Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syariah yang Dirindukan


Oleh : Emma Lucya Fitrianty (*)

Tak pelak, banyaknya kasus kejahatan seksual yang akhir-akhir ini beritanya mencuat telah membuat dada kita berdegub tak percaya. Bagaimana bisa kondisi generasi remaja dan anak-anak kita telah terpental jauh dari keanggunan moral dan kemuliaan iman? Kasus pelecehan seksual, mabuk-mabukan, pornografi-pornoaksi, seks bebas, pelacuran dibawah umur, pemerkosaan hingga pembunuhan secara brutal menjadi pemberitaan pekanan yang menghiasi media. Jika tidak segera ditangani, fenomena gunung es ini akan semakin melebar dan sulit untuk diberantas. Lalu bagaimana nasib bangsa kita sepuluh atau duapuluh tahun kedepan?

Respon dari maraknya kasus pelecehan seksual tersebut adalah usulan diberlakukannya kebiri bagi pelaku kejahatan tersebut. Metode kebiri secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairah seks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen (Jawa Pos, 22/10/2015).

Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).

Islam tegas menjawab. Hukuman kebiri tidak sesuai dengan syariah Islam. Tidak ada perbedaan (khilafiyah) tentang keharaman tersebut. Hadits Nabi : ”Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073; Muslim no 3390). 

Adapun rincian hukuman untuk pelaku kejahatan seksual sbb;

(1) jika yang dilakukan adalah  perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan;
(2) jika yang dilakukan  adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain;
(3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).

Dalam sistem sekuler saat ini, para pelaku kriminal -termasuk pemerkosa, pedofil- sangat berpeluang menjadi residivis karena hukuman yang ada tidak menimbulkan efek jera. Pemicu-pemicu munculnya kriminalitas juga tetap dibiarkan beredar di masyarakat. Jadi dalam melihat permasalahan yang ada harus secara komprehensif, bukan malah menghalalkan yang haram (kebiri, red) gara-gara sistem sekuler yang tidak mendukung. Hal inilah yang menjadikan Islam seolah-olah hanya menjadi 'keranjang sampah' ketika ada masalah yang munculnya justru akibat tidak diterapkannya Islam secara kaaffah. Kita rindu Syariah Islam betul-betul ditegakkan. Wallah a’lam bish-shawwab.[VM] 

(*) Penulis buku-buku Islami, Dramaga - Bogor

Posting Komentar untuk "Syariah yang Dirindukan"

close