istilah perjanjian aliansi, yang terlihat melalui pelantikan Faisal.
Negara-negara Arab seperti Irak, Suriah dan Palestina, pada Perang Dunia I berhasil digalang oleh seorang aparat intelijen Inggris, Thomas Edward Lawrence, menjadi sebuah aliansi militer melawan Dinasti Turki Usmani, yang pada waktu itu merupakan lawan pasukan sekutu yang dimotori oleh Inggris, Amerika Serikat dan Perancis. Pada Perang Dunia II, karena Perancis diduduki oleh pasukan fasisme Jerman, dan pemerintahan boneka Perancis yang dipimpin Vichy otomatis juga menguasai negara-negara jajahannya, termasuk Suriah.
Kibatnya, Inggris yang pada waktu itu dalam posisi sebagai musuh Jerman pada Perang Dunia II, kemudian melancarkan serangan militer ke Suriah yang pada waktu itu dikuasai oleh pasukannya Vichy, melalui Palestina, Transyordania dan Irak. Unsur-unsur Perancis bebas yang pro Inggris yang berada dalam kepemimpinan Charles de Gaulle yang kelak jadi Presiden Perancis pasca Perang Dunia II, juga ikut dalam serangan militer Inggris menyerbu Suriah tersebut. Akhirnya pemerintahan Perancis boneka Jerman tersebut menyerah kepada pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, dan sejak saat itu, Suriah dan Lebanon berada dalam pendudukan pasukan Inggris di bawah komando Timur Tengah Inggris sejak 14 Juli 1941.
Situasi menjelang berakhirnya Perang Dunia II, justru mendorong Inggris dan Perancis sebagai negara-negara pemenang perang, malah mulai mengakhiri bulan madunya. Ketika perlawanan kalangan nasionalis Suriah semakin menguat sejak 1944 terhadap mandate Perancis, Inggris malah mendukung Suriah. Merasa mendapat angin dari Inggris, Suriah bersama-sama dengan Lebanon yang juga jajahan Perancis, pada 21 Juni 1945 menyerukan deklarasi bersama mengusir semua warga negara Perancis dan mengalihkan kendali kemiliteran ke dalam kendali Suriah dan Lebanon.
Akhirnya pada April 1946, Perancis menarik seluruh pasukannya dari Suriah, memenuhi resolusi Dewan Keamanan PBB, menyusul desakan para nasionalis Suriah dan peran aktif Amerika Serikat. Nampaknya, menyusul meredupnya campur-tangan Perancis dan Inggris di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya, Amerika Serikat sejak 1946 mulai memainkan peran penting di Suriah. Adapun setelah berakhirnya Perang Dunia II dan ditarik mundurnya pasukan Perancis dari Suriah, pemerintahan Republik Suriah memang didomonasi oleh blok nasionalis seperti Shukri al Watli, Jamil Mardam Bey, Saadullah al Jabri, dan kawan-kawannya, yang memang punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Namun pada 30 Maret 1949, Kolonel Husni Zaim melancarkan kudeta tak berdarah terhadap pemerintahan Presiden Quwatli dan Perdana Menteri Khalid al Azim. Zaim kemudian membubarkan parlemen dan menjalankan pemerintahan sementara. Menariknya, kudeta tersebut justru mencerminkan reaksi karyat Suriah atas lemahnya pemerintahan rezim Quwatli. Rupanya, manuver Kolonel Zaim memperoleh dukungan dari dua kelompok, yaitu militer dan para reformasi muda yang menginginkan perubahan radikal di Suriah. Misalnya dari Partai Sosial-Nasional Suriah pimpinan Saadeh cabang Hama (yang mendukung Suriah Raya) dan Partai Rakyat (yang lebih erat dengan Irak) konservatif, namun berprinsip demokratis.
Haluan politik luar negeri pemerintahan Zaim cenderung dekat dengan Mesir(waktu itu kasih di bawah raja Farouk) dan Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud. Kebijakannya yang pro Arab Saudi dan Raja Farouk Mesir yang waktu itu keduanya pro blok Amerika Serikat dan Barat, maka colonel Zaim boleh dikatakan bersikap konservatif dan mengabaikan desakan blok nasionalis untuk Rencana Pembentukan Suriah Raya.
