Kekuatan Cina Antara Klaim dengan Fakta


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI

Kondisi mutakhir, persaingan antara Cina dengan Amerika Serikat (AS) dalam rangka memperebutkan hegemoni pengaruhnya di beberapa kawasan terjadi di setiap lini persaingan yang memperebutkan kepentingan strategis bagi kedua negara untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, terutama terkait keamanan energi.

Persaingan kedua negara juga memaksa mereka terus menerus meningkatkan kemampuan militernya untuk meminimalisir situasi yang tidak terduga. Di Beijing, Cina, Pejabat Urusan Luar Negeri Kemlu Cina, Qian Linhua mengatakan, perkembangan kerjasama Rusia, AS dan Eropa mengalami kemajuan dalam menjaga keamanan internasional, namun perjuangan menyelesaikan persoalan Laut Cina Selatan harus menguntungkan Cina.

Qian Linhua menegaskan, Kemhan Cina fokus menyiapkan langkah dan strategi memperkuat militer mereka. Sementara itu, media massa Mandarin, Renmin Ribao melaporkan, Presiden AS Barrack Obama telah menandatangani persetujuan anggaran bagi sektor pertahanan dengan nilai mencapai US $ 633 miliar, mencakup klausul tentang Kepulauan Senkaku/Diaoyu dan penjualan pesawat tempur F-16 C/D kepada Taiwan.

Cina dengan proyek ”China Dream”, yang menjadi simbol kebangkitan etnis Tionghoa, Xi Jinping (Presiden Cina) dan Li Keqiang (PM Cina), maka Cina-Hongkong dan Makau harus saling bekerjasama dan saling melengkapi. Cina tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Cina perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut. Langkahnya adalah semua elemen Cina dimanapun berada adalah “satu bangsa” melalui program cultural nationalism. Hal tersebut ditegaskan, Martin Jaques dalam bukunya ”When China Rules The World”. 

Cina dalam menerapkan prinsip nasionalisme kultural tetap menganggap orang-orang diluar Zhungguo (Cina) adalah barbar dengan sebutan yang tidak enak seperti ”Yang Guizi atau Guilao”, ”Fanyin” atau ”Fangui”. Meskipun demikian, persaingan memperebutkan hegemoni pengaruh ini tidak akan menyeret keduanya melalui perang.

Cina memanfaatkan kemunduran Amerika. China sekarang jauh lebih tegas dalam masalah laut China Selatan dan masalah perbatasan yang diperselisihkan dengan Jepang dan Vietnam.  China jauh lebih berani dan konfrontatif seputar permasalahan internasional.  Dimana Beijing belakangan bersikap melawan Amerika Serikat dan Barat di PBB dan memveto resolusi Dewan Keamanan terkait Suria.  Pada saat yang sama, kekuatan militer China belum sanggup menghadapi Amerika Serikat.  Namun kekuatan militer China tetap siap untuk menghalangi sampainya kapal perang Amerika ke sebagian jalur perairan dan pelabuhan -awal dari semacam doktrin Monroe untuk China-.  Pada saat yang sama, Amerika Serikat bekerja menilai permusuhan China yang belakangan terbongkar. Amerika Serikat siap menggunakan semua resourcesnya untuk menghalangi China menggantikan posisinya pada dekade mendatang. 

Di saat yang sama masalah kependudukan Cina adalah aging populatin (populasi yang menua yaitu persentase jumlah penduduk usia tua makin membesar dibanding penduduk usia muda) -ini adalah akibat dari upaya Mao untuk membatasi jumlah penduduk China- dimana jumlah penduduk yang berusia diatas 60 tahun mencapai 178 juta jiwa.  Jumlah ini akan menjadi dua kalinya pada akhir tahun 2030.  Masalah ini bukan hanya berarti makin kecilnya angkatan kerja, akan tetapi masalah pemeliharaan orang-orang yang sudah pensiun juga akan menjadi permasalahan sosial yang besar. Akankah Cina pada akhirnya bakal menggantikan Amerika Serikat sebagai adidaya baru dunia?

