Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tjahjo dan Pancasila


Oleh : Umar Syarifudin
(Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)

Disaat umat Islam tengah berduka dengan berbagai agresi militer terencana yang dilakukan oleh Barat di berbagai negara, serta kondisi terancam lepasnya Papua dari NKRI melalui berbagai manuver jahat AS lewat agen-angennya. umat Islam kembali diuji dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo yang memberi warning akan membubarkan ormas anti Pancasila sesuai tafsir pemerintah. 

Terhadap problem multi krisis beruntun yang menimpa kaum muslim saat ini, kita patut benar-benar merenungkan makna hadits Nabi Muhammad bahwa ada satu zaman dimana kondisi umat Islam laksana buih. Jumlahnya banyak, tetapi tidak berharga; tidak disegani oleh musuh-musuh Islam. Ketika itu umat Islam ada dalam kondisi dikeroyok oleh berbagai kaum. Mereka yang mengepung umat Islam itu adalah manusia-manusia lapar yang meleleh air liurnya, sedang siap menerkam hidangan lezat.

Hari ini, dijejalkan opini lokal sampai global, bahwa yang salah adalah kaum radikal. Liberal tidak salah. Umat Islam lalu dipaksa berpikir liberal, meskipun dengan kemasan baru.  Dibuatlah opini, seolah-olah ada yang namanya “Islam Nusantara”, yang katanya berbeda dengan “Islam Arab”.  Katanya, Islam Nusantara itu hebat sekali, karena bersifat damai dan toleran.

Sejumlah survei menggambarkan bahwa umat Islam Indonesia tidak toleran, karena tidak bisa menerima paham-paham dan aliran sesat. Umat Islam disuruh menerima paham dan apa saja, sehingga umat Islam layak menerima julukan terhormat sebagai umat yang toleran, berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Pokoknya telan.

Artikel Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun berjudul 'Saya Anti Demokrasi' yang dikutip dari buku Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997) bisa menjadi visualisasi atas apa yang menimpa umat Islam saat ini:

Kalau ada bentrok antara ustadz dengan pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang umat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam-harus mengalah dan wajib kalah. 

Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya. Kalau Khadhafi (mantan presiden Libya) kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. 

Kalau Amerika Serikat jemawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Baghdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam. 

'Agama' yang paling benar adalah demokrasi. Antidemokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaimana yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subjektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam. Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Quran, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

-------------------ooo-----------------

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan umat Islam. 

Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

Menarik untuk kita cermati buah pikiran arief B. Iskandar berjudul Pancasila :

Pancasila itu sakti. Pancasila itu sakral. Pancasila itu suci. Pancasila itu harga mati. Pancasila itu asas; asas dari segala asas. Karena sakral, Pancasila tak boleh direndahkan. Ada kesan, di negeri ini orang boleh saja melecehkan Islam, mencampakkan Al-Quran, termasuk menghina Rasulullah sang teladan. Sebagian menganggap hal itu sebagai bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin demokrasi. Namun, tidak dengan Pancasila. Merendahkan dan menghina Pancasila adalah kejahatan tak terperi dan pastinya anti-demokrasi.

Karena suci, Pancasila tak boleh diusik dan dikritisi. Ada kesan di negeri demokrasi ini Islam boleh saja diusik; al-Quran dan as-Sunnah boleh dikritisi. Namun, tidak dengan Pancasila. Sebab, bagi sebagian orang Pancasila itu lebih tinggi dari al-Quran maupun as-Sunnah. Pancasila digali dari nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. Adapun al-Quran dan as-Sunnah hanyalah bersumber dari perkataan Tuhannya umat Islam semata. Karena itu, semua aturan dan perundang-undangan yang ada di negeri ini boleh tidak merujuk bahkan bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, tetapi haram berseberangan dan berlawanan dengan Pancasila.

Karena harga mati, Pancasila tak boleh ditawar-tawar. Menawar Pancasila adalah tindakan amoral, bahkan kriminal.  Lain halnya dengan syariah Islam. Di negeri demokrasi ini, hukum Islam hanyalah pilihan; boleh diambil atau dicampakkan.

Sebaliknya sebagai asas, Pancasila tak boleh sekadar jadi pilihan. Asas negara boleh saja tidak berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, tetapi haram jika tidak berdasarkan Pancasila. Maka dari itu, menurut Pancasilais sejati, jika negara saja harus berasaskan Pancasila, maka apalagi Parpol dan Ormas yang merupakan organisasi lebih kecil, tentu lebih wajib berasaskan Pancasila.

