Indonesia Dalam Pusaran Ideologi Dunia (Bagian-3)


Oleh : Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media)

Islam oleh kebanyakan manusia tidak termasuk pada ideologi. Hal ini karena dipengaruhi oleh anggapan bahwa agama itu suci dan bukan dari hasil pemikiran manusia. Pergerakan perlawanan lebih memilih sosialisme-komunisme atau kapitalisme-liberalisme, sebagai dasar dan nafasnya. Pengamatan itu berasal dari pergerakan buruh pada May Day, atau adavokasi korban penggusuran yang dilakukan penguasa. Kalangan terpelajar aktifis kampus lebih tertarik pada ide dan buku-buku tokoh sosialisme-komunisme. Mereka bersatu padu untuk kritis dan memberikan perlawanan dari keterbelengguan penguasa. Adapun aktifis liberal lebih mendekat pada kekuasaan dan jabatan. Mereka menggunakan kecerdikannya demi meraih kue kekuasaan. Gerakannya mudah dibaca karena pragmatis dan oportunis.

Perlu diketegahkan kembali bahwa suatu ideologi, layak dan bisa diterapkan, harus memiliki tata cara tertentu yang menjelaskan metode penerapannya, yaitu bisa diimpelementasikan dalam kehidupan, mempunyai metode menyebarkannya, yakni mengembannya kepada orang-orang yang berlum meyakininya, dan metode menjelaskan bagaimana melindungi ideologi itu agar bertahan dalam arena kehidupan. Sekaligus memeliharanya dari kepunahan dan kemusnahannya.

Ideologi secara umum ada dua jenis: ideologi yang dibuat oleh manusia, yakni kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme. Kedua ide itu masing-masing memiliki tokoh panutan dan buku rujukan sebagai modal untuk dikaji dan diintegrasikan kepada generasi berikutnya. Adapun ideologi yang berasal dari sang Pencipta, yaitu Islam.

================================
Pusaran Ideologi Islam di Indonesia

Islam ditegakkan di atas akidah yang terang, jelas, dan tidak ada kesamaran di dalamnya, yaitu akidah “Tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Akidah inilah yang membentuk asas pemikiran bagi ideologi Islam. Asas ini membawa pengertian bahwa di balik semesta, manusia, dan kehidupan itu ada sang Pencipta yang telah menciptakan segala sesuatu dari tidak adanya. Dialah Allah Swt.

Dari akidah itu lahir sebuah sistem (aturan) untuk memecahkan seluruh persoalan manusia. Sistem tersebut adlaah apa yang ada dan tertera di dalam al-Quran dan as-Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya. Maka di dalam Islam ada sistem ekonomi Islam, sistem sanksi dan hukum Islam, pemerintahan Islam, dan lainnya.

Penyebaran ideologi Islam memasuki Indonesia dalam lintasan sejarah dimulai sejak abad ke-7. Tidak melalui peperangan, lebih pada jalur-jalur hubungan perdaganagan dan pendidikan Islam. Pesantren menjadi modal dan corak dalam mendidik umat. Masjid menjadi pusat peradaban dan pengkaderan dai untuk memberikan maklumat kepada masyarakat luas. Peran penyebaran Islam tak terlepas dari institusi besar negara Khilafah pada masa itu. Maka ulama’ yang disebut walisongo menjadi panutan utama, dimulai dari dakwah ke pusat kekuasaan hingga menjalar kepada rakyat biasa. Islam telah mendarah daging dari pusat hingga ke daerah. Bahkan Islam dijadikan sebagai landasan kehidupan.

Maka tak ayal, bermunculan kerajaan Islam dari ujung Sumatera hingga Papua. Hukum dan aturan diterapkan dalam kehidupan. Peralihan kepercayaan dari Hindu-Budha kepada Islam berjalan mulus. Masyarakat Islam pun tampak dari pinggiran laut hingga pedalaman. Tatanan islam yang rapi itu dihancurkan penjajah Barat Kafir. Tata kehidupan islami dirubah ke budaya Barat. Hukum Islam dikotakkan dalam ibadah,  pernikahan, dan waris. Perdagangan dan jalur laut dikuasai Barat Kafir penjajah. Umat Islam dihinakan dan dibodohkan sehingga jauh dari Islam. Malang nian kehidupan mayoritas umat Islam dipimpin minoritas Barat Kafir. 

