Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Khilaf Seputar Khilafah


Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Terkait Khilafah, sering kita jumpai pandangan khilaf (keliru) akut pada sebagian kalangan menyebut bahwa Khilafah bukan dari Islam, atau khilafah mengancam NKRI, atau demokrasi sudah final. Bagi beberapa kalangan, gagasan bahwa seluruh umat Islam di dunia dapat bersatu dalam satu Negara Islam di bawah bendera Khilafah merupakan omong kosong. Meski argumen mereka rapuh, namun gencar disampaikan dari forum ke forum. Mirisnya lagi, pihak pemerintah era Jokowi juga salah paham terkait khilafah, bahkan memberikan warning terkait ancaman Khilafah sebagaimana yang disampaikan Luhut saat berpidato pada acara Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Jakarta, Selasa, 5 April 2016 "Dari informasi intelijen, ada upaya untuk memasukkan paham khilafah ke Indonesia," Menurutnya pemerintah harus menangkal masuknya paham khilafah untuk menjamin keamanan dan perekonomian Indonesia.

Namun, sering pula kita dengar pandangan yang senada dengan KH. Muchlas Zain yang menyampaikan bahwa masalah wajibnya khilafah insyaAllah tidak ada khilaf lagi, nashbul khilafah ini adalah wajib syar’an wa aqlan, wajib secara syar’i dan akal, sudah tidak perlu kita pertentangkan lagi, hanya sekarang bagaimana manhaj thariq menuju nasbul imam. Ataupun selaras dengan pandangan KH Syamsuddin Ramadhan an Nawy menegaskan bahwa jumhur ulama salaf sepakat menyatakan mengangkat seorang imam (khalifah) adalah fardhu. Beliau pernah menyampaikan ”Tidak ada ikhtilaf (perbedaan) tentang wajibnya Khilafah, diantaranya, berdasarkan pendapat Imam Alaudin (madzhab Hanafi), Imam Umar bin Ali (madzhab Hanbali), Ibn Taimiyah, Imam Syafi’i, Imam Maliki dan mayoritas ulama madzhab sepakat mengangkat seorang imam sebagai fardhu.” Hal yang urgen kita dudukkan makna khilaf, baru yang kedua membahas khilafah, sehingga tidak ada khilaf di antara kita.  

Perbuatan karena khilaf (al-khatha’) ada dua jenis. Pertama: yang tidak ada hubungannya dengan perbuatan ikhtiyari menyengaja kesalahan itu. Misal: orang yang tak tahu arah, lalu dia berusaha sungguh-sungguh menentukan arah kiblat, kemudian dia shalat dan ternyata dia tidak menghadap ke arah kiblat; atau orang yang tidak bisa membaca al-Fatihah dengan benar karena kelemahan akalnya atau masalah lisannya sehingga ia melafalkannya secara salah; atau orang yang pada umumnya tidak mengetahui hukum syariah, lalu dia melakukan perbuatan tidak sesuai syariah karena ketidaktahuannya seperti orang baduwi pada masa Rasul saw. yang mendoakan orang yang bersin, sementara dia sedang shalat, karena dia tidak tahu bahwa itu tidak boleh dan membatalkan shalat, ia tidak tahu karena lokasinya di kampung dan tidak ada yang mengajarinya; dan semisalnya.  Perbuatan-perbuatan itu dan semisalnya termasuk yang dimaafkan oleh Allah.

Kedua: orang yang sengaja melakukan perbuatan keliru meninggalkan yang shawab, yakni melakukan perbuatan menyalahi syariah. Misal: orang yang sengaja berbuka pada siang Ramadhan dan dia tahu; atau orang yang tidak mempelajari hukum syariah yang menjadi tuntutan perbuatan atau kehidupan sehari-harinya, sementara dia mampu mempelajarinya lalu dia melakukan kemaksiatan akibat ketidaktahuan yang disengajanya itu; Orang sudah tahu bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban syar’i, namun sengaja menyembunyikan dalil ini atau malah bersikap melawan arus kewajiban ini, atau perbuatan lain semisalnya.  Perbuatan-perbuatan itu dan semisalnya tetap berakibat dosa dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. 

Seputar Khilafah 

Definisi khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja).   Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem politik yang khas.

Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.

Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at. Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat. 

Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah untuk bertindak adil dan memerintah rakyatnya berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari pendapatnya sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Setiap undang-undang yang hendak dia tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan metodologi yang terperinci, yaitu ijtihad. Apabila Khalifah menetapkan aturan yang bertentangan dengan sumber hukum Islam, atau melakukan tindakan opresif terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa dalam sistem Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment kepada Khalifah dan menggantinya.

Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh kekuasaannya melalui akad bai’at. Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar negeri dan peradilan. Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup masyarakat adalah tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh Khilafah. Ini sangat berbeda dengan sistem teokrasi kuno di zaman pertengahan Eropa dimana kaum miskin dipaksa bekerja dan hidup dalam kondisi memprihatinkan dengan imbalan berupa janji-janji surgawi. Secara histories, Khilafah terbukti sebagai negara yang kaya raya, sejahtera, dengan perekonomian yang makmur, standar hidup yang tinggi, dan menjadi pemimpin dunia dalam bidang industri serta riset ilmiah selama berabad-abad.

Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana check and balance untuk memastikan agar Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel.

Khilafah tidak menindas kaum minoritas. Orang-orang non Muslim dilindungi oleh negara dan tidak dipaksa meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk agama Islam. Rumah, nyawa, dan harta mereka, tetap mendapat perlindungan dari negara dan tidak seorangpun boleh melanggar aturan ini. Imam Qarafi, seorang ulama salaf merangkum tanggung jawab Khalifah terhadap kaum dzimmi: “Adalah kewajiban seluruh kaum Muslim terhadap orang-orang dzimmi untuk melindungi mereka yang lemah, memenuhi kebutuhan mereka yang miskin, memberi makan yang lapar, memberikan pakaian, menegur mereka dengan santun, dan bahkan menoleransi kesalahan mereka bahkan jika itu berasal dari tetangganya, walaupun tangan kaum Muslim sebetulnya berada di atas (karena faktanya itu adalah Negara Islam). Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusannya dan melindungi mereka dari ancaman siapa saja yang berupaya menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta kekayaannya, atau melanggar hak-haknya.”

Ada kesalahfahaman (khilaf) serius perihal konsep “khilafah” di sebagian kalangan umat Islam. Dikiranya “khilafah” adalah konsep kekuasaan yang satu pihak memiliki klaim kerajaan. Khilafah bukanlah kerajaan yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain. Nasionalisme dan rasisme tidak memiliki tempat dalam Islam, dan hal itu diharamkan. Seorang Khalifah bisa berasal dari kalangan mana saja, ras apapun, warna kulit apapun, dan dari mazhab manapun, yang penting dia adalah Muslim. Khilafah memang memiliki karakter ekspansionis, tapi Khilafah tidak melakukan penaklukkan wilayah baru untuk tujuan menjarah kekayaan dan sumber daya alam wilayah lain. Khilafah memperluas kekuasaannya sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, yaitu menyebarkan risalah Islam. 

Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh melegislasi hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri. Khilafah bukanlah negara totaliter. Khilafah tidak boleh memata-matai rakyatnya sendiri, baik itu yang Muslim maupun yang non Muslim. Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau dipenjara. Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah hal yang terlarang.

Mewujudkannya adalah Kewajiban ‘setiap muslim’ dan bukan Pilihan

Di dalam Islam, makanah atau posisi ulama sangat istimewa.  Hujjatul Islam Imam al-Ghazali al-Asy’ari asy-Syafi’i, di dalam Ihya’ Ulumuddin (I/5) menjelaskan, “Nabi saw bersabda, “Ulama adalah pewaris nabi.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibn Hibban). Yang pasti, tidak ada posisi melebihi posisi kenabian, dan tidak ada kemuliaan melebihi kemuliaan pewaris kedudukan tersebut.” Inilah kedudukan ulama dalam pandangan Islam.  Maka dari itu, ma’qul kalau ulama adalah panutan, menjadi rujukan dan uswah bagi umat.

Jika ada sebagian kalangan menyandarkan argumentasinya kepada ulama mu’tabar dan ulama aswaja, maka pandangannya kontradiktif realitas. Justru para ulama aswaja telah bersepakat dan tidak ada perbedaan pandangan tentang wajibnya Nashbul kholifah Ulama Aswaja dari kalangan empat mazhab mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah, seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah atau imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib.

Imam Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii juga mengatakan: Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).

Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim (VI/291) menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat khalifah. Kewajiban itu berdasarkan syariah, bukan akal.” Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, lanjut Hamidi, Syaikh Abdurrahman menyebutkan, ”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum Muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum Muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.”

Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa ’Umdah al-Muftîn disebutkan: Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat untuk memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi imam/khalifah) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi imam/khalifah dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dulu (Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433).

Syaikh al-Islam, Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab juga menyatakan: Imam al-A’zham (Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan (Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb, II/268).

Imam ‘Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi menyatakan : “Sebab, mengangkat Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali—penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah—karena adanya Ijmak Sahabat ra. atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap Khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariah), membela orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam (khalifah)… (Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i XIV/406).

Imam al-Qurthubi, seorang ulama dari Mazhab Maliki. juga menyatakan: …Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham… (Catatan: Al-Asham adalah orang Muktazilah yang berpendapat bahwa mengangkat seorang khalifah tidak wajib, namun dia dianggap sesat dan menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim) (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).

Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, seorang ulama mazhab Hanbali, menyatakan: Berkata (Ibnu al-Khathib), “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya…” (Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).

Di dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl disebutkan: Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali berkata, “Mengangkat seorang imam (khalifah) tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijmak kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) di setiap masa untuk mengembalikan berbagai kesukaran kepada imam dan menyerahkan kemaslahatan umum kepada dia (Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131).

Di dalam Kitab Râdd al-Muhtâr (IV/205) juga dinyatakan: “(Perkataannya: wa nashbuhu) maksudnya adalah (mengangkat) Imam al-A’zhâm (dan perkataannya: ahamm al-wâjibât (kewajiban yang paling penting), yakni; mengangkat seorang imam (khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena banyak kewajiban syariah bergantung kepada dia. Oleh karena itu, Imam an-Nasafi dalam Al-‘Aqâ’id an-Nasafiyyah berkata, “Sudah menjadi keharusan bagi kaum Muslim memiliki seorang imam (khalifah) yang melaksanakan hukum-hukum syariah mereka, menegakkan hudud atas mereka, memperkuat benteng-benteng pertahanan, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh serta para pembegal, menegakkan shalat Jumat dan Hari Raya, menerima berbagai kesaksian yang membuktikan bernagai hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali serta membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para Sahabat mendahulukan (pengangkatan imam/khalifah…dst) maka sesungguhnya Nabi saw. wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu (h) dari Al-Mawâhib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain (Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205).

Mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan: “Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak merusak ijmak mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).

Di dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il dinyatakan: Demikianlah, sebagaimana dituturkan oleh Imam ath Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan para Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam/khalifah setelah berakhirnya zaman kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu tidaklah menciderai kesepakatan (ijmak) tersebut. Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan. (Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219).

Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini dalam Kitab Al-Irsyâd bahkan menyatakan: Pembicaraan tentang imamah (sebenarnya) tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan). Namun, bahaya atas orang yang tergelincir di dalamnya lebih besar dibandingkan atas orang yang tidak mengerti salah satu bagian pokok-pokok agama (ushûl ad-dîn). 

Terkait kewajiban untuk taat kepada ulil amri, yakni dalam QS an-Nisa’ ayat 59. Al-Allamah al-Hafidz asy-Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir (II/166) menjelaskan, “Ulil Amri adalah para imam, para sultan, para qadhi dan setiap orang yang ada padanya kekuasaan syar’i: bukan kekuasaan thaghut”.  Karena itu para ulama ketika membahas tentang ulil amri selalu terkait dengan khalifah, amirul mukminin dan Khilafah Islam. Karena muqtadha hal-nya memang begitu.

Maka dari itu, pembahasan ulil amri itu al-ashlu konteksnya adalah di dalam sistem Islam, di dalam kehidupan Islam, di dalam Khilafah Islam. Syariah menetapkan batasan mendengar dan taat adalah selama tidak diperintahkan maksiat pada Allah SWT.  Perintah taat pada ulil amri di atas kurang pas kalau diimplementasikan dalam sistem demokrasi. Bahkan penguasa dalam sistem demokrasi (yang menerapkan hukum selain hukum Allah), penguasa yang zalim, penguasa yang membuka pintu lebar-lebar hegemoni, eksploitasi, imperialisme asing-kafir di negeri Islam, sebutannya bukan ulil amri; tetapi menurut Al-Allamah az-Zamakhsari adalah al-lushush al-muthaghallibah (pencuri yang kebetulan menang).

