Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

‘Ajaran Kebencian’ yang dipasarkan Negara-Negara Barat Itu…


Oleh : Umar Syarifudin – pengamat politik internasional (Syabab HTI)

Pernyataan Henry Bannerman, Perdana Menteri (PM) Inggris era 1906-an, barangkali bisa menguak motivasi di balik apa yang terjadi di atas permukaan. Ini cuplikannya:  

“Ada sebuah negara (Khilafah Islamiyah) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah “organ asing” harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. “Organ” itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek diinginkan” (JW Lotz, 2010).

Bila cermat memaknai statement Bannerman tadi, maka tercermin ada kegelisahan Barat jika muncul persatuan dan kesatuan kaum muslim dalam wadah Khilafah. Itulah pokok-pokok motif dan latar belakang mengapa Barat sangat khawatir tatkala bersemi setiap persatuan bidang apapun, dimanapun serta sampai kapanpun. Oleh sebab ‘negara’ tersebut dipersepsikan sebagai endapan bahaya atau hazard bagi implementasi kapitalisme ideologi yang dipuja Bannerman.

Terkait isyarat Bannerman, menjadi keniscayaan jika Khilafah nantinya mampu memisahkan Barat dari dunia lain (Asia dan Afrika). Inilah kecemasan berlebihan (phobia) yang terus ‘dipelihara’ hingga kini. Maka bacaan inti atas sinyal PM Inggris tempo dulu, bahwa hadirnya Israel sejatinya selain berperan selaku organ pemecah belah di jantung Dunia Islam, ia juga dijadikan alat dalam rangka meraup berbagai kepentingan Barat di Jalur Sutera.

Negara-negara Barat tengah bergulat berebut negeri-negeri Islam, mereka menciptakan alat-alat (antek dan boneka) mereka di negeri tersebut yang akan berjalan untuk melayani mereka. Masyarakat internasional yang dipimpin oleh Amerika dan sekutunya tidak peduli sama sekali terhadap ribuan orang tua, wanita dan anak-anak yang telah mereka tumpahkan darahnya, serta ratusan ribu terluka yang telah mereka lempari roket-roket peledak hingga anggota tubuhnya hilang, kemudian jutaan orang yang telah mengungsi setelah rumah-rumahnya dihancurkan.

Imperialisme dirancang di seluruh negeri muslim. Berbagai perubahan itu adalah episode pertarungan yang baru atau rekonsiliasi lokal dan internasional. Perubahan-perubahan terakhir ini adalah hasil dari kebijakan pemerintahan Amerika yang baru di seluruh negeri muslim. Dahulu perang terhadap terorisme, Irak dan Afganistan menjadi prioritas dalam politik pemerintahan Amerika sebelumnya, sekarang pemerintah Amerika bermaksud meredesain politik luar negerinya. Pemerintah Amerika menetapkan aktifitas rekayasa di Timur Tengah sebagai bagian dari prioritas tersebut jika bukan yang paling utama. Amerika dan negara-negara Eropa melakukan intervensi secara langsung untuk merancang peta politik negeri-negeri Islam.

Amerika dan sekutunya ingin memastikan orang-orang yang memerintah kaum muslim tidak lain adalah penjual SDA rakyat. Mereka mengorbankan rakyat demi kepentingan-kepentingan mereka dan tuan-tuan merekayang tidak lain adalah para pemimpin mafia dan pembegal jalanan, mereka merampas keamanan masyarakat di jalanan, merampok harta masyarakat di lembaga-lembaga pemerintahan, atau antek yang bekerja sesuai permintaan. Realita kancah politik tidak lah jauh dari Indonesia. 

Membaca peristiwa konflik di negeri muslim selama ini, sepertinya cuma bagian dari strategi Barat guna memasuki kedaulatan negeri lain atas nama dogma global semacam HAM, liberalisasi, demokrasi, dll. Padahal pokok masalahnya adalah ketergantungan-nya terhadap minyak dan gas di negara-negara produsen. Retorikanya sederhana, “Apakah di Nigeria akan muncul Boko Haram -kelompok Islam radikal- jika ia hanya penghasil ketela rambat; mungkinkah ISIS bakal lahir di Singapura, atau Israel?” 