================================
Naik dan Turun Ideologi Islam

Kesadaran beberapa tokoh dari kalangan umat Islam mencoba bangkit kembali semenjak masa penjajahan. Mereka menyadari bahwa Islam yang tertindas harus melawan ideologi kafir yang disebarkan melalui tangan penjajahan. 

“Suatu tindakan yang tindakan akan dilupakan rakyat terjajah akan kebobrokan politik penjajahan ialah mempergunakan ‘kesucian agama’ untuk kepentingan busuk kolonialisme. Sebagaimana yang dikerjakan oleh Gubernur Jendral Idenburg, dengan politik ‘pengkristenan’nya terhadap seluruh penduduk Nusantara, sedikit demi sedikit secara teratur dan terencana. Politik untuk mengkristenkan penduduk Bumiputera itu ialah dengan tujuan yang cukup jahatnya, bukan untuk memperkuat barisan kaum Kristen dunia, akan tetapi ialah agar akar-akar kaum penjajah Belanda di Bumi Indonesia yang kaya raya ini tidak akan lepas selamanya, hingga akhir zaman sekalipun. 
Rakyat yang telah bangkit memiliki kesadaran yang sangat tinggi, bahwa usaha Belanda adalah usaha yang menyesatkan rakyat, mudah diketahui, bukannya hati menjadi gembira dengan maksud itu, akan tetapi sebaliknya api yang berkobar menyala di dalam dada umat Islam meledak menembus mendung angkasa yang meneyelimutinya, mengkocar-kacirkan kubu pertahanan kolonialis Belanda. “Kerstening Politik” adalah cara busuk, yang memeralat agama untuk kepentingan politik bulus kolonial. Gerakan baru di Indonesia selalu diartikan salah oleh Idenburg yang bernafsu besar menjadikan Negeri Jewawut ini menjadi milik Nederland, milik Ras putih selama-lamanya. Namun usaha apapun yang dilakukan penjajah untuk membendung banjir aliran reform tidak pernah berhasil. (Dunia Baru Islam. Lotrop Stoddard. Hlm 206)
 
Semangat umat Islam itu muncul didasari oleh akidah yang kuat, serta janji dari Allah dan Rasul-Nya bahwa Islam akan tinggi dan tidak ada yang menyamainya. Justru ideologi selain Islam tatkala dijadikan aturan hidup, akan menindas dan tidak memusakan semua manusia. Islam terus didzolimi bahkan dihinakan dan dibungkam cahayanya. Berbeda tatkala Islam dijadikan sistem hidup mampu melindungi, mengayomi, dan melayani dari semua lapisan. 

Kemunculan KH Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah pada tahun 1912, Al Islam wal Irsjad tahun 1914, dan Persatuan Islam(PERSIS) 1923, ada pula Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kepribadian Ahmad Dahlan yang luhur mendapat sebutan dari Soekarno “Sepi ing Pamrih, rame ing gawe”. Merebaknya pergerakan Islam itu melahirkan karangan-karangan yang bertema membangunkan semangat kebangsaan, karangan mengenai pergerakan Islam di Indonesia yang dimuat dalam surat-surat kabar dan majalah di Istambul. Majalah “Al Mannar” mendapatkan sumber-sumber pemberitaanya dari perkumpulan ini. Tidak aneh, jika kemudian pemerintah Belanda mengadakan pengawasan  yang sangat keras dan teliti terhadap perkumpulan ini. Khalifah Istambul pernah mengirimkan perutusan ke Indonesia, Ahmad Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan ini, untuk menyelidiki keadaan muslimin di Indonesia.

