Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dari Fuad Amin ke La Nyalla, Siapa Selanjutnya? (Bagian-1)


Oleh : Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Publik harus ingat bahwa pimpinan KPK pernah menyatakan jika di Jawa Timur ada korupsi besar-besaran. Keengganan KPK untuk menindaklanjuti sesungguhnya penuh tanda tanya. Ungkapan itu benar adanya, atau sekadar menakuti pejabat dan tersangka korupsi di daerah? Selama ini pengungkapan korupsi di daerah tidak begitu menggelegar. Meski elemen LSM anti korupsi tumbuh subur di daerah.

Sesungguhnya LSM anti korupsi di daerah yang berjejaring dengan pusatnya memiliki data riil korupsi beserta pelakunya. Sayangnya publikasi dan keseriuasan untuk membuka lebar-lebar kebobrokan di daerah masih setengah hati. Di sisi lain, pejabat atau pengusaha yang menyelewengkan uang rakyat berhasil membungkam beberapa LSM anti korupsi agar tidak bersuara. Kalaupun bersuara itu lebih karena kepentingan politik dan menjatuhkan lawan politik. Hal jamak yang terjadi saat ini adalah ‘uang’ menjadi segalanya, bahkan ancaman pembunuhan kerap mengintai aktifis LSM anti korupsi. Lantas di mana perlindungan keamanan pada setiap warga negara? Negeri ini tak ubahnya negeri mafia dan menjadikan ‘okol’ untuk memukul manusia lainnya. Sadis!

Kelemahan penanganan korupsi di Jawa Timur ada bebarapa poin penting selain kekurangtegasan penegak hukum:

1) Kewenangan kasus korupsi memang diserahkan sepenuhnya di KPK. Adapun di daerah kasus korupsi kerap ditangani Kejaksaan Tinggi berdasarkan alat bukti yang sudah lengkap.

2) Pengadilan TIPIKOR di Jawa Timur hanya ada di Surabaya. Sedangkan di Kabupaten tidak ada. Jika ada kasus korupsi di kabupaten/kota maka harus disidangkan di Surabaya.

3) Jarak tempuh ke pengadilan TIPIKOR menjadi pemikiran Kejaksaan Tinggi di kabupaten/kota untuk belum mau memproses kasus korupsi hingga disidangkan. Itu belum dihitung dari segi biaya, tenaga, dan waktu yang dibutuhkan baik dari sisi pengamanan dan tenaga. Maka sering dilihat di pengadilan TIPIKOR tersangka korupsi harus antri untuk sidang.

4) Penanganan korupsi di kabupaten/kota masih diprioritaskan jika ada kerugian langsung kepada rakyat kecil. Misalnya dalam kasus penyaluran beras miskin, bantuan tunai langsung, pembangunan daerah dan desa, dan lainnya.

5) Ketidakcukupan alat bukti dan saksi menjadi alasan tersendiri, selain ada upaya ‘pasang badan’ dari pejabat yang berkuasa agar kasus tidak dibongkar.

6) Penyelewengan kekuasaan di daerah untuk memperkaya diri sendiri ketika menjabat hingga selesai menjabat. Serta upaya saling sandera di kalangan elit penguasa daerah baik provinsi atau kabupaten/kota. Semua sudah memiliki kartu AS masing-masing yang siap dibongkar jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Rakyat sesungguhnya hanya bisa diam dan mengelus dada, melihat serangkaian peristiwa dan intrik dari penguasanya di daerah. Selama ini rakyat hanya bisa melihat kemapanan penguasa di tengah derita rakyat yang tiada habisnya. Kalaulah korupsi dijadikan persoalan utama dalam politik, maka dapat dipastikan sistem politik demokrasi akan melanggengkan korupsi. Mustahil di negeri ini ada pejabat yang bersih dari korupsi, meski tidak dapat digebyahuyah kepada semua. Karena korupsi beragam cara dan warna.