Bahwa isu utama yang dipakai oleh Barat untuk memasuki (dan menciptakan konflik) di Dunia Islam pasca Perang Dingin selain melalui isue semacam pemimpin tirani, korupsi, demokratisasi, HAM dsb yang teraktual adalah stigma: “Radikalisme Islam”. Al Qaeda merupakan induk atau pokok batang-nya, sedang ranting-rantingnya adalah al-Qaeda in Arabian Peninsula di Yaman misalnya, atau Ansar al-Sharia di Libya, Boko Haram di Nigeria, Jabhat al-Nusra di Syria, al-Qaeda in Islamic Maghreb, al-Shabab, atau yang paling aktual kini Islamic State of Irak and Syam (ISIS). Sasarannya menciptakan Islamophobia (ketakutan berlebih kepada Islam) di dunia, sedang tujuan Barat sesungguhnya ialah mencaplok SDA di negara-negara yang telah ditabur benih ‘radikalisme Islam’. Agendanya melalui skenario memerangi kelompok Islam radikal, capacity building, dsb dimana ujungnya what lies beneath the surface, kapling-kapling SDA di negara target hal-hal yang terkandung di bawah permukaan.   

Secara kronologis, ada beberapa tahapan menuju ‘Islamophobia’ melalui bangunan simulasi, stigmasisasi, naturalisasi, dan stereotyping. Penjelasannya antara lain:

(1) Simulasi: menciptakan model-model realitas yang seakan tampak nyata, seakan-akan realitas, padahal rekayasa. Tragedi Boston misalnya, di jejaring sosial telah banyak tersebar berbagai foto kejanggalan dalam peristiwa itu, antara lain kehadiran tentara bayaran (private military forces) di lokasi. Para tentara itu berasal perusahaan bernama Craft yang di logonya tertera ‘Violence does solve problem’ (kekerasan pasti menyelesaikan masalah). Meskipun memang ada kemungkinan segelintir ‘jihadist’ yang terlibat, tetapi ada indikasi keterlibatan orang ‘dalam’ AS sendiri.

(2) Stigmatisasi: mendiskreditkan (setiap ada kekerasan, dimunculkan foto-foto orang Arab secara sistematik, sehingga Arab identik dengan kekerasan). Dalam tragedi Boston, stigmatisasi menimpa muslim Chechnya. (3) Naturalisasi: proses pewajaran, melalui kartun atau film, sehingga terasa ‘wajar’ jika pelaku terorisme adalah muslim/Arab. (3) Stereotyping: ketika disebut ‘Islam’ maka yang terbayang adalah teroris, Saddam Husein, irrasionalitas, atau fanatisme.

Dan gilirannya, terwujud Islamophobia dalam benak masyarakat global. Itulah yang tema diinginkan oleh Barat melalui tahapan serta penggiringan opini di media. Sekali lagi, hal-hal inilah yang mesti direnungkan bersama agar publik global (terutama kalangan muslim) tidak begitu saja larut dalam skema asing yang ditebarkan oleh “agen-agen”-nya di jalur-jalur atau di kawasan berlimpah SDA. Apalagi hanyut atau justru melarutkan diri dalam agenda pecah belah sesama muslim, lalu dibentur-benturkan antar mazhab dalam agama. Pertanyaan selidiknya, "Siapa sesungguhnya si perancang konflik di dunia muslim?"

Akhirnya, penulis memperingatkan bahwa demokrasi yang dipasarkan AS dan sekutunya tersebut adalah lubang jebakan yang mereka dikumpulkan di situ untuk diserang. Mereka juga dikeluarkan secara bertahap dari tempat-tempat mereka agar rezim pro Barat terus meluas. Penulis menasihati agar umat Islam tidak menyerahkan diri dan keluarga mereka kepada rezim yang nti penegakan syariah Islam. Rezim telah memberi kita pelajaran lebih dari sekali dengan melanggar janji-janjinya. Seperti yang disabdakan oleh Rasul saw:

“Tidak layak seorang mukmin terjerumus di lubang yang sama dua kali.” (HR al-Bukhari)

Kita membutuhkan para pemimpin dan pejuang yang membela Islam dan tidak akan membohongi umat. Dimana siang dan malam berjuang bersama, menggagalkan rencana-rencana musuh-musuh Islam, dan melanjutkan kehidupan Islami dengan tegaknya al-Khilafah ar-Rasyidah. [VM]

Posting Komentar untuk "‘Ajaran Kebencian’ yang dipasarkan Negara-Negara Barat Itu…"

close