Untuk Kemerdekaan Palestina, Indonesia Jangan Hanya Beretorika


Oleh : Ainun Dawaun Nufus (MHTI Kab. Kediri)

Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Dubes Dian Triansyah Djani mengatakan Indonesia mendesak Israel mengakhiri pendudukan di Palestina. "Indonesia selalu konsisten menegaskan Israel harus segera mengakhiri pendudukannya agar dapat tercipta perdamaian di Palestina. Rakyat Palestina harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan hak asasi mereka, yaitu membentuk negara Palestina yang merdeka dan berdampingan dengan Israel, sesuai dengan two-state solution (solusi dua negara)", Dubes Djani dalam Debat Terbuka Dewan Keamanan (DK) PBB mengenai Palestina di Markas PBB New York, Selasa (12/7).  

Debat terbuka tersebut diadakan untuk mendiskusikan situasi di Timur Tengah, khususnya situasi di Palestina, termasuk Laporan Kelompok Kuartet mengenai Palestina yang dipublikasikan pada 1 Juli 2016. Kelompok Kuartet terdiri atas Amerika Serikat, Rusia, PBB, dan Uni Eropa. Kelompok tersebut dibentuk pada 2002 untuk mendorong proses perdamaian antara Palestina dan Israel.

Indonesia menekankan rasa saling percaya antara semua pihak harus terus dibangun. Indonesia mendukung berbagai upaya dalam mencari perdamaian termasuk pertemuan tingkat menteri di Paris pada 3 Juni, yang juga dihadiri Menlu Retno Marsudi. "Rakyat Palestina dan Israel juga harus didorong untuk mewujudkan hubungan baik. Ini karena perdamaian hanya akan tercipta jika didukung secara sepenuh hati oleh rakyat kedua pihak," kata Dubes Djani.

Krisis Palestina dimulai karena Israel yang didukung Barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat, merampas tanah kaum Muslim. Karena itu masalah Palestina bukanlah persoalan bagaimana Israel mempertahankan negaranya, atau bagaimana Israel menjamin keamanan nasionalnya, atau melindungi warganya, salah satunya dari serangan Hamas; sebagaimana yang terus diopinikan saat ini.

Kemunculan Palestine Liberation Organization (PLO) justru dibentuk atas rekayasa Amerika Serikat dalam Konferensi Liga Arab di Kairo tahun 1964. Tujuannya adalah untuk mengalihkan perjuangan pembebasan Palestina dari perjuangan Islam dan bangsa Arab menjadi persoalan bangsa Palestina saja. Penandatanganan Perjanjian Camp David pada 17 September 1978 alih-alih menghentikan perang dengan Israel, malah mengakui keberadaan negara Israel, yang artinya mengakui penjajahan Israel atas Palestina.

Akhirnya, seolah upaya untuk membebaskan Palestina ini kemudian berhenti setelah Kesepakatan Osloantara PLO dan pihak Zionis Israel terjadi. Ini terjadi setelah PLO mengurangi kewajibannya atas Palestina yang diduduki sejak tahun 1948, juga setelah perundingan dengan Yahudi dimulai pada tahun 1967 di seputar wilayah pendudukan, yang tidak sampai melebihi seperlima bagian wilayah Palestina. Setelah itu pihak ‘penguasa’ Palestina rela atas bagian dari seperlima itu. Padahal orang-orang Yahudi sendiri tidak merelakannya. Fenomena ini hanya menunjukkan makin bertambahnya penghinaan dan pelecehan atas bangsa Palestina dan kaum Muslim.

Para penguasa telah melakukan kejahatan, mereka mengalihkan masalah Palestina dari agenda Islam menjadi agenda Arab, kemudian  dikerdilkan menjadi agenda Palestina. Mereka pun memposisikan diri sebagai pengamat yang bersikap netral. Bahkan, tidak hanya itu, justru mereka berpihak kepada musuh.  Hingga mereka mempunyai kebiasaan dalam kondisi diserang, sebagaimana yang terjadi dalam tragedi pembantaian-pembantaian terhadap Gaza.

Dahulu saat Palestina diduduki oleh kaum salibis. Mereka membuat kerusakan dan merusak di masjid al-Aqsa. Darah para syuhada kaum Muslim menggenang di area masjid sampai di atas lutut. Mereka merubah masjid menjadi tempat menambatkan kuda-kuda mereka, sikap kaum muslim tidak menyibukkan diri melakukan aksi protes dan penolakan untuk membebaskan al-Aqsa. Mereka juga tidak menyibukkan diri membangun mimbar yang mereka buat di bawah pendudukan untuk memakmurkan al-Aqsa. Akan tetapi misi mereka siang dan malam adalah menyiapkan pasukan, memobilisasi tentara mukmin yang benar dengan kepemimpinan Shalahuddin, wali Mesir dan Syam di bawah khilafah yang memerintah menurut apa yang diturunkan oleh Allah dan berjihad di jalan Allah.

Kini, para penguasa negeri-negeri Muslim sekitar Palestina hanya melihat Gaza diluluhlantakkan, dan luas Palestina dipersempit, darah-darah muslim ditumpahkan. Mereka tidak menggerakkan tentaranya untuk membantu Palestina. Ironisnya, mereka justru bergegas dan berlomba-lomba untuk mengeluarkan sebuah kesepakatan yang menghalangi Gaza dan Palestina dari akses senjata dan faktor-faktor yang bisa menopang kekuatannya. Semoga mereka dilaknat oleh Allah.

Jika Indonesia hanya mengambil sikap hanya seruan saja, tentu pasti seruan tumpul, mengingat Sejak dulu Israel menghabiskan waktunya untuk membantai umat Islam tanpa mempedulikan resolusi maupun kecaman apapun. Maka, Palestina menjadi keharusan bagi tentara umat Islam dalam Khilafah Rasyidah yang berjalan di atas metode kenabian untuk menerkam kehadiran Yahudi dan menghukum setiap orang yang mengkhianati dan bersekongkol melawan Palestina dan hukuman dari Allah di akhirat adalah lebih hebat dan mengerikan. [VM]

Posting Komentar untuk "Untuk Kemerdekaan Palestina, Indonesia Jangan Hanya Beretorika"