FITRAH
Fitrah (fithrah) sering dianggap sama dengan suci. Orang yang berpuasa Ramadhan sebulan penuh dan memasuki Idul Fitri dianggap kembali pada fitrah, yaitu kembali suci, tanpa dosa, bagaikan kertas putih. Pemahaman ini sudah sedemikian melekat pada sebagian kaum Muslim. Benarkah demikian?
Fitrah Menurut Bahasa, Istilah, dan Syariat
Secara bahasa, fitrah (fithrah) berasal dari kata fathara–yafthuru–fathr[an] wa futhr[an] wa fithrat[an] yang berarti pecah, belah, berbuka, mencipta. Al-fathr artinya pecah atau belah. Dari makna ini, diambil pengertian Fithru as-Shâ’im (berbukanya orang berpuasa), karena ia membuka mulutnya. Tanggal 1 Syawal disebut Idul Fitri, yakni Hari Raya Berbuka. Fathara an-Nâqah, mashdar-nya, al-fathr berarti memerah susu onta dengan ibu jari dan telunjuk kedua tangan; sedangkan al-futhr artinya susunya sedikit ketika diperah, (Al-Firuz Abadi, Lisân al-‘Arab, 5/55-59).
Sedangkan kata fathara Allâh artinya Allah mencipta. Jadi, al-fithr artinya ciptaan. Menurut orang-orang Arab asli, fathara artinya memulai atau mencipta dan mengkreasi. Hal ini seperti yang dituturkan ar-Razi (Mukhtâr as-Shihâh, 1/212) dari Ibn ‘Abbas ra. yang berkata, “Aku tidak tahu apa arti Fâthir as-Samawât hingga datang kepadaku dua orang Arab Baduwi yang sedang berselisih mengenai sumur. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Fathartuhâ,’ yakni ibtadâ’tuhâ (Aku yang memulai/membuatnya).”
Dalam al-Quran, kata fathara (mencipta) terdapat dalam surat al-An‘am: 67; ar-Rum: 30; al-Isra’: 51; Thaha: 72; Hud: 51; Yasin: 22; aL-Anbiya’: 56; dan az-Zukhruf: 27. Kata fâthir (pencipta) terdapat dalam Yusuf: 101; Fathir: 1; Ibrahim: 10; asy-Syuara: 11; al-An’am: 14. Kata futhûr (sesuatu yang tidak seimbang) terdapat dalam surat al-Mulk: 3. Kata yatafaththar-na (pecah atau belah) terdapat dalam surat Maryam: 90 dan asy-Syura: 5. Kata infatharat (terbelah/terpecah) terdapat dalam surat al-Infithâr: 1. Kata munfathir (menjadi pecah-belah) terdapat dalam dalam surat al-Muzammil: 18.
Kata fitrah sendiri diungkapkan Allah hanya dalam satu ayat. Allah Swt. berfirman:
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS ar-Rum [30]: 30).
Ayat ini oleh para ulama dikaitkan dengan firman Allah:
Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami melakukan yang demikian itu) agar pada Hari Kiamat kalian tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS al-A’raf [7]: 172).
Kedua ayat tersebut selanjutnya sering dikaitkan tafsirnya dengan hadis yang dituturkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasul saw. bersabda:
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ahmad, Malik).
At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-A’raf ayat 172.
Menurut Abu ‘Amr dalam at-Tamhîd dan Imam Malik dalam al-Muwatha’, makna fitrah tersebut adalah permulaan. Maksudnya, permulaan atau ketetapan Allah tatkala menciptakan makhluk. Allah telah mengawali mereka dengan ketetapan bagi kehidupan dan kematiannya serta kebahagiaan dan kesengsaraannya. Pendapat yang senada menyatakan, sejak di dalam kandungan setiap manusia telah ditetapkan kesudahannya apakah di surga ataukah di neraka.
