Indonesia dalam Pusaran Ideologi Dunia (Bagian-1)


Oleh : Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media)

Wajah Indonesia kini memang beragam warna. Bhineka tunggal ika sebagaimana semboyan negara menjadi pertanda bahwa negeri ini dihuni manusia dengan berlatar belakang ideologi dunia yang berbeda-beda. Indonesia tidak mau disebut negara Islam, meski mayoritas penduduk memeluk Islam. Indonesia juga tak mau disebut negara Sekular, meski aturan agama sering berada di pinggiran nuansa kespiritualan. Indonesia tak juga disebut negara diktator dan otoritarian, meski penguasanya bertangan kotor dan pejabatnya disebut koruptor. Indonesia bukan disebut negara oligarki dan autokrasi, meski penguasanya sering menjabat sebagai pembuat legislasi dan pelaksana proyek konsesi. Disebut negara liberal pun tak mau, meski jumlah kejahatan dan kriminalitas kian tak terbatas. Lantas apakah Indonesia disebut NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)? Tampaknya Pancasila dan UUD 1945 yang dijadikan landasan tidak pernah berwujud sempurna. Bahkan dijadikan mainan penguasa sekehendak hatinya. Sulit rasanya, menyebut Indonesia sebagai negara apa? Kesemuanya bergantung sudut pandang dan standar yang digunakan untuk menilai Indonesia.

Berpijak pada pendirian suatu negara, kiranya yang menjadikan negara itu berdaulat adalah ideologi yang menjadi jiwa dan ruh menjalankan pemerintahannya. Indonesia dalam percaturan politik dunia, memang bukan negara yang berideologi. Lebih pada negara pengekor dalam konstelasi percaturan politik dunia. Meski bebas-aktif, nyatanya keputusan Indonesia tak mampu mempengaruhi sikap negara adi daya. Sudah banyak buktinya.

Untuk itulah, Indonesia sesungguhnya menjadi ajang spektrum pertempuran tiga ideologi besar dunia: Kapitalisme-Liberalisme, Sosialisme-Komunisme, dan Islam. Kesemua ide pernah bertarung semenjak Indonesia belum ada hingga Indonesia lahir sebagai sebuah negara bangsa. Pada kondisi kekinian, tampak pertarungan ketiga ideologi itu menyulut percikan-percikan. Seolah-olah Indonesia dan rakyatnya dibangkitkan untuk sadar kembali menentukan arah berlayar negeri yang disebut zamrud katulistiwa. Manakah yang lebih cocok dan pas untuk diambil negeri ini? Semua ideologi memiliki alasannya. Namun, di antara alasan itu ada yang lebih kuat dan sesuai dengan fitrah manusia, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga dunia dan alam semesta.

=================

Diskursus Ideologi

Ideologi merupakan kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat (kejadian) yg memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Mabda’ (ideologi) secara etimologis adalah masdhar mimi dari kata bada’a yabda’u bad’an wa manda’an yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun di atasnya pemikira-pemikiran (cabang). Adapun pemikiran mendasar adalah pemikiran yang sama sekali tidak ditemui sebelumnya pemikiran itu. Cakupan pemikirannya meliputi alam semesta, manusia, dan kehidupan. Oleh karena itu mabda’ didefinisikan sebagai aqidah aqliyah yang darinya memancarkan peraturan berupa pemikiran-pemikiran yang memberi solusi terhadap kehidupan. Sehingga Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam termasuk ideologi yang memberi solusi bagi kehidupan. (M Muhammad Ismail, Refreshing Pemikiran Islam).

Dalam Islam ada metode pelaksaan ideologi melalui daulah (negara) dan ketakwaan individu; pada Sosialisme dan Kapitalisme juga terdapat metode yaitu negara saja. Penyebarluasan ideologi ke luar, Islam melakukannya dengan jihad, sedangkan Kapitalisme melalui penjajahan, dan sosiaolisme melalu penyebaran partai-partai komunis. (Ahmad ‘Athiyat, Jalan Baru Islam, h 86).

Adapun yang lain semisal nasionalisme, patriotisme, nazisme, dan eksistensialisme bukanlah ideologi. Ide-ide itu tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan solusi kehidupan. Kiranya inilah yang perlu dipahami oleh setiap manusia yang ingin membentuk Indonesia ke arah yang lebih baik, sebagaimana yang dicita-citakan oleh semuanya. Pengambilan ideologi bergantung pada orang yang akan memerintah dan mengurusi urusan rakyatnya.

