Membangun Pilar-Pilar Negara (Berkaca Pada Metode Rasulullah saw.)
Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi
Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, membangun sebuah Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah) bukanlah perkara gampang. Sebab, yang kita inginkan tentu bukan sembarang negara, yang bisa jadi hanya distempel dengan nama “Negara Islam”, tetapi dalam kenyataanya berhukum dengan hukum selain Islam warisan penjajah kafir. Bahkan, kita pun tidak menghendaki negara yang betul-betul menerapkan hukum-hukum Islam, tetapi meninggalkan tugasnya dalam mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.
Jika demikian, negara seperti apa yang kita inginkan?
Tulisan ini ingin mengulas lebih jauh jawaban atas pertanyaan tersebut dengan merujuk terutama pada kitab Ad-Dawlah al-Islâmiyyah karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994).
Kata An-Nabhani (1994:11), yang kita kehendaki adalah sebuah negara yang bertugas melanjutkan kehidupan Islam (isti’nâf al-hâyah al-islâmiyyah), yang tegak berdasarkan akidah Islam, menerapkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat, serta mengemban risalah Islam dengan dakwah dan jihad ke seluruh dunia. Inilah yang kita inginkan, bukan yang lain.
Masalahnya, bagaimana kita mewujudkan semua itu? Di sinilah kita perlu mengkaji dan bercermin pada sirah Rasulullah saw. dalam perjuangan beliau membangun pilar-pilar kehidupan bernegara dalam Negara Islam di Madinah. Dari situ akan dapat dipetik bagaimana cara Rasulullah saw. membangun dan memperkokoh pilar-pilar kehidupan bernegara, yang mencakup:
(1) menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara;
(2) menerapkan hukum-hukum Islam di tengah masyarakat;
(3) mempersiapkan kekuatan untuk mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Untuk itu, marilah kita mengkaji kitab Ad-Dawlah al-Islâmiyyah karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994) yang menjelaskan permasalahan tersebut.
Kehidupan di Madinah
Setelah Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, beliau menghadapi struktur penduduk Madinah yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok berikut:
(1) Kaum Muslim dari golongan Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah mayoritas penduduk Madinah.
(2) Kaum musyrik dari suku ‘Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam.
(3) Kaum Yahudi yang terdiri dari 4 (empat) golongan; satu golongan tinggal di dalam kota Madinah, sedangkan tiga golongan lainnya di luar Madinah. Yang tinggal di dalam kota Madinah adalah Bani Qainuqa’; yang tinggal di luar kota Madinah adalah Bani Nadhir, Yahudi Khaibar, dan Bani Quraizah (An-Nabhani, 1994: 52-53; Syalabi, 1983: 118).
Meskipun terlihat adanya kemajemukan dalam unsur-unsur masyarakat Madinah itu, semua interaksi di antara mereka tunduk pada Islam. Hal ini dapat terwujud berkat upaya Rasulullah saw. yang sukses dalam membangun pilar-pilar kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Madinah. Upaya-upaya beliau dapat dirinci sebagai berikut:
1. Membangun masjid.
Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah saw. adalah membangun masjid. Beliau membangun masjid di tempat menderumnya unta beliau ketika memasuki kota Madinah. Itu adalah tanah milik dua anak yatim, yakni Sahal dan Suhail ibn ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah saw. Masjid itu sangat sederhana, hanya berupa sebidang tanah yang dinding-dindingnya terbuat dari batu dan tanah. Sebagian atapnya dari daun kurma, sedangkan bagian lainnya dibiarkan terbuka beratapkan langit (An-Nabhani, 1994: 50). Lantainya dibuat menghampar dari pasir dan kerikil-kerikil kecil. Pintunya ada tiga. Panjang bangunannya ke arah kiblat (waktu itu ke arah Baitul Maqdis) sekitar seratus hasta (dzira’), atau sekitar 60 meter. Lebarnya juga kurang lebih hampir sama (Al-Mubarakfury, 2002: 248).
Masjid itu bukan hanya dijadikan tempat shalat, tetapi juga digunakan Rasulullah saw. sebagai tempat untuk pertemuan, bermusyawarah, mengatur urusan-urusan umat, serta mengadili berbagai perkara di antara mereka. (An-Nabhani, 1994: 51; Al-Mubarakfury, 2002: 248).
Dalam kaitannya dengan upaya membangun kehidupan bernegara, masjid berfungsi bagaikan sekolah tempat Rasulullah saw. membina para sahabat dengan ajaran-ajaran Islam. Di situlah beliau memperkokoh akidah Islam dan menyampaikan hukum-hukum Islam, yang menjadi pilar-pilar dasar dalam kehidupan islami. Sebab, akidah Islam itulah yang menjadi dasar negara, yang melahirkan hukum-hukum Islam untuk mengatur interaksi umat manusia.
2. Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Selain membangun masjid, Rasulullah saw. mengambil langkah monumental dalam sejarah, yaitu mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ini merupakan langkah Rasulullah saw. yang strategis untuk membangun interaksi di antara mereka berdasarkan akidah Islam, yang menjadi dasar kehidupan Islam. Dengan akidah inilah kaum Muhajirin dan kaum Anshar menjadi bersaudara karena Allah serta menjalankan interaksi antar mereka berdasarkan hukum-hukum Islam yang lahir dari akidah tersebut (An-Nabhani, 1994: 53).
Rasulullah saw. telah mempersaudarakan 90 orang, separuh dari Muhajirin dan separuhnya lagi dari Anshar. Rasulullah saw. mempersaudarakan mereka agar saling tolong-menolong dan saling waris mewarisi (sebelum di-nasakh dengan ayat QS al-Anfal [8]: 75). (Al-Mubarakfury, 2002: 248).
Dengan demikian, terwujudlah persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar yang mempunyai pengaruh nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti tolong-menolong dalam urusan keluarga dan mata pencaharian. Abdurrahman bin Auf (Muhajirin) bersaudara dengan Sa’ad bin Rabi’ (Anshar). Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, “Aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku. Aku juga mempunyai dua istri. Lihatlah, mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya salah satunya. Kalau masa ‘iddah-nya sudah habis, kawinilah dia!”
Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluargamu dan hartamu. Lebih baik, tunjukkan saja mana pasar kalian!”
Orang-orang pun menunjukkan pasar Bani Qainuqa’. Tak berapa lama kemudian, Abdurrahman sudah mendapatkan sejumlah samin dan keju.
Suatu hari, dia datang dalam keadaan agak pucat. Rasulullah saw. pun bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”
Jawab Abdurrahman, “Aku sudah menikah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Berapa banyak mahar yang kau serahkan kepada istrimu?”
Dia menjawab, “Beberapa keping emas.” (HR al-Bukhari). (Al-Mubarakfury, 2002: 249).
Subhânallâh! Ini menunjukkan seberapa jauh kemurahan dan kebaikan hati kaum Anshar terhadap saudara-saudara mereka dari kaum Muhajirin. Mereka mau berkorban, lebih mementingkan kepentingan saudaranya, serta mencintai dan menyayangi mereka. Dengan demikian, Rasulullah saw. telah memperkokoh kaum Muslim dalam suatu keadaan yang stabil dan mantap serta telah memperkokoh interaksi yang ada di antara mereka berdasarkan asas yang kuat, yaitu akidah Islam, yang menyatukan dan melebur Muhajirin dan Anshar menjadi satu kesatuan yang utuh dan solid (An-Nabhani, 1994: 54).
3. Membuat Piagam Perjanjian.
Setelah Rasulullah saw. berhasil mempersatukan Muhajirin dan Anshar, beliau pun merasa perlu mengatur interaksi kaum Muslim dengan golongan selain Islam di Madinah. Orang-orang musyrik dari suku Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam akhirnya tunduk pada peraturan kehidupan Islam di Madinah. Akan tetapi, eksistensi mereka lama-kelamaan menjadi lenyap.
Adapun golongan Yahudi, mereka adalah masyarakat yang terpisah sebelum adanya masyarakat Islam. Setelah adanya masyarakat Islam, mau tidak mau, Rasulullah saw. harus mengatur bagaimana interaksi mereka dengan kaum Muslim. Sebab, sudah jelas, orang Yahudi mempunyai pandangan hidup serta cara hidup yang berbeda dengan umat Islam. Jika tidak diatur akan timbul kekacauan dan keguncangan dalam masyarakat Islam (An-Nabhani, 1994: 54).
Maka dari itu, Rasulullah saw. kemudian menetapkan sekumpulan butir perjanjian antara kaum Yahudi dan kaum Muslimin berdasarkan asas tertentu, yaitu asas berhukum kepada Islam (al-ihtikâm ilâ al-Islâm). Perjanjian tersebut merupakan suatu pola interaksi (minhâj) yang menentukan bagaimana interaksi berbagai suku Yahudi dengan kaum Muslim, setelah sebelumnya juga ditetapkan pola interaksi yang mengatur hubungan di antara sesama kaum Muslim itu sendiri (An-Nabhani, 1994: 55).
Perjanjian itu diawali dengan kalimat:
Bismillâhirrahmânirrahîm. Ini adalah perjanjian dari Muhammad, Nabi saw. berlaku di antara orang-orang Mukmin dan Muslim dari Quraisy dan Yatsrib, serta siapa pun yang mengikuti mereka dan menyusul di kemudian hari serta yang berjihad dengan mereka. Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, yang berbeda dengan golongan manusia lainnya. (An-Nabhani, 1994: 55).
Setelah itu disebutkan berbagai ketentuan interaksi di antara sesama kaum Muslimin. Adapun ketentuan untuk kaum Yahudi disebutkan di sela-sela pembahasan ketentuan di antara kaum Muslim. Misalkan bunyi perjanjian berikut:
Seorang Mukmin tidak boleh membunuh Mukmin lainnya karena membela seorang kafir. Seorang Mukmin tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang Mukmin...Orang-orang Yahudi yang mengikuti kita, maka mereka berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan hak, tidak boleh dizalimi dan ditelantarkan…. (An-Nabhani, 1994: 55).
