Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bumi ‘Seger Ijo Royo-Royo’ Tanpa Ekspliotasi Kapitalisme


Audito Fauzul Hendratama-Mahasiswa UNP Kediri
(Aktivis Gema Pembebasan kota Kediri)

Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 5 Juni demi meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan lingkungan yang positif bagi perlindungan alam dan planet Bumi. Hari Lingkungan Hidup Sedunia merupakan instrumen penting yang digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meningkatkan kesadaran tentang lingkungan serta mendorong perhatian dan tindakan politik di tingkat dunia. Dalam persoalan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, bukanlah diakibatkan bencana alam. Perluasan perkebunan, pertambangan, real property yang dilakukan oleh para korporasi, negara dan Asing memiliki dampak kerusakan lingkungan hidup saat ini.

Berbagai permasalahan lingkungan telah terjadi dewasa ini, baik dalam kawasan kecil maupun global. Banjir, tanah longsor, kekeringan, polusi udara, anomali iklim, pemanasan global, dan sebagainya adalah sederet problem lingkungan yang tak asing lagi bagi kita. Semua itu kini tak sekadar sebuah ancaman, telah menjadi bencana nyata yang telah menelan jutaan korban jiwa dan harta.

Pandangan hidup Kapitalisme memandang kebebasan kepemilikan, Alam dianggap tambang kekayaan dan energi yang perlu dieksploitasi. Sikap dasar tersebut juga tercermin dalam cara pandang sistem kapitalisme terhadap lingkungan hidup. Sikap ini merupakan ciri khas dari sistem perekonomian modern yang berjalan, yaitu ekonomi kapitalistik. 

Dalam pandangan ekonomi kapitalistik, tujuan produksi adalah menghasilkan laba perusahaan sebesar-besarnya. Laba menjamin bahwa sebuah perusahaan dapat mempertahankan diri dalam alam persaingan bebas. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin. 

Karena itu, ekonomi modern condong untuk mengeksploitasi kekayaan alam dengan semurah mungkin. Sekedar mengambil, menggali dan membongkar apa saja yang diperlukan tanpa memperhatikan akibat yang mungkin muncul terhadap alam itu sendiri, dan tanpa usaha untuk memulihkan ke keadaan semula (recovery). Berbagai substansi kimiawi yang beracun, asap dan segala bentuk sampah lain dibuang dengan biaya semurah mungkin. Dibuang ke tempat pembuangan sampah, dialirkan ke sungai, dihembuskan melalui cerobong-cerobong pabrik ke dalam atmosfer. Mengolah sampah sampai racunnya hilang dan sampai dapat dipergunakan lagi hanya menambah biaya. Dengan demikian, apabila proses produksi dibiarkan menurut mekanisme ekonomisnya sendiri, alam dan lingkungan hidup manusia pasti semakin rusak. 

Kerusakan lingkungan yang awalnya melanda negara-negara maju, sebagai dampak industrialisasi besar-besaran, akhirnya juga menjalar ke negara-negara berkembang. Pasalnya perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara maju tersebut juga merambah ke negara-negara berkembang untuk mengeruk kekayaan alamnya. Akibatnya, kerusakan lingkungan tak hanya menjadi isu lokal, tetapi telah menjadi isu global. 

Ambisi negara-negara maju untuk mengeksploitasi alam tentu tak lepas dari ideologi kapitalis yang mereka anut. Pandangan mereka tentang kebebasan kepemilikan dan kebebasan individu telah menjadikan masyarakat Barat tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Mereka tidak membedakan kebutuhan—yang sebenarnya bersifat terbatas—dengan keinginan yang tidak terbatas. Akibatnya, mereka tidak lagi peduli dengan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industrialisasi. Karena itu wajar bila negera-negara Baratlah yang sesungguhnya menjadi penyumbang terbesar dampak kerusakan lingkungan di bumi ini. MS Kaban saat menjabat menteri kehutanan pernah mengatakan, “Sebanyak 80 persen kerusakan hutan di dunia disebabkan adanya industrialisasi besar-besaran di Amerika.”

Kita pun mengetahui bahwa pembukaan dan perluasan lahan dengan membakar hutan di Riau dan Kalimantan oleh perkebunan skala besar menciptakan kerusakan fungsi Hutan. Disamping itu menimbulkan polusi udara (asap) yang mengancam kesehetan hingga telah banya nyawa saudara kita yang meninggal di Sumatera dan kalimantan. Namun perkebunan itu tidak ditindaktegas oleh Negara, akan tetapi petani-petani yang di lokasi menjadi sasaran kriminalisasi penangkapan.