================
Pusaran Kapitalisme di Indonesia

Kapitalisme ditegakkan atas dasar pemisahan agama dari kehidupan. Berdasarkan pada asa ini, maka manusialah yang menentukan sitem yang akan mengatur kehidupannya. Akhirnya muncul empat kebebasan; yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, kebebasan beragama, dan kebebasan bertingkah laku.

Kapitalisme identik dengan perekonomian, sedangkan untuk bidang politik ideologi ini melahirkan demokrasi. Kebebasan merupakan ide suci yang harus diagungkan dan tidak boleh diganggu oleh lainnya. Sungguh refleksi dari kapitalisme dapat dicermati dalam kehidupan Indonesia dalam lintasan sejarah.

Tatkala negara bengis eropa (Inggris, Belanda, Spanyol, dan Portugis) melakukan ekspansi. Indonesia dijadikan sapi perah dan dikeruk kekayaan negeri ini. Kemudian diangkut ke eropa dalam perdagangan dan pembangunan. Rakyat dijadikan bodoh, penyakitan, dan dipaksa dalam pekerjaan. Suara kritis dibungkam dimulai dari pemenjaraan hingga pembunuhan. Sejarah sudah menunjukan itu dan semuanya pun tahu. Gold, Glory, dan Gospel menjadi patron utama untuk semakin mengokohkan penjajahan di Indonesia.

Indonesia pada masa pendudukan telah terjadi integrasi kapitalisme dan feodalisme. Sistem tanam paksa (Cultural System) dimulai di Jawa. Anehnya, pelaksanaan sistem ini adalah tindakan ‘inkostitusional’. Dengan teliti, sejarawan Belanda terkenal Cornelis Fasseur, memeriksa dasar-dasar konstitusional pelaksanaan sistem ini. Kesimpulannya:

“sistem Tanam Paksa tidak disebut dalam setiap konstitusi atau dalam undang-undang sejenis yang berlaku bagi Hindia Belanda. Konstitusi 1830, yang dibawa Van den Bosch dari Belanda dan yang terbit pada 1836 sepenuhnya membisu tentang itu.”
(The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch and the Cultivation System- Itacha: SEAP, Cornel University, 1992 hlm 26).
Pandangan yang dominan pada waktu itu memang memperlakukan konsep staatbedrijf: negara sebagi perusahaan. Dalam absennya konsep Human Rifghts (Hak Asasi Manusia), konsep staatbedrijf ini dapat dartikulasikan dengan leluasa, demi keuntungan material.

Pada tahun 1870 muncullah Undang-undang Agraria yang menandai terjadinya transformasi dari paradigma staatbedrijf atau State enterprise alias negara sebagai perusahaan—yang sebelumnya didukung tokoh-tokoh konservatif seperti Muntinghe, Du Bus dan Van den Bosch—kepada paradigma the colony as bedrijf (daerah jajahan (koloni) sebagai perusahaan. Inti kebijakan  ekonomi liberal yang terkandung dalam UU Agraria 1870 itu adalah:

“menambah lima klausul kepada ayat 62 konstitusi 1854, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar kebijakan pertanahan. Penambahan ini menghilangkan hambatan-hambatan dalam hubungannya dengan tanah-tanah hibah, atas dasar yang dialami dalam Undang-undang 1856, yang membuat kaum kapitalis bisa memperoleh penyawaan tanah warisan (erfpatch) dari pemerintah selama jangka waktu 75 tahun; penambahan klausul itu juga menghilangkan hambatan-hambatan dalam hubungannya dengan persetujuan-persetujuan kolektif, atas dasar yang dialamai di bawah Undang-undang 1838, yang membuat kaum kapitalis bisa menyewa kepada pemilik pribumi; pada saat yang sama memberikan jaminan hak-hak adat yang berlaku atas tanah kepada kaum pribumi, yang memungkinkan bagi mereka memperoleh hak-hak kepemilikan pribadi atas tanah mereka.” (J.S. Furnivall, Netherlands India, hlm 178).

