Membangun Komunikasi Politik
Oleh : Hanif Kristianto (Analis Politik)
Dewasa ini tidak ada yang bisa lepas dari sorotan kamera dan tulisan media. Seseorang pun dapat menjadi jurnalis melalui citizen journalisme. Seseorang pun dapat mencaci dan memuja-muja melalui media. Menyudutkan suatu kelompok dan sebagai media pencitraan juga hal lumrah. Batas-batas kesopanan atau kode etik jurnalistik sekadar pemanis dari kumpulan teori-teori. Melalui media, seseorang dengan mudahnya saling bermarahan dan bertengkar. Ada benarnya ungkapan jika seseorang menguasai media, seolah dia menjadi ‘raja’. Bahkan ada adagium ”bad news is good news (berita yang buruk/jelek adalah berita bagus). Orang yang sering mengamati media akan memiliki kepekaan pada aktivitas yang terjadi secara aktual.
Melihat besarnya pengaruh media. Kiranya penting untuk menyimak teori komunikasi yang dapat dijadikan acuan untuk menilai keperkasaan dan kelemahan media dalam mempersuasi masyarakat. Terlebih dalam aktivitas politik. Bagi seseorang yang memiliki kepekaan politik dan cara berfikir yang mendalam dan cemerlang, akan mampu menilai berita dan peristiwa. Serta muncul suatu pertanyaan: perlukah berita ini disebarkan atau disimpan sebagai bahan analisa?
Berikut teori yang dikutip dari Komunikasi Politik (Konsep, Teori, dan Strategi) oleh Prof. Hafied Cangara, M.Sc., Ph.D (edisi revisi 2014):
1. Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori ini berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik, sehingga tidak bisa memiliki alternatif untuk menentukan pilihan lain kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan terori peluru (bullet theory).
2. Terori Kepala Batu (Obstinate Audiance)
Teori ini dilandasi pemahaman psikologi bahwa dalam diri individu ada kemampuan untuk menyeleksi apa saja yang berasal dari luar, dan tidak direspons begitu saja. Masyarakat memiliki hak untuk memilih mana informasi yang diperlukan dan mana yang tidak diperlukan. Kemampuan menyeleksi informasi ada pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi, dan latar belakang.
Semisal anak-anak cenderung lebih senang menonton film kartun, sementara perempuan lebih senang menonton sinetron atau telenovela. Orang yang senang politik akan mengikuti ulasan, analisa, dan diskusi tentang politik daripada menonton hiburan.
3. Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses and Gratification Theory)
Teori ini banyak berkaitan dengan sikap dan perilaku para konsumen, bagaimana mereka menggunakan media untuk mencari informasi tentang apa yang mereka butuhkan. Dalam politik teori ini sering digunakan oleh para politisi.
Politisi menjadikan media sebagai mata dan hati untuk mengetahui apa yang terjadi di masyarakat, sekaligus menjadikan media sebagai pengganti partai untuk menghubungkan dengan para pendukung atau konstituennya. Di balik itu, orang bisa belajar dan mengambil manfaat dari apa yang disiarkan oleh media. Misalnya, peristiwa muktamar di Jakarta yang begitu menggelegar dan ribuan peserta. Maka belajar dari media, bisa jadi di tempat lain lebih besar dan banyak peserta. Karena teori ini lebih pada belajar dari apa yang dilihat di media.
4. Teori Lingkar Kesunyian (Spirit of Silence Theory)
Teori ini berkaitan dengan kekuatan media untuk membentuk opini publik. Di balik itu ada opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini yang bersifat manifes (nyata di permukaan).
Di Indonesia, ketika menjelang kejatuhan Soeharto banyak opini publik yang berkembang di tingkat bawah, tetapi tidak bisa terangkat karena bertentangan dengan opini mayoritas di tingkat atas. Akibatnya muncul banyak humor politik di masyarakat yang tidak bisa dipublikasikan dalam media massa. Misalnya Tosiba (Tomy, Sigit, dan Bambang). AIDS (Aku Ingin Ditelepon Soeharto). Bahaya opini publik yang mengalami lingkar keheningan seperti ini bisa menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meletus dan melahirkan kerusuhan.
