Indonesia di Rimba Peradaban Kapitalisme
Oleh : Ainun Dawaun Nufus – MHTI Kab. Kediri
Memasuki millenium ketiga, secara teknis dominasi AS di dunia semakin menguat melalui jaringan Bank Sentral di setiap negara yang dikendalikan oleh Federal Reserve dengan IMF dan World Bank sebagai pelaksananya. Demikian pula kontrol perdagangan dunia melalui WTO yang dapat mengendalikan pertumbuhan negara-negara berkembang sesuai dengan kehendak AS. Survei-survei pertumbuhan ekonomi terhadap negara-negara berkembang yang rutin dirilis oleh AS melalui IMF, World Bank, Goldman Sach, StandChart dan lembaga-lembaga keuangan lain – merupakan bukti nyata dari sistem kontrol AS yang begitu ketat terhadap kemajuan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia ditempatkan dalam kelompok G20, dalam deretan negara dengan kekuatan ekonomi yang besar. Daging segar.
Melalui WTO AS berhasil menghilangkan batas-batas negara dan menaklukan negara berdaulat dengan menjalankan skema liberalisasi, pasar bebas dan privatisasi. Indonesia sendiri sejak Reformasi 1998 telah kembali menjadi ajang rebutan oleh negara-negara industri maju yang sangat membutuhkan bahan baku bagi kelangsungan industrinya. Melihat gejala bergesernya fokus pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia Timur – dimana Indonesia persis berada ditengah-tengah jalur strategis itu, tepat dipersilangan – maka dimasa depan tampaknya Indonesia akan menjadi arena pertempuran Non Militer antara kekuatan negara-negara imperialis utama pada 2020.
Siapa saja yang akan terlibat dalam Pertempuran Non Militer di Bumi Nusantara tersebut. Kita mulai saja dari pemain lama sejak zaman kuno, yakni Negeri Tiongkok. Dengan skema Jalur Sutera Maritim abad 21, China jelas-jelas ingin menguasai Indonesia seutuhnya, kalau bisa. Menteri Luar Negeri China Wang Yi ketika melawat ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka telah menegaskan bahwa Pemerintah China sangat “terkesan” dengan gagasan poros maritim yang hendak dikembangkan Presiden Joko Widodo lima tahun mendatang. China siap melakukan kerja sama sepenuhnya seperti investasi membangun pelabuhan di jalur tol laut yang dirancang pemerintahan Jokowi. Dan yang paling penting bagi Beijing adalah mengintegrasikan konsep poros maritim dengan Jalur Sutera Maritim Abad 21. Sekadar informasi, jalan sutera yang dimaksud adalah rute kapal dari China, melewati Vietnam, serta Thailand lalu melewati Indonesia terus ke Selat Malaka, melalui Riau, Dumai, dan Belawan. Atau masuk lewat Filipina terus melalui Selat Sulawesi, Bitung, Makassar, hingga Surabaya.
Untuk itu tidak tanggung-tanggung, China telah menyiapkan dana tidak terbatas, teknologi serta sumber daya manusianya untuk menguasai Indonesia – proyek Jurong, sebut saja Jurong Limited di Singapura – merupakan salah satu skema Perang Non Militer yang telah disiapkan sejak lama. Sejak kepemimpinan PM Zhurong Ji dekade 1990-an, Jurong Ltd. memang di desain khusus untuk menginvasi Indonesia dalam bidang energi dan industri, baik industri otomotif, manufaktur, smelter dan industri lainnya, termasuk kilang minyak dan pembangkit listrik. Sebagai catatan saja, Sinopec Group telah lama menyiapkan dana sebesar US$ 850 juta untuk membangun kilang minyak di Batam dengan kapasitas 16 juta barel. Namun terus di delay oleh SBY. Sekarang, China telah siap menginvestasikan US$ 100 milyar di Indonesia, tinggal menunggu tanda tangan Presiden Jokowi saja. Sebagai informasi saja: bila kita bicara investasi perusahaan China artinya dana investasi itu berasal dari negara.