Demi menciptakan sistem kebergantungan kalangan Pangreh Pradja (setingkat pejabat) terhadap Cina pemilik dana. Maka diciptakan sistem pengangkatan dari kepala desa hingga bupati, disyaratkan memiliki sejumlah uang. Dapat dikatakan dengan istilah lain sebagai “pendanaan ilegal kepala daerah” atau “pilkada” zaman kolonial. Disebut dana ilegal karena tidak ada landasan surat dari Gubernur Jendral.

Prof. Dr. D.H. Burger dan Prof. Dr. Mr. Prajudi dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia menuturkan bahwa untuk seorang calon Loerah harus memiliki uang sejumlah f.700,- hingga f.1.000,-. Uang tersebut sejumah f.200,- dipersembahkan kepada Bupati, untuk Wefana f.100,- dan Jurutulis Controleur f.25,-. Sisanya digunakan untuk menyejahterahkan eselon lainnya yang terikat dalam struktur kepangreh pradja. Pertanyaan berikutnya, darimana dana tersebut diperoleh? Jawabannya diperoleh dari pinjaman kepada Cina atau disebut Taokeh. Walaupun Lurah dipilih rakyat, namun jika tidak memberikan dana ilegal dipastikan tidak diangkat menjadi lurah.

Bagaimana cara pengembaliannya? Seorang Taokeh ternyata dapat mendanai tiga atau empat Lurah. Demikian seorang Taokeh dapat menyeponsori dana ilegal untuk Bupati. Adapun sistem pengembalian utangnya, para Taokeh bertindak sebagai raja kecil di desa atau kabupaten yang didrop dananya. Rakyat harus bekerja untuk kepentingan Taokeh. Kelaparan dan wabah penyakit tak terhindarkan. Lurah hingga Bupati tidak berdaya membela rakyat dan tidak berani melawan penindasan Taokeh. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1).

Untuk memecah belah di kalangan rakyat penjajah manapun merepakan politik devide and rule. Memecah belah anak bangsa sudah biasa dilakukan. Iming-imingan berupa uang dan jabatan. Kondisi inilah yang akhirnya menjadikan bangsa ini sulit berfikir dan berlepas dari cengkraman penjajah hingga hari ini.

Sesungguhnya rangkaian peristiwa itu masih berlangsung meski Indonesia telah meredeka dari penjajah. Penjajah hilang, sifat dan Undang-undangnya dipakai dan diterapkan. Muncullah kaum pribumi yang berkolaborasi dengan pemilik modal. Bertemunya dua kepentingan menjadikan Indonesia kian terjual. Neo-kolonialisme berwajah bengis penghisap kekayaan alam negeri ini. Neo-liberalisme menghasilkan UU yang pro kepada asing dan pemilik modal. UU dijual meski dibandrol mahal. Demi kepentingan materi dan menumpuk kekayaan, penguasa negeri ini tak berhenti menyakiti hati rakyatnya. Beragam peristiwa mulai dari PAPA MINTA SAHAM, carut marut pengelolaan Freeport dan Blok Masela, serta penguasaan Sumber Daya oleh Asing Lokal dan Internasional menjadi bukti bahwa negeri ini dalam bahaya besar Neo-liberalisme dan neo-imprelisme.

Keterpilihan Jokowi-JK sebagai presiden memberikan pertanda bahwa kapitalisme-liberalisme kian subur. Orang-orang yang berada di balik kekuksesannya yang saat ini duduk sebagai Dewan Pertimbangan Presiden, Menteri, Komisaris Utama, Direktur Utama, dan jabatan laiinya adalah buah bagi-bagi jabatan. Ke mana pun pergi Indonesia dijadikan barang dagangan untuk menarik investasi. Sementara itu pembangunan infrastruktur diambil dari pajak dan utang luar negeri yang menjerat. Jika pemerintahan dibangun dengan pola seperti itu, sama halnya membangun negara dengan pondasi yang lemah. Suatu saat akan roboh dan menimpa rakyat sebagai korbannya. Apakah ideologi kapitalis-liberal inikah yang diterapkan di Indonesia? Apakah kapitalis-liberalis layak diterapkan di bumi ini? Andalah yang bisa berfikir untuk menemukan jawabannya! [VM]

Posting Komentar untuk "Indonesia dalam Pusaran Ideologi Dunia (Bagian-1)"