5. Teori Penanaman (Cultivation Theory)
Teori ini menggambarkan kehebatan media terutama melalui televisi dalam menanamkan sesuatu dalam jiwa penonton. Kemudian terimplementasi dalam sikap dan perilaku mereka. Misalnya kebiasaan televisi menyiarkan berita atau film tentang kejahatan memeberi pengaruh (tertanam) pada sikap dan perilaku penonton untuk tidak mau keluar pada malam hari tanpa ditemani orang lain.
Dalam bidang politik, teroi ini memiliki pengaruh yang besar bagi para penonton dengan menggambarkan dalam jiwa, sikap, dan perilaku mereka, bahwa partai yang banyak tampil di televisi diasosiasikan sebagai partai besar dan berpengaruh. Sekalipun dalam kampanye kameramen merekayasa dengan hanya meliput tempat-tempat kerumunan massa yang besar terhadap pemilih. Karena itu tidak heran jika sejumlah artis mampu menjadi anggota dewan. Teori ini mendapat banyak kritik terutama dalam liputan yang bersifat palsu (pseudo events).
6. Teori Agenda Setting (Agenda Setting Theory)
Teori ini memberi pengaruh terhadap khalayak dalam pemilihan presiden melalui penayangan berita, isu, citra, maupun penampilan kandidiat itu sendiri. Media turut memberikan sumbangan yang signifikan dalam melakukan konstruksi persepsi publik dalam pengambilan keputusan, apakah akan ikut memilih, dan siapa yang akan dipilih.
Media tidak saja tergantung pada berita kejadian (news event), tetapi ia memiliki tanggung jawab untuk menggiring orang melalui agenda-agenda yang bisa membuka pikiran mereka. Seperti yang dikatakan McComb “The mass media may not be succesful in telling people what to think, but the media are stunningly succesful in telling their audience what to think about.”
Teori-teori tersebut merupakan hasil dari penelitian dan study pakar ilmu komuniasi. Bagi umat Islam ketika mengambil teori itu harus berhati-hati dan waspada. Pilah dan pilih dengan standar syariah Islam sebagai pedoman. Karena syariah Islam telah memiliki kode etik dalam berkomunikasi. Begitu pula terdapat fiqh jurnalistik dalam bermedia dan membuat berita.
Bijak Dalam Berkomunikasi
Penggunaan media dalam berkomunikasi dapat menjadikan kebaikan ataupun keburukan. Suatu yang haq dan bathil akan senantiasa bertarung dalam opini di media massa. Hal ini tidak berlepasnya media yang terkadang tidak pro kepada kebaikan (haq). Karena semua berlandas pada kebebasan. Ada pula yang mencoba bermain api untuk membenturkan satu dengan lainnya. Yang tanpa disadari hal itu justru membuat pencetus berita mencari sensasi dan untung.
Hal yang tidak kalah penting, penikmat media dalam hal ini khalayak umum selayaknya memiliki filter dan memahami karakter media. Sehingga tidak mudah tertipu dan bahkan ikut menyebarkan kebohongan dan kejelekan, jika isi beritanya sedemikian rupa. Benar adanya, istilah “Mulutmu Harimaumu”.
Oleh karena itu, perlu ada upaya sungguh-sungguh di tengah umat agar memiliki kesadaran politik (wa’yu siyasi). Hal ini penting agar umat tidak mudah menjadikan media sebagai alat fitnah, adu domba, dan menggumbar aib sesama. Komunikasi politik juga perlu dikaji sebagai bahan untuk mempersuasi masyarakat dengan ide-ide dakwah. Tujuannya meraih dukungan dan loyalitas kepada dakwah Islam. Maka pergunakan media dengan bijak dalam koridor yang dibenarkan oleh syariah Islam. Insya Allah semua elemen masyarakat tanpa memandang latar belakang akan mampu menyatukan langkah memunculkan izzul islam wal muslimin. [VM]
Posting Komentar untuk "Membangun Komunikasi Politik"