Skenario AS untuk Cina

Amerika -partner perdagangan terbesar China- sudah dan terus memiliki peran besar dalam pertumbuhan ekonomi China.  Hal itu dengan jalan Amerika memberi Beijing status Most Favoured Nation (MFN).  Amerika Serikat terus memperbarui status Most Favoured Nation (MFN) itu setiap tahun.  Padahal ada ketidakseimbangan neraca perdagangan antara AS dan China.  Sampai status itu dibakukan pada tahun 2000.  Dan Amerika mentolerir ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan itu karena menguntungkan negaranya. 

Amerika ingin menciptakan kelas orang-orang China yang mencintai kapitalisme dan nilai-nilai Amerika.  Dengan begitu, China akan terancam untuk memberikan perubahan demokratis.  Dengan ungkapan lain, Amerika sudah dan terus mengintai untuk memicu revolusi di China menentang Partai Komunis melalui kelas menengah yang terpesona dengan kapitalisme.

Amerika bekerja agar pemerintahan China terus disibukkan oleh berbagai persoalan dalam negeri dan luar negeri yang terjadi di sekitar China.  Dan berikutnya bisa diekploitasi masalah HAM berkaitan dengan perlakuan China terhadap Tibet dan Xinjiang untuk menentang Beijing.  Amerika juga memanfaatkan masalah Taiwan, Korea Utara dan keamanan di kawasan Asia Pasifik untuk menjamin penyerapan tenaga para politisi China dan menyibukkan mereka dengan berbagai persoalan yang tiada putusnya.

Selain itu China terus menerus disibukkan mengatur dan menjamin sumber-sumber di seluruh dunia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Hal itu memaksa China untuk mendapatkan resources lebih banyak dan lebih banyak lagi.  Sehingga China kurang memperhatikan pengembangan kemampuan militernya.  Penting diisyaratkan bahwa Amrika mengalahkan Uni Soviet melalui politik perlombaan senjata seentara para pembuat kebijakan di Washington meyakini bisa mengalahkan China melalui perlombaan dalam aspek ekonomi.

Cina Keropos di Dalam

Dalam prinsip kapitalis "Market is King." Kalimat tersebut mengambarkan kedigjayaan bursa saham. Siapapun akan dilibas kalau mencoba melawan arah bursa. Jangankan pemain besar, pemerintah dan bank sentral pun tak sanggup melawan arah bursa.

Sebelum peristiwa Black Monday tahun 1987, arah Dow Jones sebenarnya sudah turun di tahun 1987. Spekulan ternama George Soros, mencoba melawan arah bursa Dow Jones. Hasilnya, Soros harus menangung kerugian sangat besar. Di bulan Agustus 2007, tanda-tanda kehancuran bursa Dow terlihat. Bank Sentral AS, The Fed berusaha menahan dengan menurunkan suku bunga. Tapi, tetap saja tidak mampu menahan keruntuhan Dow di tahun 2008.

Buruknya kinerja perbankan Cina merupakan peringatan dini akan ada bahaya mengacam ekonomi Cina. Pertumbuhan ekonomi Cina memang masih mencapai 7%. Tapi, pertumbuhan ekonomi itu seperti asap. Artinya, bisa hilang sekejab bila krisis datang.

Selama ini pertumbuhan ekonomi Cina ditopang oleh kegiatan ekspor yang sangat besar. Celakanya, saat ini, perekonomi dunia sedang lesu darah. Berbarengan dengan itu, mata uang dolar AS terus menguat terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Dampaknya ekspor Cina terpukul. Sepanjang Maret tahun 2015 ekspor Cina turun 14,6% dibandingkan tahun sebelumnya.