Satu hal yang perlu ditekankan, teks-teks perjanjian secara tegas menyebutkan bahwa interaksi antara kaum Muslim dan kaum Yahudi ditetapkan berdasarkan asas berhukum pada Islam (al-ihtikâm ilâ al-Islâm). Dengan kata lain, asas ini mengharuskan kaum Yahudi untuk tunduk pada kekuasaan Islam dan terikat dengan kemaslahatan Negara Islam. (An-Nabhani, 1994: 55). Jadi, bukan seperti yang sering digambarkan secara salah oleh sebagian intelektual Muslim, bahwa konsitusi negara sekular yang ada sekarang sudah identik dengan perjanjian Madinah. Mereka menyembunyikan fakta bahwa pasal-pasal Perjanjian Madinah hakikatnya adalah berhukum dengan hukum-hukum Islam, bukan dengan hukum-hukum kufur sekularistik, seperti konstitusi modern saat ini.
Dalam Piagam Madinah itu terdapat teks berbunyi:
Sesungguhnya perkara atau perselisihan apa pun yang terjadi di antara pihak-pihak dalam perjanjian ini, yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya adalah Allah ‘Azza wa Jalla dan Muhammad Rasulullah saw. (Sîrah Ibn Hisyâm, I/503).
Itu bukti yang jelas, bahwa Piagam Madinah ditetapkan berdasarkan hukum Islam, bukan hukum lainnya. Dengan langkah Rasulullah saw. menetapkan perjanjian ini, berarti beliau telah membangun satu pilar kehidupan bernegara yang sangat penting, yaitu mengatur pola interaksi masyarakat hanya dengan hukum-hukum Islam semata.
4. Mempersiapkan kekuatan militer.
Setelah Rasulullah saw. berhasil membangun masyarakat Islam di dalam negeri, maka beliau lalu mempersiapkan perang dan jihad di Madinah. Mengapa ini beliau lakukan? Sebab, tugas Negara Islam memang bukan hanya menerapkan Islam secara sempurna di dalam negeri, tetapi juga mengemban dakwah Islam ke luar negeri melampaui tapal batas negara (An-Nabhani, 1994: 57).
Mengemban dakwah di sini maksudnya bukanlah seperti aktivitas misionaris dalam menyebarkan agama Kristen, yaitu hanya mengajak orang masuk Kristen. Bukan seperti itu. Maksudnya ialah, di samping mengajak manusia untuk masuk Islam, mendidik mereka dengan ide dan hukum Islam, juga harus ada upaya menghilangkan hambatan fisik yang menghambat dakwah dengan kekuatan fisik (militer) yang mampu menghilangkan hambatan tersebut. (An-Nabhani, 1994: 57).
Maka dari itu, Rasulullah saw. mulai mempersiapkan kekuatan militer untuk kepentingan tersebut. Pada awalnya, yang dilakukan Rasulullah saw. adalah membentuk berbagai satuan pasukan perang (sariyah). Dalam jangka waktu 4 bulan, beliau telah mengirimkankan tiga satuan pasukan perang dari kalangan Muhajirin untuk menantang Quraisy, yang menjadi hambatan fisik penghambat dakwah saat itu. Rasulullah saw. antara lain telah mengutus Hamzah bin Abdul Muthallib, bersama 30 orang Muhajirin, untuk menghadang rombongan kafilah Quraisy yang kembali dari Syam. Dalam kafilah itu ada Abu Jahal bin Hisyam, bersama 300 orang lainnya. Perang tidak jadi meletus karena dilerai oleh Majdi bin Amr al-Juhani yang menjadi sekutu kedua belah pihak (An-Nabhani, 1994: 58; Al-Mubarakfury, 2002: 261).
Itulah antara lain yang dilakukan Rasulullah saw. dalam membangun pilar-pilar kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Madinah. Semua yang beliau lakukan pada intinya bermaksud membangun dan memperkokoh pilar-pilar kehidupan bernegara dalam Islam, yaitu:
(1) menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara;
(2) menerapkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat;
(3) mempersiapkan kekuatan untuk mengemban risalah Islam ke seluruh dunia melalui jalan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Daftar Pustaka :
1 An-Nabhani, Syaikh Taqiyuddin. 1994. Ad-Dâwlah al-Islâmiyyah. Cetakan VI. Beirut: Darul Ummah.
2 Al-Mubarakfury, Shafiyyurahman. 2002. Sîrah Nabawiyyah (Ar-Râhiq al-Makhtûm). Terjemahan oleh Kathur Suhardi. Cetakan XII. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
3 Syalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam (At-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadhârah al-Islâmiyyah). Terjemahan oleh Mukhtar Yahya dkk. Cetakan IV. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Sumber : Jurnal Al-Waie Edisi 52
Posting Komentar untuk "Membangun Pilar-Pilar Negara (Berkaca Pada Metode Rasulullah saw.)"