Asing juga tidak kalah penting menjadi pelaku utama kerusakan lingkungan hidup di Indonesia. Selain kapital mereka terhubung dengan korporasi dan negara di dalam negeri, Asing atau imperialisme sangat masif pula menguasai lahan di Indonesia. Imperialis AS melalui PT. Freeport menguasai seluas 2,6 juta hektar. Belum termasuk kontak migas yang jumlahnya sangat besar, sehingga diperkirakan Papau telah habis dibagi kepada perusahaan raksasa ini. Sedangkan Di Nusa Tenggara Barat PT. Newmont Nusa Tenggara menguasai 50 persen wilayah NTB dengan luas kontrak seluas 1,27 juta hektar. Di Pulau Sumbawa salah satu wilayah NTB Newmont menguasai 770 ribu hektar, setara dengan 50 persen lebih luas wilayah daratan pulau sumbawa seluas 1,4 juta hektar. Dan masih banyak lagi penguasaan migas dan kekayaan tambang lainnya dikuasai Imperialisme khususnya AS yang mematikan ekonomi rakyat dan merusak lingkungan hidup.

Sementara persoalan penggusuran atau perampasan lahan di pesisir akibat megaproyek reklamasi di sejumlah daerah, menjadi ancaman bagi rakyat Indonesia khususnya Nelayan di era Jokowi-JK.  Jumlah total masyarakat atau nelayan yang telah tergusur saat ini akibat reklamasi telah mencapai 18.151 KK di seluruh wilayah. Reklamasi ini tentu bukan untuk kesejahteraan masyarakat atau nelayan. Namun reklamasi hanya menjadi megaproyek bisnis bagi para korporasi-korporasi dan bahkan negara. Deretan nama perusahaan semacam Agung Sedayung Group, Agung Podomoro Land, Ciputra Group, Lippo Group, TWBI, dan BUMD, mengeruk keuntungan yang besar atas reklamasi ini baik untuk pengembangan Apartemen, Hotel, Objek wisata, bandara dan Pelabuhan. Dan saat ini program reklamasi masih saja tetap dijalankan Jokowi-JK seperti Teluk Jakarta, Bali dan Makassar walaupun telah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Sementara reklamasi selain berdampak pada perampasan hak-hak rakyat atas akses sosial ekonomi dan budaya, reklamasi juga akan semakin merusak lingkungan hidup di Indonesia. Reklamasi akan mengancam kehancuran fungsi konservasi laut (Hutan Mangrove), habitat, banjir, rusaknya dranaise dan hidrodinamika air. 

Di sisi lain, Negara-negara maju termasuk Indonesia mengkampanyekan penurunan emisi karbon dan menjaga lahan, hutan untuk menjaga lingkungan. Namun sekali lagi itu hanya menjadi kebohongan semata untuk mengelabui kejahatannya di mata rakyat dunia. Karena hakekatnya kerusakan lahan, hutan dan emisi karbon, disebabkan korporasi, negara itu sendiri yang mengintensifkan eksploitasi alam yang berorientasi superprofit khususnya bagi borjuasi-borjuasi internasional milik AS. 

Di antara ayat al-Quran dan hadis yang melarang manusia membuat kerusakan terhadap lingkungan dan memerintahkan mereka untuk menjaga dan melestarikannya. Semua itu tentu tak hanya menjadi aturan normatif, melainkan benar-benar telah dipraktikkan dalam sejarah panjang keemasan Islam. Rasulullah saw. pernah menetapkan sebuah wilayah di sekitar Madinah sebagai hima, yaitu kawasan tertentu yang dilindungi (konservasi) untuk keperluan tertentu. Abu Ubaid telah meriwayatkan dalam kitab Al-Amwal, bahwa Rasulullah saw. pernah melindungi sebuah daerah bernama Naqi. Di daerah ini air sangat berlimpah sehingga banyak tumbuh pohon kurma yang lebat buahnya. Beliau melarang orang untuk merambah tanah tersebut, karena di tempat itu banyak rumput yang bisa digunakan untuk menggembala hewan ternah tertentu, yaitu kuda-kuda pilihan untuk keperluan perang.

Sejumlah Khalifah juga menetapkan beberapa hima. Khalifah Umar Ibn Khaththab pernah menetapkan Hima asy-Syaraf dan Hima ar-Rabdah yang cukup luas di dekat Dariyah. Khalifah Utsman Ibn Affan memperluas Hima ar-Rabdah tersebut yang mampu menampung 1000 ekor binatang setiap tahunnya. Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kaum Muslim pernah membangun kebun-kebun untuk melestarikan hewan-hewan. Raja Prancis, Charlemagne, pernah diberi hadiah oleh Khalifah Harun al-Rasyid binatang gajah dan kera yang diambil dari kebun binatang di Bagdad. Khalifah al-Mutawakkil juga pernah membangun kebun yang luas di Kota Samarra sebagai tempat perlindungan bagi hewan-hewan seperti singa, kijang, burung, dll. 

Demikianlah Islam telah hadir dengan membawa aturan-aturan lengkap yang mencakup masalah kelestarian lingkungan. Aturan-aturan itu telah diterapkan secara nyata dalam sejarah panjang keemasan Islam yang hasilnya tak hanya mensejahterakan manusia, tetapi juga melestarikan lingkungan sekitarnya. [VM]

Posting Komentar untuk "Bumi ‘Seger Ijo Royo-Royo’ Tanpa Ekspliotasi Kapitalisme"

close