Lihatlah saat ini, kondisi bangsa kita sendiri!  Para politisi yang semua mengaku sebagai patriot dan cinta bangsa, terlibat tindakan saling jegal, saling caci-maki, dan saling hujat, untuk mengangkat diri dan kelompoknya dengan menjatuhkan politisi lain. Rakyat diajari para elite bangsa untuk terus-menerus terlibat dalam pelestarian dendam dan kebencian. 

Semboyan menjaga 4 Pilar bergantung pada tafsiran sang penguasa. Atas nama 4 Pilar Penguasa boleh menyerahkan kekayaan alam negeri ini kepada pihak asing meski itu bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Pancasila dan berseberangan dengan amanat UUD ’45. Penguasa boleh membuat UU Migas, UU Listrik, UU Penanaman Modal, UU Minerba, dll yang memungkinkan pihak asing menjajah dan menjarah sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat negeri ini. Tak masalah jika semua UU itu merugikan rakyat. Asal tidak merugikan pihak asing,  hal itu tak bisa dianggap bertentangan dengan amanat dalam Pembukaan UUD ’45 yang mengandung spirit: segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan.

Ada pula kesan, yang bisa disebut anti Pancasila dan UUD ’45 itu adalah pihak-pihak yang berusaha menerapkan syariah Islam secara formal dalam negara meski dengan niat untuk menyelamatkan negeri yang terpuruk ini. Yang dinamakan anti NKRI adalah saat ada sekelompok orang memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah meski untuk mempersatukan negeri sekaligus membebaskannya dari segala bentuk penjajahan di semua lini. Yang anti kebhinekaan itu adalah yang mendukung perda-perda berbau syariah dan menolak pendirian gereja ilegal di tengah komunitas kaum Muslim.

Jangan disalahkan jika ada yang beranggapan bahwa Pancasila sejatinya hanyalah cap dan label. Mereka yang korupsi, melakukan praktik suap-menyuap atau biasa menerima gratifikasi tak pernah dicap menyeleweng dari Pancasila. Mereka yang menggadaikan kekayaan negeri milik rakyat serta menjual negara dan harga diri bangsa kepada pihak asing juga tak pernah dilabeli berseberangan dengan Pancasila. Mereka yang terus mempraktikkan serta mempropagandakan sekularisme, pluralisme dan liberalisme—meski semua itu telah nyata membahayakan negeri ini—tak pernah pula dituduh anti Pancasila.

Refleksi

Mengutip pernyataan Adian Husaini, kondisi umat Islam saat ini bisa diumpamakan laksana seorang musafir yang dirampas harta bendanya dan dilucuti pakaiannya. Yang tersisa tinggal celana kolor,  jiwa, pemikiran, dan keimanannya. Si musafir masih bersyukur, ada yang tersisa. Tapi, si perampas masih tidak puas. Pikiran dan jiwanya pun hendak dilucuti pula. Ia tidak boleh lagi berpikir dan meyakini bahwa agamanya sendiri yang benar. Dengan mudahnya ia mendapat julukan garis keras, fundamentalis, radikal, intoleran, dan sebagainya. Bagi kaum kafir, iman dianggap tidak penting.

Umat Islam ngempet (memendam kuat-kuat) ada sesuatu yang tidak adil; tetapi suara mereka seperti tersekat. Dari berbagai berita dan informasi yang beredar terus-menerus secara beruntun melalui media sosial dan media komunikasi umat – khutbah, majlis taklim, dan sebagainya – terbentuk pemahaman yang sama, bahwa umat Islam merasa diperlakukan tidak adil. Perasaan itu bisa terus terakumulasi, tertimbun dalam hati,  seperti api dalam sekam.

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (TQS at-Taubah [9]: 32)

Upaya-upaya makar terhadap Islam, malah makin membuat umat Islam solid, berbagai tantangan tidak akan menghentikan para ulama dan aktivis pengemban dakwah dari terus melangkahkan kaki di dalam dakwahnya untuk mengembalikan Islam ke kancah kehidupan seraya bersabar, teguh, dengan mengangkat kepala, dan yakin akan dekatnya pertolongan Allah dan dimuliakannya agama-Nya. [VM]

Posting Komentar untuk "Tjahjo dan Pancasila "

close