Dedengkot selanjutnya adalah Amerika yang tidak ingin hegemoni globalnya diganggu. Kepentingan nasional AS adalah menjaga stabilitas suplai minyak dan kebutuhan bahan baku bagi pemenuhan kelangsungan industri dalam negerinya. Jumlah impor minyak AS dari Indonesia sendiri masih misteri karena memang kita tidak pernah tahu berapa volumenya. Tapi yang jelas, AS sangat berkepentingan dengan Indonesia karena faktor minyak dan bahan baku tambang lain yang terkandung di Bumi Ibu Pertiwi. Free Port di Papua misalnya, sejak 1967 tidak pernah berhenti mengeruk emas dari Bumi Papua, demikian pula dengan Exxon dan kawan-kawan yang terus memompa minyak kita tanpa kenal lelah, baik di darat maupun di laut. Dan sekaligus menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran produk-produk pertanian AS dan sekutunya yang tidak terbatas yang diatur melalui tangan WTO. Diluar semua itu, ada agenda besar AS untuk membangun “Free Port” kedua di Kalimantan, tapi kali ini merupakan proyek raksasa Partai Demokrat Amerika. Konon investornya adalah Bill Gates, orang nomor satu terkaya di Amerika.
Tidak mau ketinggalan adalah Belanda dan Uni Eropa (UE). Tampaknya krisis yang berkepanjangan telah menyadarkan Uni Eropa untuk bangkit bergabung dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang sedang menggeliat. Survei-survei lembaga keuangan dunia telah menunjukkan bahwa UE akan disalip oleh negara-negara berkembang seperti China, India, Korea Selatan dan Indonesia dalam satu sampai dua dekade mendatang. Dan tidak tanggung-tanggung konon Rp. 1.000 trilyun telah disiapkan oleh UE untuk membangun Great Garuda sebagi pusat keuangan dan perdagangan dunia di Utara Jakarta.
Masuknya UE ke Indonesia membangun proyek raksasa bukan sekedar pertarungan EURO dan DOLLAR dan transaksi minyak dunia – tetapi lebih perebutan penguasaan SDA Indonesia yang terbukti, seperti migas dan minerba yang sangat berlimpah mulai Aceh sampai Papua. Tinggal bagaimana AS dan UE membagi kavling daratan Sulawesi, Kalimantan dan Aceh yang tersisa. Sedangkan posisi China tampaknya sudah cukup nyaman dengan menguasai ekonomi, industri dan pasar Indonesia – tinggal bagaimana regulasi pemerintah Indonesia menyikapi investasi, relokasi pabrik dan sdmnya ke Indonesia. Skema Jalur Sutera abad 21, tinggal membereskan Malaysia dan menaklukkan Indonesia. China tampaknya telah menemukan skema yang pas untuk menguasai Malaysia. Namun menemui kesulitan besar untuk menaklukkan bangsa Indonesia – karena alam bawah sadar bangsa Indonesia memiliki reflek anti China. Nah, hal inilah yang menjadi ganjalan terbesar bagi mulusnya skema Jalur Sutera abad 21 tersebut.
Masalah yang krusial saat ini adalah MEA. Indonesia jelas terpuruk menghadapi “pasar bebas”. Terbukanya bursa tenaga kerja asing tentu akan merugikan tenaga kerja potensial Indonesia di tanah air – yang memang kalah tingkat pendidikannya dengan negara tetangga. Belum lagi relasi konglomerasi asing yang membanjiri Indonesia tentu mereka lebih nyaman mempekerjakan orang mereka sendiri dilevel tertentu. Sekali lagi, Indonesia adalah pasar tunggal MEA 2015. No way out!
Jelas, kita masih dijajah. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Kapitalisme, ideologi penjajah. Di bidang politik, sistem politik yang kita anut, yakni demokrasi, juga berasal dari negara penjajah. Tragisnya, demokrasi menjadi alat penjajahan baru. Hukum kita pun masih didominasi oleh hukum-hukum kolonial. Karena itu, kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik saat ini adalah dengan melepaskan diri dari: (1) sistem Kapitalisme-sekular dalam segala bidang; (2) para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan negara-negara kapitalis.
Selanjutnya, kita harus segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh kehidupan kita. Hanya dengan syariah Islamlah kita dapat lepas dari aturan-aturan penjajahan. Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih kemerdekaan hakiki. [VM]
Posting Komentar untuk "Indonesia di Rimba Peradaban Kapitalisme"