Dengan kata lain, dalam pertarungan sengit antara dinasti Ibnu Saud (Arab Saudi) dan Dinasti Hashimiyah (Irak dan Yordan) yang sebetulnya sama-sama binaan Inggris, Kolonel Zaim cenderung memihak kepentingan dinasti Ibnu Saud. Berarti, Kolonel Zaim mendapat dukungan dari Amerika Serikat. Namun gagalnya gagasan penyatuan Irak dan Yordania yang mengikutsertakan Suriah, telah menuai perlawanan dari dalam negeri terhadap pemerintahan Zaim. Gara-gara semakin mendapat gelombang perlawanan, Zaim terpaksa melarang semua kegiatan politik maupun partai politik pada 1949. Tentu saja, rakyat jadi semakin membenci pemerintahan Zaim.
Agaknya, kudeta yang diawali era Kolonel Zaim, kemudian jadi tradisi. Pada 14 Agustus 1949, Zaim dan Perdana Menteri Mushin al Barazi digulingkan melalui kudeta militer yang dipimpin Kolonel Sam Hinnawi. Dalam pernyataannya, Hinnawi mengatakan kudeta ini untuk meluruskan hal-hal yang melenceng di era Zaim. Hinnawi kemudian meminta mantan Presiden Republik, Hashim Bey Atassi, untuk membentuk pemerintah sipil sementara. Kudeta militer pimpinan Sam Himawi, rupanya merupakan momentum bagi Partai Rakyat untuk berkuasa. Pada pemilu November 1949, Partai Rakyat memperoleh 42 kursi dari total 114 sehingga menjadi partai terbesar di dalam Majelis Konstituante.
Berbeda dengan Zaim, Kolonel Hinnawi selain mempertahankan hubungan baik dengan Mesir dan Arab Saudi, juga mulai merintis hubungan dengan Irak dan Yordania yang dikuasai oleh Kelompok Hashimiyah pimpinan Syarif Hussein bin Ali. Sehingga rencana penyatuan dengan Irak dan Yordania menjadi agenda prioritas untuk dibahas. Namun sekelompok klik di dalam tentara, tidak setuju gagasan tersebut. Alhasil, untuk menggagalkan rencana penyatuan Suriah dan Irak, Kolonel Adib Shishakli menggulingkan Hinnawi. Sepanjang periode fase-fase awal Republik Suriah itu, garis politik luar negeri Suriah pada dasarnya pro Arab Saudi dan Kerajaan Mesir di bawah Raja Farouk yang konservatif, dengan dukungan sepenuhnya dari Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan pada 1950, Raja Ibnu Saud Arab Saudi memberi bantuan kepada Suriah, asalkan mendukung pemerintahan-pemerintahan yang anti Hashimiyah yang berpusat di Irak dan Yordania.
Namun, ketika Amerika Serikat semakin memperlihatkan dukungan terbukanya kepada Israel sejak berdirinya negara tersebut pada 1948, maka kebijakan pro AS yang dirintas sejak era Kolonel Zaim, mulai ditinggalkan. Bahkan beberapa anggota pemerintahan Perdana Menteri Khaliud al-Azem, secara terang-terangan mulai mendukung Pemerintahan Uni Soviet.
Sejak Februari 1950, Perdana Menteri Khalid al Azem yang pada dasarnya memang berasal dari kalangan independen, menyatakan bahwa Suriah akan menganut politik berdiri sendiri di atas kaki sendiri tanpa mencari bantuan dari AS. Suriah pun menolak PBB yang disponsori AS yang akan memberi bantuan pada pengungsi Palestina. Maka sejak itu, kerusuhan anti-Amerika kerap melanda kota-kota Suriah, bahkan di halaman depat Kedutaan Besar AS pernah diledakkan bom. Pemicunya, karena dukungan terbuka AS terhadap Israel meskipun tetap menjanjikan bantuan untuk Timur Tengah.
Dengan begitu, di era pemerintahan Adib Shishakli inilah, meski dia memerintah dari belakang layar, dan membiarkan orang-orang sipil menjalankan pemerintahan, pada hakekatnya berhaluan nasionalis dan mengambil jarak tehadap AS dan blok Barat. Dalam sebuah pidatonya, Shishakli menyebut Damaskus sebagai ibukota Arabisme masa kini dan jantung bangsa Arab. Pada akhirnya, rezim pemerintahan Shishakli berhasil dikudeta oleh Kolonel Mustafa Hamdun. Dalam kekosongan pemerintahan itu, Hashim al-Atassi ditunjuk kembali sebagai presiden, kabinet baru terbentuk dipimpin oleh Perdana Menteri Sabri al Assali, yang berhaluan nasionalis, namun didominasi oleh kelompok populis. Dan menganut politik luar negeri anti Barat.