Pendapat demikian berlawanan dengan ketetapan Allah yang memberikan pilihan kepada manusia antara iman atau kufur, jalan selamat atau sebaliknya (QS al-Kahfi [18]: 29 dan as-Syams [91]: 7-8). Atas pilihannya itulah manusia dimintai pertanggungjawaban dan diberi pembalasan berupa pahala atau siksa. Nasib manusia di akhirat tergadai (ditentukan) oleh amal perbuatannya (QS. ath-Thur [52]: 21dan al-Muddatstsir [74]: 38).
Ada juga yang berpendapat, makna fitrah tersebut adalah iman, yakni setiap bayi dilahirkan di atas keimanan. Sebagian lain memaknai fitrah sebagai ciptaan; Allah menciptakan setiap bayi dalam makrifat (mengetahui) Tuhannya.
Fakta bayi yang baru lahir dan pendalaman atas makna nash-nash di atas memperlihatkan bahwa pada waktu bayi dilahirkan, ia belum beriman ataupun kufur; ia juga belum memiliki pengetahuan, ilmu pengakuan atau pengingkaran atas sesuatu. Pengetahuan dan ilmu mengharuskan adanya aktivitas berpikir. Aktivitas ini tidak terjadi pada bayi yang baru lahir dan baru terwujud setelah jangka waktu tertentu yang setidaknya ia telah tumbuh sampai mumayyiz (bisa membedakan). Allah Swt. berfirman:
Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apapun. (QS an-Nahl [16]: 78).
Di samping itu, iman dan kufur atau pengakuan dan pengingkaran bisa berubah-ubah dan berganti satu sama lain. Tentu yang demikian itu menyalahi karakter fitrah karena tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (QS ar-Rum [30]: 30).
Makna fitrah yang lebih tepat adalah seperti yang disampaikan oleh Ibn Abd al-Bar dan Ibn ‘Athiyah, yaitu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada diri anak ketika dilahirkan, yang menyediakan atau menyiapkannya untuk mengidentifikasi ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikannya dalil pengakuan terhadap Rabb-nya, mengetahui syariatnya, dan mengimani-Nya.
Abu al-‘Abbas menyatakan bahwa Allah Swt. menciptakan hati anak Adam siap untuk menerima kebenaran seperti menciptakan mata siap untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Hanya saja, faktor-faktor berupa bisikan setan jin maupun setan manusia serta hawa nafsu bisa meggelincirkannya dari kebenaran. Jadi, ibu-bapaknya dalam hadis di atas merupakan permisalan dari bisikan setan yang menjadikannya seorang kafir atau musyrik.
Ibn al-Atsir mengomentari hadis di atas: Fitrah adalah ciptaan atau kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadis tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siap-sedia untuk menerima agama. Hal senada diungkapkan oleh Zamakhsyari. (Al-Fâ’iq, 3/128).
Berdasarkan nash-nash di atas, maka makna fitrah adalah karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan. Fitrah itu merupakan tabiat bawaan yang bersifat jibiliyyah. Karakter bawaan ini tidak akan pernah berubah atau berganti.
Jika kita analisis, karakteristik bawaan itu tidak lain adalah potensi kehidupan manusia berupa hajât al-‘udhâwiyah (kebutuhan untuk tetap hidup) dan gharâ’iz—jamak dari gharîzah—(naluri/insting). Tabiat yang berupa kesiapan menerima agama dan kelurusan itu tidak lain adalah gharîzah at-tadayyun (naluri beragama). Jadi, kesaksian dalam surat al-A’raf tersebut adalah kesaksian naluriah/instingtif (syahâdah ghâriziyyah atau syahâdah fithriyyah) dan bukan kesaksian imani (syahâdah îmâniyyah). Kesaksian itu tidak akan bisa dilupakan oleh manusia karena melekat dalam dirinya dan tidak akan hilang sampai kematiannya dan sampai generasi manusia yang terakhir. Itulah yang ditegaskan Allah dalam al-A’raf ayat 172-173. Wallâhu a‘lam bi as-shawâb. [YA/AFA/VM]
Sumber : RUBRIK TAKRIFAT: Media Politik dan Dakwah Al-Waie No.51 Tahun V
Posting Komentar untuk "FITRAH"