Upaya pembungkaman ini pun berlanjut hingga masa penjajahan Jepang. Jepang melakukan depolitisasi Ulama, deislamisasi politik, dan depolitisasi Islam. Jepang berupaya menciptakan ulama yang tuna politik, pemikiran politiknya dijauhkan dari pengaruh Islam. sebaliknya, gerakan Islam dipisahkan dari gerakan politik. Sebagai penjajah, Jepang tidak lepas seluruh kebijakan politiknya dari motivasi divide and rule. 

Nuansa keinginan kembali kepada Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan begitu terasa pada masa di awal pembentukan negara Indonesia. Perdebatan nasionalis-sekular, nasionalis-Islam, dan Kristen begitu terasa. Tarik ulur menentukan dasar negara dan pijakan Pancasila. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan Islam, antara lain : KH A. Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansjur, KH A Wachid Hasjim, Sukiman Wirjosandjojo, dan Haji Agus Salim. Adapun tokoh-tokoh pendukung pemisahan agama dari negara antara lain: Soekarno, Mohammad Hatta, Radjiman Wedioningrat, Ahmad Subardjo, Mohammad Yamin, Sopomo, dan Wongsonegoro (A Syafii Ma’arif. Islam dan Masalah Kewarganegaraan Percaturan di Konstituante. Hlm 102).

Gambaran perdebatan itu tampak dari pernyataan Muhammad Natsir. Dalam pidatonya di depan Majelis Konstituante 1957, Natsir menegaskan bahwa 

“Indonesia hanya mempunyai dua pilihan dasar negara, SEKULAR (laa diniyah) atau agama (diniyah). Pancasila adalah sekular, tidak mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila merupakan penggalian dari masyarakat yang bersifat netral agama, termasuk gagasan ketuhanannya. Dalam Pancasila, lanjut Natsir, ketuhanan hanyalah rasa adanya Tuhan tanpa wahyu. Rasa ketuhanan tersebut bersifat relatif, berganti-ganti. Karena itu, lanjut Natsir “negara yang berdasarkan pancasila, yang sudah demikian sifatnya itu, tidak dapat menjadi negara yang betul-betul mencukupi kebutuhan hidup Indonesia, bukan suatu negara yang bersifat suatu institution akar-akarnya nyata menghujam dalam sanubari bangsa Indonesia. (Mohammad Natsir. Islam sebagai Dasar Negara.hlm 81).
Menurut Natsir, para pendukung Pancasila menafsirkan Pancasila tersebut sesuai selera mereka. Warna Pancasila sepenuhnya bersifat relatif dan tergantung pada filsafat hidup pendukungnya. Pancasila BAGAIKAN CEK KOSONG yang bisa diisi dan ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan pandagan dan kepentingannya. Soekarno, misalnya, memeras Pancasila akhirnya menjadi ekasila, yakni gotong royong. Sementara komunisme yang nyata-nyata anti-Tuhan juga punya penafsiran sendiri terhadap pancasila. Padahal, ketuhanan dan komunisme adalah dua hal yang bertentangan. Karena itu, sebagaimana diungkap sebelumnya, penerimaan komunisme terhadap Pancasila hanyalah KAMUFLASE belaka. Natsir bahkan menegaskan bahwa bila umat Islam berpindah dari Islam ke Pancasila, berarti mereka melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang hampa.

Berlanjut pada masa Soeharto, ideologi Islam dibungkam kuat dengan label tindakan subversif. Militer dikuasainya sebagai alat untuk menghancurkan lawan politik. Akibatnya suara Islam dan kelompok perlawanan terdengar lirih dan tak berarti. Islam cukup dijadikan untuk urusan sosial-keagamaan, dakwah, dan pendidikan. Bukan untuk urusan pemerintahan dan aturan kehidupan. Soeharto lupa bahwa sekuat apapun pembungkaman, semuanya akan meletus pada waktunya. Karena Soeharto membangun kekuasaan dengan jalan-jalan kotor dan menghamba pada kepentingan penjajah asing. Di akhir masa jabatannya, Soeharto mengundurkan diri setelah desakan dari tokoh-tokoh politik dan gerakan massa. Di akhir hayatnya, orang yang dulu disebut Bapak Pembangunan hidup dalam pesakitan dan skandal yang terus dialamatkan padanya. Seoharto bagi rakyat atau siapapun hendaknya menjadi pelajaran bahwa ketika masa pemimpin tidak memberikan keadilan dan kesejahteraan dengan sistem manusiawi. Akhirnya harus hidup sedemikian rupa pasca turun tahta. 

