Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pak Guru Sambudi, Kau Tak Sendiri!


Oleh : Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media)

Sambudi, kau tidak sendiri. Manusia yang memiliki hati nurani dan pikiran jernih akan mendukung langkahmu dalam mendidik anak manusia. Meski persidangan dan penjara siap engkau huni. Yakinlah ada banyak simpati dan empati, meski ada yang tidak peduli. Gusti Allah mboten sare! Jangan takut, jika pengadilan atas nama UU Perlindungan Anak menjebloskanmu ke jeruji besi, sesungguhnya engkau telah membuktikan bahwa “Hukum Tumpul Ke Atas, dan Tajam Ke Bawah”. Kebanyakan orang-orang yang menghuni LP (Lembaga Pemasyarakatan) mereka yang ‘buta hukum’ dan ‘tak memiliki uang dan kuasa’.

Guru yang seharusnya dilindungi dan dihormati, di negeri ini tampaknya jauh panggang dari api. Selain ada kewajiban mengajar, ada juga kewajiban mendidik siswa menjadi baik. Bukankah pendidikan itu memanusiakan manusia? Lantas, hanya karena cubitan seorang guru harus diperkarakan di sidang pengadilan? Sampai-sampai Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim, Ichwan Sumadi, mengatakan penyidangan terhadap Sambudi tersebut di luar akal sehat. Ichwan menuturkan kejadian pencubitan itu bermula ketika Sambudi menghukum beberapa siswa SMP Raden Rahmat, Balungbendo, Kabupaten Sidoarjo, karena tidak melakukan kegiatan salat Dhuha. Dijelaskan, kegiatan tersebut merupakan kebijakan sekolah untuk menumbuhkan sikap bertaqwa kepada siswanya.

Maju Kena Mundur Kena

Dunia pendidikan di Indonesia tidak pernah sepi dari masalah dan cerita. Berganti pejabat yang mengurusi pendidikan tak menjamin pendidikan lebih baik. Begitu pun berganti kurikulum juga bukan langkah nyata untuk menyiapkan generasi terbaik bangsa. Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa masalah ini tak berkesudahan?

Selain Pak Sambudi, banyak guru yang karena memang tindakan salahnya sudah masuk bui penjara. Teringat pemberitaan di media massa, guru bertindak asusila kepada siswanya. Guru melakukan tindakan kriminal, dari pencurian, perzinahan, hingga narkoba. Lebih ironisnya, gaya hidup bebas dan serba boleh menjadikan siswa nakal. Tawuran tiada henti. Angka ketidakperawanan meningkat. Pacaran, seks bebas, hingga hamil di luar nikah. Begitu juga pencurian, narkoba, hingga geng motor. Persoalan buruk tadi semakin menambah deret permasalahan dalam dunia pendidikan. Maka tidak cukup berganti kurikulum. Perlu ditinjau ulang terkait dengan SISTEM PENDIDIKAN. Sudah tepatkah asas sistemnya? Dan sudah sesuaikah dengan kebutuhan dalam pembangunan manusia Indonesia yang mencakup jiwa, rasa, dan karsa?

Posisi guru dalam keadaan terjepit menghadapi derasnya kenakalan siswa yang tiada ujungnya. Maksud hati ‘mencubit untuk mendidik’, apa daya ‘terbentur UU Perlindungan Anak’ atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Lantas, apa guru diminta hanya berujar berkali-kali, sementara anak didik tak mau mengerti? Ironis.

Jika ditelaah dalam tujuan pendidikan di Indonesia yakni menjadikan manusia seutuhnya yang bertaqwa dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya mampu diselaraskan dalam praktik di lapangan. Sayangnya, itu sekadar slogan tanpa ada tindakan nyata. Jika pun ada sebatas pembelajaran agama dan budi pekerti. Adapun pembelajaran lainnya sedikit yang dikaitkan dengan agama dan budi pekerti. Semua masih minus. Peserta didik pun dibuat sekadar ‘TAHU’ bukan menjadi ‘TAHU’ dan mau ‘MELAKSANAKAN’. Pada akhirnya pemahaman menumpuk di otak dan menjadi sampah.