Pemerintahan Suriah pimpinan Perdana Menteri Sabri al-Assali sejak Februari 1955, menyatakan bahwa kebijakan luar negeri Suriah sejalan dengan Pakta Arab; bahwa Suriah, dalam kondisi khusus, dapat berhubungan dengan Barat; dan bahwa Suriah menolak pakta Turki-Irak. Sebagai gantinya, Suriah menandatangani perjanjian segitiga Suriah-Arab Saudi dan Mesir. Situasi ini mengecewakan bagi Turki, sehingga insiden perbatasan kedua negara seringkali terjadi. Alhasil, di mata Suriah, Turki merupakan ancaman nasional, khususnya bagi integritas wilayah Suriah.
Menghadapi ancaman dari Turki yang mendapat dukungan dari AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara(NATO), Suriah merasa lega ketika Uni Soviet, melalui Menteri Luar Negeri Molotov pada akhir Maret 1955, menyatakan bahwa Rusia tidak akan berpangku tangan bila Turki menyerang Suriah. Pada titik inilah, praktis Uni Soviet memasuki pentas pertarungan di Timur Tengah, sebagai kekuatan penyeimbang.
Di sinilah, peran Pertai Kebangkitan Sosialis Arab (Baath) harus diperhitungkan. Partai inilah yang sejak 1956 mendukung Pan Arabisme, yang mana semakin mempererat hubungannya dengan Mesir yang kala itu sejak 1952, sudah beralih menjadi Republik, di bawah pemerintahan Jenderal Gamal Abdel Nasser. Karena Mesir di bawah kendali Nasser menganut politik luar negeri Non Blok, yang secara alami menjalin hubungan yang lebih akrab dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, maka para elit politik Partai Baath yang sejatinya mendukung ideologi Arab Nasionalisme-nya Nasser, juga menjalin hubungan mesra dengan Soviet.
Namun pada era 1956, pemerintahan Suriah masih berada di tangan Partai Populis, yang pada dasarnya berwatak konservatif. Namun pada semester kedua 1956, Partai Baath mulai memainkan peran, setelah mendapat dua pos penting di kabinet, kementerian luar negeri dan Ekonomi Nasional. Sejak itu, Menteri Luar Negeri Saleh al Bitar mulai semakin mempererat hubungan dengan Mesir dan Uni Soviet, seraya menghapus segala pengaruh Barat, serta memandang persekutuan dengan Irak sebagai penghianatan bangsa karena dianggap pro AS dan Barat. Sedangkan persekutuan Suriah-Mesir Uni Soviet sebagai kebijakan “Netralisme Positif.”
Tak lama kemudian, Suriah mengakui secara resmi keberadaan Republik Rakyat Cina. Ketika Mesir dan Presiden Nasser menyatakan akan menasionalisasi Terusan Suez, Dan Suriah, sebagai bentuk kesetiakawanan dengan Mesir dan Nasser, yang dikepung oleh Inggris-Israel-Perancis, juga semakin mempererat hubungannya dengan Uni Soviet. Bahkan pada September 1956, Suriah mengadakan perjanjian militer dengan Soviet, mendahului perjanjian Soviet-Mesir. Bahkan pada 20 Agustus 1956, seiring dengan semakin meningkatnya sentiment anti AS dan Barat di Damaskus menyusul nasionalisasi Terusan Suez oleh Nasser, Suriah menandantangani perjanjian pendidikan dan kebudayaan dengan Rusia.
Bahkan beberapa saat kemudian, sebagai bentuk solidaritas kepada Mesir, Suriah memutuskan aliran pipa Perusahaan Minyak Irak yang memasok kebutuhan bahan bakar Barat dengan kapasitas 25 juta ton setahun. Meskipun pemerintahan Presiden Quwatli menganut politik luar negeri “Netralisme Positif” namun di mata AS Suriah terancam oleh pengaruh Soviet. Lebih celaka lagi, ketika di era pemerintahan Dwight Eisenhower dan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles, menganggap negara-negara yang menganut politik luar negeri yang netral, adalah immoral. Alias dianggap pro Soviet atau RRC.