Masa reformasi yang memberikan ruang kebebasan, tak mampu memberikan akomodasi pada ideologi Islam. Bolehlah ideologi Islam tentang sistem hidup dan kenegaraan itu dikumandangkan, namun akan dibenturkan dengan ideologi dan local wisdom (kearifan lokal) seolah Islam tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Dimulai dari Rezim Abdurahman Wahid, Habibie, Megawati, SBY, hingga Jokowi gagasan Islam dianggap sebagai mimpi dan utopi. Anehnya mereka ketakutan pula tatkala tak mampu menunjukan kinerja baik dan dicintai rakyatnya. Kalaupun dicintai itu semata-mata pencitraan di media, bukan atas hati nurani rakyatnya.

Tak perlulah di sini disebutkan dengan beragam skandal politik dan perampokan kekayaan rakyat. Sudah banyak media yang mengungkap dan memberitakannya dan menjadi bahan perbincangan di tengah masyarakat. Dari kota hingga desa. Dari kalangan elit hingga kaum elit. Bangkit dan melawan, itulah suatu gagasan. Ideologi Islam di tengah arus informasi menjadi bahan perbincangan. Bahkan lingkaran kekuasaan merasa khawatir dan akhirnya mencoba membungkam. Suatu kekalahan intelektual dalam percaturan pertarungan ideologi dan informasi.

Kesadaran umat Islam untuk kembali kepada agamanya merupakan oase baru di tengah kebangkrutan ideologi Kapitalisme yang sebentar lagi terkubur dalam sampah peradaban. Sebaliknya ideologi sosialisme sedikit dilirik sebagai anti-kapitalisme. Gerakannya mengakar namun belum mampu memberikan solusi yang benar. Sebaliknya ideologi Islam yang hilang dari pemikiran umatnya, perlu ada upaya yang dinamis dan strategis di kalangan gerakan Islam untuk menanamkan kembali. Akhirnya terhujam kuat dan mampu menjadikannya umat bergerak dan memberikan solusi kehidupan. Bukan sekadar perlawanan.

================================
Epilog

Ketiga ideologi itu akan terus berputar untuk menjadikan Indonesia berwajah apa? Setiap pengusungnya akan menawarkan gagasan apik dan menarik. Benturan ketiganya tidak terelakan. Perang opini di media massa dan sosial, serang dan saling kritik, pembicaraan dalam debat, diskusi, dan seminar, serta forum lainnya. Perlu diingat bahwa ideologi dikatakan benar jika memenuhi tiga hal: 
  1. Terpuasnya akal, yakni dari segi asas pemikirannya mampu memecahkan simpul besar terkait tiga pertanyaan manusia: 1) dari mana aku berasal?, 2) untuk apa aku hidup?, 3) akan ke mana setelah hidup?
  2. Keselarasan solusi dengan fitrah manusia, terutama naluri beragama. 
  3. Menentramkan jiwa karena menjadikan hidup bahagia dan mampu menyejahterahkan bagi semua penghuni alam semesta.
Silahkan Anda merenungkan ideologi apa yang pas untuk Indonesia dan dunia ke depan? Di kala beberapa ideologi yang telah tergores dalam lintasan sejarah dan peradaban manusia. Karena Anda orang-orang berakal, maka pilihlah ideologi yang masuk akal dan menyelamatkan kehidupan Anda! Jangan sampai kita mendengar ada penindasan dan keterjajahan dalam kehidupan umat manusia oleh manusia-manusia rakus. [VM]

SELESAI.

Posting Komentar untuk "Indonesia Dalam Pusaran Ideologi Dunia (Bagian-3)"