Gebrakan Mendikbud dalam Nalar Kritis


Oleh : Fauzi Ihsan Jabir 
(Div. KPL BKLDK Kota Bandung)

Sejak imperialisme Barat yang memuncak pada abad ke-19 dan berlangsung hingga pertengahan abad ke-20, harus diakui umat Islam masih tetap berada di bawah hegemoni Barat. Melalui apa yang dinamakan proses “pembangunan” (developmentalism) pasca kolonialisme hingga tahun 80-an, lalu dilanjutkan dengan “globalisasi” melalui neoliberalisme dari tahun 80-an hingga sekarang, Barat terus berusaha menancapkan pengaruhnya atas Dunia Islam. (Nanang Pamuji Mugasejati & Ucu Martanto, 2006 : 8); Revrisond Baswir, 2010 : 166-167).

Karena sebab itulah, kendatipun sudah merdeka secara formal dari kolonialisme Barat, negara-negara berkembang di Dunia Islam belum mampu membangun “sistem pendidikan Islam” yang mandiri dan murni, yaitu yang mengacu pada peradabannya sendiri (Peradaban Islam). Menurut S. Waqar Ahmad Husaini dalam bukunya Islamic Sciences, pendidikan di Dunia Islam masih mengacu pada peradaban-peradaban lain di luar Islam (yaitu kapitalis atau sosialis). Kata S. Waqar Ahmad Husaini,”The new states of the Third World Countries, whether they have followed the Marxist-Leninist or Western-secular model…” (negara-negara baru di kalangan dunia ketiga, ada yang telah mengikuti model pendidikan Marxis-Leninis atau ada yang mengikuti model Barat-sekular…). (S. Waqar Ahmad Husaini, 2002 : 67).

Mencermati kebijakan Full Day School dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengakui gagasannya mengenai penambahan jam belajar anak di sekolah atau full day school (FDS), ia dapat dari sekolah-sekolah terutama sekolah swasta yang telah lebih dulu terapkan konsep tersebut. Muhadjir berpendapat penerapan FDS di sekolah swasta dapat menjadi rujukan atau acuan implementasi FDS di sekolah-sekolah negeri dan umum lainnya, dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial dan geografis setiap daerah. Dari pertimbangan itu nantinya dapat dilihat daerah mana saja yang memungkinkan sistem pembelajaran tersebut diterapkan. ”Kami punya badan penelitian dan pengembangan (litbang) yang nanti akan mengkaji lebih lanjut agar penerapan konsep FDS bisa optimal. Ada juga rujukan best practice dari sekolah swasta yang sudah lebih dulu menerapkan sistem pembelajaran ini," ujar Muhadjir kepada CNNIndonesia.com pada Senin (8/8) malam.

Usulan konsep FDS ini, kata Muhadjir, sesuasi dengan arahan Presiden Jokowi untuk memperkuat pendidikan berkarakter dalam sistem pembelajaran anak didik di sekolah. Dengan adanya tambahan jam pelajaran, sistem pembelajaran sekolah tidak hanya terfokus pada pendidikan pengetahuan, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan karakter anak. Muhadjir menyatakan, bobot pendidikan karakter untuk tingkat sekolah dasar (SD) sekitar 80 persen dan tingkat menengah pertama (SMP) sekitar 60 persen. "Karena itu menurut kami yang paling tepat adalah perpanjang waktu anak di sekolah," katanya.

Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah mengatakan, gagasan kebijakan sekolah sepanjang hari (full day school) yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, perlu kajian mendalam terlebih dulu. "Terkait aktivitas yang dilakukan full day school, dan apa yang disiapkan kalau sekolah sampai jam 5 sore," kata Ferdiansyah saat dihubungi, Senin (8/8). Komisi X DPR mengurusi persoalan pendidikan, olahraga, pariwisata dan sejarah.  Ferdiansyah berkata, Muhadjir juga perlu menghitung konsekuensi logis atas gagasan kebijakan ini, seperti mempertimbangkan anak yang harus membantu perekonomian keluarga seusai sekolah. Untuk itu, Ferdiansyah meminta agar Muhadjir juga menjalin komunikasi intensif dengan orang tua mengenai gagasan kebijakan ini. Selain itu, efek psikologis anak disebutnya turut diperhatikan.

Lihat Faktanya

Jika kita cermati Polemik demi polemik telah terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Mulai dari pendidikan yang arah tujuannya semakin tidak jelas mau dibawa kemana, hingga kurikulum yang terus berubah sepanjang perjalanan nestapa kaum pengususng intelektuil Indonesia. Atau kita melihat dari sudut pandang pengajar (guru) yang kita hormati, dengan adab-adab belajarsenantiasa membasuh keringat dengan bajunya demi menggarap pekerjaan administratif hingga mungkin meninggalkan job-job wajib rumah tangga. Saat ditanya “inilah bentuk pengabdianku pada negara.”, begitu heroik. Namun siapa sangka niat lembut nan tulus ini harus ditambah beban kembali jika proyek ini akan diusung. Memang benar guru kita hanyalah orang biasa yang juga bisa sakit-sakitan layaknya kita, tak dapat dipungkiri guru memang kerja nyata nampak hanya sampai siang atau sore hari. Siapa sangka tugas-tugas menggunung sudah menanti dirumah untuk mengecek pekerjaan anak-anak didiknya yang kadang masih susah mengelap ingusnya sendiri.