Tentu saja hal ini malah semakin memicu kemarahan dan antipati pemerintah dan rakyat Suriah. Sehingga tiga anggota kedutaan AS diusir oleh pemerintah Suriah. Bahkan di elemen ketentaraan, khususnya angkatan darat, pengaruh Pan Arabisme dan Nasionalisme Arab semakin menguat, dengan diangkatnya Jenderal Afif Bizri sebagai Kepala Staf Angkatan Darat Pada Agustus 1957.
Pandangan dari pihak AS dan blok Barat, bahwa pro Pan Arabisme dan Nasionalisme Arab berarti pro Soviet, merugikan bagi keberadaan dan kiprah AS dan blok Barat di Suriah, Mesir dan Libya, ketika Kolonel Moammar Khadafi berhasil merebut kekuasaan dari Raja Idris.
Gerakan memproklamasikan Federasi Suriah dan Mesir, pada perkembangannya memperkuat pengaruh dan kekuasaan Partai Baath di dalam negeri Suriah. Karena para pemain kunci di Partai Baath lah yang sejatinya mendesak Nasser untuk secepatnya memproklamasikan persatuan kedua negara dilandasi gagasan gerakan besar menuju Pan Arabisme dan Nasionalisme Arab. Maka pada 1 Februari 1955, persatuan Mesir-Suriah diproklamasikan oleh Presiden Gamal Abdel Nasser dan Presiden Quwatli.
Pada 1961, Suriah kembali memisahkan diri dari Federasi Mesir-Suriah, menyusul kudeta angkatan darat. Dalam pemerintahan yang dibentuk tentara, hanya dua politisi yang diminta bergabung mendukung pemerintahan Perdana Menteri Maamun Kuzbari. Yaitu Menteri Dalam Negeri Adnan Quwatli dan Menteri Keuangan Leon Zamariya.
Meski tidak lagi berkomitmen dengan Pan Arabisme, namun pemerintahan Kuzbari tetap menyatakan kesetiaannya terhadap cita-cita Pan Arabisme seraya menekankan karakter Arabnya. Orientasi politik luar negeri Suriah sejak saat itu hingga, tampilnya Hafez al Assad, tetap dalam kerangka kebijakan tersebut. Yang berarti menjaga keseimbangan antara AS-Inggris-Perancis di satu sisi, dan Uni Soviet dan RRC pada sisi lainnya.
Sementara itu Partai Baath, yang basis ideologinya adalah Nasionalisme dan Sosialisme Arab, mewarnai konstelasi politik Suriah, dan semakin mengkonsolidasikan kekuasaannya. Hingga mencapai titik kulminasinya, ketika Hafez al Assad, tampil ke tampuk kepresidenan memimpin suriah sejak 1971. Sejak era Hafez al Assad, yang kemudian digantikan putranya, Bashar al Assad pada 2000, praktis perpolitikan Suriah ditopang oleh dua pilar yaitu militer dan Partai Baath.
Keadaan berubah drastis, sejak Arab Spring 2010 lalu, membangkitkan gejolak amarah rakyat yang selama ini dipendam atas kediktatoran rejim demi rejim anti Islam yang bercokol di Suriah. Perubahan yang diharapkan dari pihak kaum muslim adalah terbitnya kembali Khilafah Islamiyah. Dan ini sangat mengerikan bagi semua negara-negara Barat dan Timur.
Pertarungan akhirnya menjadi jelas berdasarkan kengototan Barat menghalangi kaum Muslimin menegakkan daulah al-Khilafah ar-Rasyidah, berlawanan dengan keseriusan kaum Muslimin untuk menegakkannya. Amerika telah memanfaatkan khilafah ala ISIS dan pembantaian keji yang dilakukan oleh tanzhim al-Baghdadi mengatasnamakan Islam. Semua itu untuk mendistorsi ide khilafah dalam pandangan kaum Muslimin. Dengan itu berlangsung pra kondisi untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan Amerika mewujudkan koalisi neo-salibis menentang Islam dan kaum Muslimin serta merekrut para penguasa pengkhianat di negeri-negeri kaum Muslimin sebagai tentara Amerika dan Barat di dalam koalisi ini.