Tak hanya itu. Cina juga digelayuti beban utang yang cukup berat. Utang pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan swasta Cina dibandingkan PDB-nya dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Tahun ini, angkanya sudah menembus 280% dari PDB-nya. Dengan PDB sebesar US$ 17,6 triliun, berarti gabungan utang telah mencapai US$ 49,2 triliun!

Memang cadangan devisa Cina merupakan terbesar di dunia, yaitu sebesar US$ 3,8 triliun. Tapi dibandingkan dengan gabungan utangnya, jumlah cadangan devisa tersebut terbilang kecil. Jadi, rontoknya bursa saham Shanghai punya dasar yang kuat. Para investor memprediksi bahwa gelembung ekonomi Cina yang dipompa terus-menerus sejak tahun 1980-an suatu saat bisa meletus. Bila prediksi itu menjadi kenyataan, goncangan terhadap ekonomi dunia akan sangat keras. Ini alarm bahaya dari bursa Cina. 

Faktanya, kemajuan ekonomi Cina yang pesat bukan tanpa dampak. Kesenjangan terjadi di Cina antara kaya dan miskin serta antara kota dan desa yang semakin lebar. Kesenjangan ekonomi, tingginya tingkat pengangguran, penanganan buruh migran yang buruk, tindakan kekerasan dan kebrutalan serta fitnah terhadap kaum minoritas kini menjadi isu nasional di Cina.

Pertumbuhan ekonomi Cina memang selalu di atas 10 persen sejak akhir 2005. Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina turun menjadi 9,0 persen pada kuartal ketiga 2008 akibat krisis keuangan global yang mulai terasa dampaknya di negara itu. Sejak itu, penurunan pertumbuhan ekonomi merupakan yang pertama kali terjadi.

Hal itu merupakan indikasi paling kuat bahwa ekonomi Cina juga ikut terpengaruh memburuknya ekonomi internasional saat ini. ”Di Cina, setiap pertumbuhan di bawah 10 persen merupakan sebuah sinyal bahwa ekonomi menjadi melempem,” kata Ren Xianfang, ekonom di firma konsultan Global Insight yang berbasis di Beijing. Dari data rasio utang dibanding dengan PDB yang sudah sangat tinggi. Cadangan devisa kecil dibandingkan jumlah utang, kapasitas produksi yang berlebihan, utang perusahaan dibandingkan asset perusahaan yang tinggi, rasio debt service juga tidak aman. Sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada ancaman yang besar bagi perekonomian Cina.

Cina sepertinya ingin mengikuti Jepang era 1990 awal yang mengempiskan gelembung ekonominya secara perlahan, bedanya kala itu kondisi ekonomi Jepang masih lebih baik  dari Cina sekarang. Tampaknya ekonomi Cina sekarang sedang terjebak dalam jaring laba-laba, ingin menurunkan pertumbuhan secara perlahan tapi tidak mempunyai kemampuan. Membiarkan ekonomi jatuh akan sangat berbahaya bagi keamanan nasional, karena kesenjangan ekonomi yang tinggi. Kondisi itu terlihat dari tingginya koefesien gini yang sampai di angka 0,45. Gambaran jatuhnya perekonomian Cina memang sudah di depan mata. Dan dampaknya akan sangat dirasakan bagi dunia.

Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi. Tanpa ideologi yang jelas, Cina tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya secara konsisten. Secara domestik Cina memang diperintah oleh ideologi Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai (PKC).

Akan tetapi, Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Pada saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dan AS dalam hal ini berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten terhadap wilayah-wilayah tersebut. Walhasil, sampai pada satu titik Cina memutuskan apa ideologi sekaligus jatidirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda. Pada akhirnya, Cina tidak akan pernah mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun.

Tepat jika umat Islam di masa sekarang bangkit dengan sistem Islam untuk menjadi adidaya baru penebar kedamaian di masa depan dengan membuang peradaban kapitalisme sambil mencegah tumbuhnya komunisme. [VM]

Posting Komentar untuk "Kekuatan Cina Antara Klaim dengan Fakta"