Dari Fuad ke La Nyalla

Kabupaten Bangkalan di Madura yang biasanya tenang beberapa tahun lalu bergejolak. Rakyat tidak menyangka dominasi kekuasaan Fuad Amin (Bupati dua periode dan ketua DPRD) bisa juga diruntuhkan. Seotoriter apa pun penguasa, akhirnya tumbang pula. Mereka lupa bahwa rakyatlah pemilik kekuasaan sesunggunya. Sejarah kehancuran penguasa di seluruh dunia, selayaknya menjadi pelajaran bagi penguasa. Sesungguhnya penguasa diamanahi rakyat untuk melayani urusan rakyat dan kehidupannya. Jika rakyat diurusi dengan baik maka rakyat akan mendukungnya.

Beberapa aktifis LSM anti-korupsi sempat ditembak di depan rumahnya. Peristiwanya menjadi misteri tentang motif penembakannya. Sementara kerajaan kekuasaan dinasti di Bangkalan pasca-penangkapan Fuad Amin, sempat bergoyang. Hal ini mengingat rakyat Bangkalan kembali bangkit untuk melawan ketidakadilan yang selama ini dirasakan. Dilema untuk melawan karena Fuad Amin merupakan keturunan ulama’ dan waliyullah, Syikhona Kholil. Maka pengungkapan korupsi di Bangkalan menjadi titik tolak rakyat untuk kian gencar membongkar dan menyuarakan kebenaran.

Di sisi lain, penangkapan Fuad Amin dan penyitaan asetnya membuktikan bahwa korupsi di daerah bukan omong kosong. Upaya penyelewengan kekuasaan itu bisa saja terjadi dan mengenai siapa pun yang menjabat. Sinyal pemberantasan korupsi kakap di Jawa Timur tampaknya menjadikan ‘ketegangan’ di kalangan pejabat lainnya. Upaya perbaikan birokrasi dan pemerintahan terlihat berlarian cepat di seluruh wilayah Jawa Timur. Berbagai upaya menuju digitalisasi dan informasi publik kini mulai dipublikasikan kepada rakyat. Apakah upaya itu akan memberangus korupsi? Tidak akan bisa. Karena, mental pejabat sudah rusak ditambah birokrasi yang tambal sulam.

Kolaborasi penguasa sekaligus pengusaha menjadikan pasangan abadi untuk kian menyuburkan korupsi. Kalaulah penguasa bukan dari kalangan pengusaha, di belakang mereka telah berjejer pengusaha. Semua bergantung “citra media” untuk memoles siapa yang layak jadi penguasa. Tak cukup modal dengkul, butuh uang untuk menjalankannya. Pengungkapan kasus Fuad Amin begitu mencengangkan semua. Pejabat daerah saja mampu mengumpulkan kekayaan di luar gaji bulanannya. Belum lagi, pengusaha mampu mengibuli dengan gerojokan uang agar bisnisnya licin dan lancar. Pertanyaan besarnya adalah “Mengapa modus bertahun-tahun itu berjalan mulus dengan persengkongkolan jahat penguasa dan pengusaha?”, “Apakah modus juga sama di daerah lainnya?”, “Ataukah ini sekadar fenomena alam tebang pilih penegakan untuk menakut-nakuti?”,”Lantas bagaimanakah dengan penguasa di atas Bupati/Walikota?”. 

Pertanyaan besar itu akan terjawab pada bandul peristiwa penangkapan La Nyalla Mattalitti (LNM). Ketegaran La Nyalla meski dijadikan tersangka tak menyurutkan langkah untuk membela diri dan mengungkap semuanya. Seperti hal yang sudah-sudah, tersangka korupsi dijadikan justice colaborator untuk mengungkap misteri korupsi. Meski La Nyalla dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Negeri Jawa Timur (Kejati Jatim), bukan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), sepak terjangnya di Jawa Timur hingga ke Pusat Kekuasaan di Jakarta menarik untuk diulik dan diamati. Harapannya, La Nyalla mampu membuka kotak pandora misteri korupsi di Jawa Timur serta mampu menjawab pernyataan KPK bahwa ada koruptor ‘kelas kakap’. Habis Fuad Amin, Terbitlah La Nyala. Mampukah La Nyala menyalakan lilin untuk jalan yang benderang dalam pengungkapan skandal besar korupsi? Ikuti analisa di bagian berikutnya. [VM] [Bersambung : Dari Fuad Amin ke La Nyalla, Siapa Selanjutnya? (Bagian-2)]

Posting Komentar untuk "Dari Fuad Amin ke La Nyalla, Siapa Selanjutnya? (Bagian-1)"

close