Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak Miskin ‘Dilarang’ Kuliah


Oleh : Ainun Dawaun Nufus- MHTI Kediri (pemerhati sosial dan pendidikan)

Masih saja menyisakan pesimisme akan masa depan sebagian siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Penyebabnya tak lain adalah mahalnya biaya pendidikan per semester dan biaya fasilitas pendidikan atau sumbangan peningkatan mutu pendidikan. Karena itu, banyak lulusan SMU yang diterima di PTN ada yang mengundurkan diri dengan tidak mendaftarkan kembali untuk kuliah.

Belakangan ini dengan mudahnya kita temukan iklan penerimaan mahasiswa baru di berbagai Perguruan Tinggi Swasta baik di media elektronik maupun media cetak. Semua berlomba menjual keunggulan masing-masing perguruan tinggi. Harap maklum, para orang tua beserta putra putrinya memang sedang mencari perguruan tinggi bagi putra-putrinya. Bagi yang tidak lulus di PTN, PTS menjadi pilihan terakhirnya.

Mahalnya biaya pendidikan di universitas baik negeri maupun swasta saat ini membuat para orang tua menjerit. Bagi mereka yang pintar namun tak cukup uang untuk biaya pendidikan, terpaksa menggantungkan harapannya. 

Berdasarkan data dari republika.co.id Sekitar 400  calon mahasiswa baru (camaba) Institut Pertanian Bogor (IPB) terancam gugur akibat terkendala biaya. Mereka belum membayar biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT), sedangkan batas akhir pembayaran UKT tersebut adalah Kamis, 2 Juni 2016. 

Kepala Biro Hukum, Promosi dan Humas IPB  Yatri Indah Kusumastuti mengakui ada lebih dari 400  camaba IPB Angkatan 53 yang sampai saat ini masih terkendala biaya untuk membayar SPP.

Yatri menyebutkan, selama ini kuota Bidik Misi yang diterima IPB berkisar sekitar 800 orang. Bahkan pernah mencapai 1.100 orang. Namun tahun ini jumlahnya menurun drastis, karena hanya 10 persen dari jumlah mahasiswa yang diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Tahun ini, kata Yatri,  jumlah mahasiswa baru IPB yang diterima melalui jalur undangan atau SNMPTN mencapai 2.700 orang. Itu berarti kuota Bidik Misi IPB hanya 270 orang. Namun calon mahasiswa yang mendaftar Bidik Misi mencapai 700 orang. Berarti ada 430 orang camaba IPB Angkatan 53 yang belum jelas pembiayaannya. Dan waktunya hanya tinggal hari Kamis, 2 Juni 2016.

Yatri menambahkan, banyak di antara mereka   yang merupakan anak yatim piatu. Banyak  pula yang selama bersekolah di SMA tinggal di rumah gurunya, karena orang tua mereka tidak mampu. Mereka berangkat ke Bogor pun atas biaya dari guru-gurunya. Di Bogor, mereka ditampung oleh kakak-kakak kelasnya di organisasi mahasiswa daerah (OMD). Namun, diakui Yatri, jumlah dana yang dibutuhkan memang cukup besar. Sebanyak 430 calon mahasiswa baru dikalikan Rp 2,7 juta, jumlahnya lebih Rp 1,1 miliar.

Mahalnya biaya pendidikan sekarang ini dan banyaknya masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan sehingga tidak begitu peduli atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi generasi muda harapan bangsa. Ini adalah realitas yang sudah ada diluar kemampuan kebanyakan rakyat Indonesia. Namun  dibalik keluhan-keluhan itu, tetap saja, semangat untuk belajar masih membara, dan malah mencari solusi dalam menghadapi masalah tersebut. 

Sangat mahalnya biaya kuliah pada Pendidikan Tinggi tak terkecuali Pendidikan Tinggi Negeri, apapun alasannya, adalah bukti yang tidak terbantahkan bahwa lembaga Pendidikan Tinggi tersebut dikelola di atas prinsip-prinsip liberalistik, kapitalistik, komersialitik, bukan sosial (gratis atau dengan biaya sangat murah).

Darmaningtyas, pengamat pendidikan dari Taman Siswa, berpendapat, tingginya biaya kuliah justru berakibat negatif. Sebab, mahasiswa dan orang tua pasti akan berpikir untuk mengembalikan modal selama kuliah. Jika hal ini terjadi pada mahasiswa kedokteran, yang biaya kuliahnya paling mahal, hingga ratusan juta rupiah, "Maka dokter yang dihasilkan adalah dokter yang komersial,"ujarnya menegaskan. 

Darmaningtyas mendesak perguruan tinggi berkonsep badan hukum milik negara kembali mengubah diri dengan menggunakan sistem perguruan tinggi negeri. Konsekuensinya, negara wajib meningkatkan alokasi anggaran untuk perguruan tinggi negeri. Universitas-universitas negeri di Eropa Barat dan Australia, kata Darmaningtyas, dibiayai oleh negara. Untuk menciptakan keadilan terhadap orang-orang kaya, terapkan pajak progresif. Tampaknya biaya kuliah murah masih cuma sebatas mimpi.

Bukan hanya itu, bukan satu dua orang yang berpendapat bahwa mahalnya pendidikan tinggi tidak menjadi masalah yang penting kualitasnya.  Asalkan yang ditawarkan sesuai dengan besarannya bayaran itu tidak menjadi masalah.  Ini adalah logika  dari benak-benak yang telah teracuni ide individualiastik, yang menyalahi ketentuan Islam.

Lebih dari pada itu semua, tata kelola pendidikan tinggi yang baik tidak akan pernah terwujud selama komersialisasi menjadi jiwa tata kelola.  Bahkan inilah liberalisasi dan komersialisasi yang menjadi sumber petaka pendidikan tinggi saat ini.  Mulai dari biaya pendidikan tinggi sangat mahal, hingga disorientasi visi dan misi pendidikan tinggi.  Jelas ini konsep tata kelola pendidikan tinggi yang menyalahi ketentuan Islam, disamping amat sangat membahayakan masa depan umat.  Hanya saja kebijakan tata kelola yang liberalistik ini adalah niscaya dalam sistem politik demokrasi, yang menjadikan hawa nafsu manusia sebagai sumber aturan. [VM]

Posting Komentar untuk "Anak Miskin ‘Dilarang’ Kuliah "

close