Asas pendidikan Indonesia memang dibangun dari model pemisahan agama dari kehidupan. Agama diletakkan dalam ruang privasi. Ilmu pengetahuan dijauhkan dari pendidikan agama. Akibatnya anak didik tidak mengenal kebesaran Sang Pencipta dan aturan agamanya. Lembaga pendidikan yang menyiapkan guru pun tak tampak greget untuk menyiapkan pendidik yang berkepribadian mulia bersendikan agama. Lembaga pendidikan lebih bertumpu pada ijazah dan sertifikasi mengajar. Akhlak mulia, pemikiran yang lurus, dan budi pekerti yang luhur diabaikan begitu saja. Adagium Guru, ‘Digugu lan Ditiru’ (baca: didengarkan dan dicontoh) tampaknya berubah kepada “Diguyu lan Ditinggal Turu’ (Baca: ditertawakan dan ditinggal tidur). Ketika pangkal sekularisme dijadikan asas dalam pendidikan, maka akan melahirkan generasi yang jauh dari agama. Disisi lain serangan pemikiran dan budaya asing tampaknya sudah mengakar dan mendarah daging dalam jiwa siswa. Liberalisme, hedonisme, dan tanpa prinsip agama dijadikan pegangan siswa. Memprihatinkan!

Nasibmu Guru

Berkaca pada peristiwa Pak Sambudi, guru SMP Raden Rahmat Balongbendo, Kabupaten Sidoarjo, ada beberapa catatan penting perihal nasib guru:
1) Negara masih abai dalam memberikan perlindungan hukum bagi guru jika terkena delik aduan. UU yang telah disahkan bersama legislatif antara UU Sisdiknas dan UU Perlindungan Anak sering bertolak belakang. Pasal-pasal yang multitafsir dijadikan mainan aparat penegak hukum sebagai celah kriminalisasi dan upaya politisasi menarik imbalan uang.

2) Negara juga tidak mampu melindungi siswa dan pemuda dari serangan budaya asing yang merusak. Justru negara juga turut memfasilitasi kerusakan itu dengan beragam konser, peredaran narkoba dan miras, mudahnya mengakses hal yang berbau pornografi dan pornoaksi, serta liberalisasi dalam berbagai sektor kehidupan.

3) Negara belum mampu menjamin ketenangan dan keamanan bagi guru khususnya menyangkut hajat hidupnya. Berupa sandang, pangan, dan papan. Beberapa waktu lalu, ribuan guru honorer se Indonesia berunjuk rasa tiga hari di depan Istana Presiden, menuntut diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sampai-sampai keberangkatan guru honorer didukung oleh pemerintah setempat, PGRI, dan dewan legislatif.

4) Negara juga belum mampu menayatukan tiga komponen penting dalam pendidikan yaitu menyelaraskan peran sekolah, orang tua, dan masyarakat. Buktinya, peristiwa penghukuman kepada SS ternyata ditanggapi berbeda oleh orang tua. Yang pada akhirnya dilaporkan ke kepolisian dan diproses sampai ke pengadilan. Masyarakat pun semakin tidak mau peduli dan abai dalam mengigatkan dan mendidik generasi bangsa. Beban berat yang seharusnya dipikul tiga komponen, diberikan semuanya ke sekolah. Seolah sekolah itu seperti “mesin pencuci”. Tak heran terkait perilaku orang tua SS, guru pun geram dan menyatakan “ORANG TUA YANG ANAKNYA TIDAK MAU DITEGUR GURU DU SEKOLAH, SILAHKAN DIDIK SENDIRI, BIKIN KELAS SENDIRI, BUAT RAPOR DAN IJAZAH SENDIRI.

5) Bagi siswa dan peserta didik. Ingatlah dan perhatikan syair Imam Syafi’i berikut:
Bersabarlah terhadap kerasnya sikap seorang guru
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhi guru
Dan siapa yang tidak merasakan pahitnya saat belajar 
Akan merasakan pahitnya kebodohan sepanjang kehidupan
(Kitab al-Tarbiyyah al-Dzatiyyah)

Oleh karena itu saatnya guru mampu berdikari dan menyadari untuk bangkit, tidak sekadar mendidik generasi. Lebih dari itu, gunakan potensimu untuk membakar generasi merobohkan segala bentuk tirani penguasa negeri ini yang tidak peduli akan nasibmu. Di tengah arus liberalisasi pendidikan dan kehidupan yang membuat kesengsaraan. Bangkit dan lakukanlah suatu usaha untuk mendedikasikan diri menjadi pelayan setia ilahi rabbi. Segera rubahlah sistem negeri ini, menjadi sistem yang diridhoi ilahi. [VM]

Posting Komentar untuk "Pak Guru Sambudi, Kau Tak Sendiri!"

close