Gencatan-gencatan senjata yang berlangsung adalah bagian dari sarana rezim Assad yang dikawal ketat AS dan Rusia memperpanjang umurnya dan meluaskan kekuasaannya setelah hancur. Dengan itu rezim bisa dengan tenang menyiapkan suasana untuk penggantinya, yang direkayasa di Konferensi Riyadh dengan arahan Amerika dan para pengikutnya. Karena itu Presiden Amerika memberikan selamat atas gencatan senjata al-Wa’ar dan menyerukan perluasan gencatan senjata secara lebih besar. “Obama mengatakan bahwa itu bisa diterapkan di Suriah secara lebih besar.” (Reuters, 9/12/2015).
Pelajaran Berharga
Pangkal dari berlarut-larutnya revolusi di Suriah bermuara pada dua: adanya campur tangan negara-negara Barat dalam revolusi ini; adanya perbedaan visi perjuangan dari kelompok-kelompok revolusioner di Suriah. Pertama: campur tangan negara-negara Barat ini menunjukkan bahwa mereka memiliki agenda masing-masing dalam konflik di negeri tersubur di Timur Tengah ini. Suriah adalah “lahan” kepentingan politis negara-negara Barat di kawasan Timur Tengah. Banyak pihak yang terlibat di sana. Ada Iran, Rusia, Amerika Serikat dan Israel serta tentu saja PBB. Jika dipetakan secara umum, kekuatan di atas terbagi menjadi dua kekuatan utama: (1) Rezim yang berkuasa di Suriah, pimpinan Presiden Bashar al-Assad, yang didukung oleh Iran dan Rusia; (2) Kekuatan oposisi yang ingin menjatuhkan Assad, yang didukung Amerika Serikat, Israel, sejumlah negara Eropa Barat, beberapa negara Islam di Timur Tengah (Arab Saudi dan Qatar) serta negara Islam dari Persia (Turki). PBB melibatkan diri dalam upaya mendamaikan perang saudara di Suriah. Namun, sebagaimana biasa, keberpihakan PBB adalah ke rezim yang berkuasa, atau ke pihak Amerika Serikat.
Kedua: Perbedaan visi perjuangan dari para kelompok revolusioner ini juga tidak bisa ditutup-tutupi. Namun demikian, perbedaan ini berupaya diselesaikan. Salah satunya adalah ketika beberapa faksi Islam yang ikut berjuang di Suriah menandatangani “Piagam Kehormatan Revolusioner”. Piagam yang terdiri dari 11 poin itu menetapkan pengawasan kerja revolusi agar tetap bertujuan untuk menggulingkan rezim Assad. Piagam tersebut ditandatangani oleh beberapa faksi Islam di antaranya, Persatuan Islam Tentara Syam, Tentara Mujahidin, Korps Syam, Front Islam dan Brigade al-Furqon. Isinya menegaskan bahwa tujuan dari revolusi bersenjata di Suriah adalah untuk menggulingkan Rezim Assad. Piagam yang diterbitkan dalam bahasa Arab dan Inggris tersebut menekankan untuk mempertahankan integritas wilayah Suriah, mencegah upaya perpecahan dengan segala cara yang tersedia. Ditegaskan pula, kekuatan revolusi percaya bahwa itu harus menjadi keputusan politik dan militer dalam revolusi. Faksi-faksi Islam tersebut juga menyeru semua kekuatan yang berjuang di Tanah Suriah untuk ikut menandatangani piagam itu agar menjadi satu tangan dalam upaya menggulingkan Rezim Assad yang tiranik.
Setelah melepas Islam dari bingkai negara, umat Islam kini terperosok sekaligus menjadi ajang perebutan kerakusan negara-negara dan orang-orang yang tamak. Penulis mengingatkan bahwa kaum Muslimin tidak dikalahkan karena sedikitnya jumlah dan tidak pula karena lemahnya persiapan. Kaum Muslimin dikalahkan tidak lain dari sisi kelemahan keimanan mereka dan terpecah belahnya jamaah mereka. Sikap jernih sekarang adalah dengan berusaha untuk menjadikan solusi yang merepresentasikan umat Islam sendiri yaitu dengan berpegang kepada solusi Islami. [VM]
Posting Komentar untuk "Membaca Geopolitik Suriah"