Sedangkan definisi Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah), menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam (khalifah) dan tidak keluar dari jama’ah mereka (sehingga disebut wal jama’ah). Dari pengertian Aswaja ini jelas sekali bahwa ajaran Khilafah dengan sendirinya sangat melekat dengan Aswaja. Khilafah merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dengan Aswaja. Dengan demikian upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah adalah upaya merusak, menghancurkan dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya. 

Terkait konsep Khilafah dan struktur pemerintahannya, Hizbut tahrir telah merinci dan mengemas dengan sistematis disertai argumentasi yang shohih semacam Kitab Al-Khilâfah (Khilafah), Kitab Ad-Dawlah al-Islamiyyah (Daulah Islam), kitab ajhizah ad dawlah (Struktur Daulah Khilafah Islamiyah), Kitab Muqaddimah ad-Dustûr (Pengantar Undang-undang Negara Islam), Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan dalam Negara Khilafah), Kitab Nizhâm al-‘Uqûbât (Sistem Peradilan Islam), Kitab Ahkâm al-Bayyinât (Hukum-hukum Pembuktian dalam Pengadilan), Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdhiyyah al-Mutsla (Politik-Ekonomi Islam).

Kita perlu memahami bahwa pengembalian hukum-hukum Islam ke pentas realita kehidupan mengharuskan pemahaman hukum-hukum Islam secara detil yang pilarnya adalah istinbath yang shahih dari dalil-dalil syara’, al-Quran dan as-Sunnah. Maka Hizbut Tahrir menyusun kitab seputar Khilafah dalam bentuk pasal-pasal konstitusi untuk diterapkan di daulah al-Khilafah yang akan tegak dalam waktu dekat atas izin Allah. Dan karena kita memahami bahwa umat saat ini hidup terputus dari hukum-hukum syara’.

Maka hal yang urgen saat ini adalah menjabarkan konstitusi yang digali dari kitabullah dan sunnah rasulullah, supaya urusan-urusan negara bisa disiplinkan dan kehidupan kaum Muslim bisa diatur berdasarkan akidah islamiyah. Konstitusi tersebut diadopsi Hizbut Tahrir dan ditawarkan sejak hari pertama berdiri, dan masih tetap ditawarkan kepada seluruh umat agar semua pihak mengetahui pasal-pasal konstitusi daulah Islam, mendiskusikan agar umat memahami bahwa itu semua adalah hukum-hukum syara’ bukan perundang-undangan positif buatan manusia.
Kewajiban Berikutnya

Nah, setelah kita memahami bahwa khilafah hukumnya wajib, bahkan maklum minaddin bi dharurah, selanjutnya langkah-langkah kita arahkan kepada aktivitas mendakwahkan kebaikan ini dengan serius dan sistematis. Diimbangi sikap peduli dan fokus terhadap urusan umat, kita dedikasikan ilmu untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. Hendaknya kita juga mampu mengindera persoalan utama umat Islam serta bagaimana solusi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.  Tidak segan-segan dan tidak pernah surut menentang setiap bentuk kekufuran, kemaksiatan dan kezaliman meskipun untuk itu mereka harus menghadapi tantangan.

Aktif berdakwah agar semua pihak mengetahui bahwa seruan kita kepada al-Khilafah bukan hanya slogan kosong yang didendangkan, juga bukan angan-angan menipu, tetapi al-Khilafah itu adalah daulah praktis yang telah siap perundang-undangannya dan terorganisir hukum-hukumnya. Di dalamnya Muslim akan mendapatkan limpahan kenikmatan di bawah hukum-hukum Allah dan mulia di dunia dan akhirat. Sementara non muslim tidak dihalangi dari meraih kenikmatan hukum-hukum Islam di dunia, bahkan seluruh rakyat daulah akan merasakan keadilan Islam.

Lalu apa lagi yang kita tunggu? Di hadapan Hizbut Tahrir terdapat konstitusi Islami yang sempurna siap diterapkan langsung, dimana Hizbut Tahrir telah meletakkan segala konsepsi Islam di hadapan panjenengan (Anda). Yaitu konstitusi yang meninggikan bumi nusantara ini untuk memimpin dunia. Saatnya kita penuhi seruan Allah dan Rasul jika menyeru kita kepada apa yang memberikan kehidupan kepada kita. Bergegas menyongsong tegaknya daulah Khilafah Rasyidah sebelum kesempatan itu berlalu begitu saja. [VM]

Posting Komentar untuk "Khilaf Seputar Khilafah"

close