Jangan Ada “Yuyun-Yuyun” Berikutnya
Ngeri. Data korban kejahatan seksual Kota Bogor mulai tahun 2013 hingga 2016 membuat saya bergidik. “Tiap Pekan Dua Anak Bogor Diperkosa”, demikian tertera pada headline Radar Bogor (11/5). Pada Januari hingga April 2016 saja sudah tercatat 13 pemerkosaan anak, 2 sodomi anak, 12 KDRT dan 9 kasus (belum dirinci). Sebagai seorang ibu dengan dua anak yang masih balita, fakta ini betul-betul membuat saya cemas. Bagaimana dengan keamanan anak-anak kami di kota metropolitan ini? Sehari setelahnya, berita yang tak kalah sadisnya dimuat. “Balita Diperkosa Lalu Dibunuh” (Radar Bogor, 12/5). Adalah Budiansyah (26) yang telah biadab memerkosa LN, balita berusia 2 tahun 2 bulan, hingga tewas. Dan hampir sebulan yang lalu, Yuyun (pelajar SMP di Bengkulu) juga ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa setelah diperkosa oleh 14 pelaku penenggak miras. Nahasnya, salah satu dari pelaku itu adalah kakak kelas dari korban. Dalam kasus ini, 12 pelaku telah diringkus dan dinyatakan sebagai tersangka, dua lainnya masih buron.
Menanggapi hal tersebut, kampanye anti kekerasan perempuan dan anak di media sosial gencar dilakukan. Kabarnya Pemerintah akan mengeluarkan Perppu yang isinya memberatkan dan menambah hukuman bagi para predator seksual. Salah satu hukuman tambahan tersebut adalah hukuman kebiri bagi para pelaku tersebut.
Kasus Yuyun dan lainnya ini seperti fenomena gunung es. Bisa jadi masih sangat banyak kasus serupa yang belum tersentuh oleh aparat hukum. Angka kekerasan seksual seperti pemerkosaan hingga pembunuhan yang tinggi justru terjadi di negara-negara demokratis sekuler yang mendewakan nilai-nilai kebebasan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Inilah yang menjadi sumber malapetaka. Di negara-negara demokrasi liberal, kaum perempuan dipandang hanya sebagai pemuas nafsu kaum lelaki dan sebagai entitas pengokoh kultur pergaulan bebas.
Hal ini berbanding terbalik dengan Islam. Syariat Islam menjaga kehormatan perempuan. Islam tidak membiarkan aktivitas yang melecehkan perempuan dan tidak membiarkan perempuan menjadi obyek seksual. Islam melarang keras kemaksiatan seperti minum-minuman keras dan “mengonsumsi”/ memproduksi tayangan porno. Kenapa? Karena kejahatan yang dihasilkan bisa sangat biadab. Pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Yuyun adalah satu kasus dari sekian banyak kejahatan seksual lainyya. Maka sangat wajar jika kemudian Islam memberikan hukuman keras bagi siapapun yang merusak dan melecehkan kehormatan perempuan.
Dalam Islam, jika perempuan diperkosa dan mempunyai bukti perkosaan maka pelaku dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali bagi yang belum menikah (ghairu muhshan) atau dirajam hingga mati bagi yang sudah menikah (muhshan). Namun, jika disertai pembunuhan, maka sanksinya adalah qishash atau membayar diyat. Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, maka orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan dikenai sanksi qishash dan yang mempermudah pembunuhan dihukum penjara.
Derita Yuyun dan korban-korban lainnya menjadi bukti jelas bahwa tidak sedikitpun kebaikan yang dihasilkan dari sistem demokrasi liberal. Melanjutkan kehidupan demokrasi liberal sama saja dengan memproduksi kejahatan-kejahatan seksual yang serupa menimpa Yuyun dan “Yuyun-Yuyun” lainnya. Akankah kita biarkan? [VM]
Penulis : Emma Lucya F, S.Si, Penulis buku-buku Islami (Dramaga - Bogor)
Posting Komentar untuk "Jangan Ada “Yuyun-Yuyun” Berikutnya"