Tujuan pendidikan nasional adalah “Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Semua tujuan dan visi yang mulia itu serasa menggantang asap selama sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang menjauhkan campurtangan agama dalam kehidupan. Agama hanya dijadikan sebatas pengetahuan dan aturan ritual belaka. Dimana seluruh aturan hidup dibuat berlandaskan keterbatasan akal manusia semata, sehingga mustahil mampu mewujudkan insan bertakwa.

Hal seperti ini pula dirasakan oleh guru yang gajinya sedikit atau honorer harus berjuang lebih demi jadi guru idaman yang sudah tercatat di badan kepegawaian negeri. Dalam kolusi sekarang ini, tawar menawar jabatan guru dilakukan secara terang-terangan antara calon guru (PNS) dengan aparat pemerintah daerah. Entah ada koordinasi antar daerah atau tidak, yang pasti, ada semacam keseragaman tarif untuk dapat diterima menjadi seorang guru negeri. Untuk menjadi guru SD misalnya, tarifnya antara Rp. 10.000.000-Rp. 20.000.000. sedangkan untuk guru SLTP, karena dasar pendidikannya sama-sama S1, tarifnya antara Rp. 20.000.000.-Rp.40.000.000. Konon, kabar yang beredar dari mulut ke mulut, bila guru lolos seleksi menjadi kepala sekolah Negeri, tarifnya bisa menyentuh 100-300 juta ke pihak-pihak tertentu. Proses rekrutmen guru yang kolusif dan nepotisme juga menciptakan kultur bahwa guru dalam menjalankan tugas-tugasnya selalu dilatarbelakangi motif-motif ekonomis. Dengan harapan agar cepat dapat mengembalikan ‘modal’ yang dipakai sebagai uang ‘pelicin’. Tidak sedikit guru yang sekaligus menjalankan peran sebagai pedagang dihadapan murid dan atau orang tua murid, sekadar utuk mengejar tambahan pedapatan. 

Ada pula siswa pelajar yang masih rewel dengan kenakalan remaja disekolah saat ini. Senantiasa ogah-ogahan jika disuruh sekolah hingga akhirnya putus sekolah dan ngamen di pinggir jalan. Penambahan porsi belajar akan menyesakkan jika tujuannya berupa materi dan pelajar kembali dipuaskan oleh nafsu mencari materi. Tak bisa dipungkiri memang ada sekolah-sekolah yang kredibel di indonesia, tapi ya banyak yang ga kredibel untuk dilaksanakan program ini. Maka akan sangat dipaksakan menggunakan kacamata kuda jika tanpa adanya pemerintah turun langsung dan makan nasi rames bareng masyarakat. Hingga mereka tahu sengsara maupun nelongsonya akibat buah kebijakan sekuler-matrealistik. Siswa juga butuh waktu untuk berinteraksi dengan keluarga ataupun belajar melalui lingkungan masyarakat yang notabene tempat iya kembali untuk membangun masyarakat.

Jika melihat sarana faktanya masih banyak sekolah-sekolah yang SubhanAllah belum layak dikatakan tempat belajar. Ada pula yang jika berkumpulnya pengajar dan pelajar di sekolahnya akan membahayakan diri mereka. Pendidikan akan rancu jika permasalahan seperti sarana saja masih kepayahan. Maka setiap ujung kuku kaki pendidikan sarana-prasarana memadai, jika tidak hanya akan rancu pendanaan dapat dimanfaatkan oleh tikus-tikus Imperialis nakal. Tapi ada yang lebih penting dari itu semua, yaitu peran pendidikan sekuler-kapitalis bercokol dan menjamur di Indonesia yang harus segera dibuang dan tidak dapat diambil lagi. Jelaslah tidak ada keefktifan sama sekali di dunia pendidikan, hanya menciptakan buruh murah yang kerja rodi di negara hijau royo-royo. Program FDS dapat menjadi ajang pula dalam menguatkan pelajar dalam jerat pendidikan sekuler-kapitailistik jika sistemnya tetap sama. Dan orang tua akan terkena imbas pendanaan, seperti halnya kasus-kasus FDS yang sudah ada sebelumnya. Nah beban lagi to...

Ada selentingan nakal yang coba diutarakan di sudut sempit gang perkotaan, apakah dengan pendidikan yang di elu-elukan rezim seperti halnya “pendidikan berkarakter dan revolusi mental” sudah pas? Bagaimana dengan pemerintah? Apakah saat ini pemerintah lebih berkarakter dan rovolusi mentalnya sudah oke, dibandingkan masyarakat Indonesia? Hanya karena saat ini ia telah menggalakkan jargon “pendidikan berkarakter dan revolusi Mental”?

Solusi Itu adalah …

Pemerintah harus melihat fakta lebih mendalam terkait hal ini, mana permasalahan yang bersifat urgenitas atau permasalah yang membutuhkan penanganan lugas dan cepat mengambil ulu hati sistemik yang harus segera digantikan.Pendidikan adalah cikal bakal dan sudah diputar balik maupun diaduk-aduk oleh kepentingan perut borjuis. Hanya kesengsaraan dan dilema yang didapat oleh masyarakat Indonesia saat ini, jauh dari kata merdeka dan kemerdekaan hakiki. Program-program berbau pragmatis dan Kesemuan hanya akan terus berlanjut dalam sistem neolib dengan segala agenda kepentingan pihak nakal. Perlombaan menjadi kacung dan babu di negara sendiri melalui pendidikan menimbulkan masyarakat semakin gerah dan geram untuk bangkit mengambil sistem dari Allah SWT.

Pendidikan Islam merupakan instrumen strategis sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam. Untuk itu, pendidikan Islam mengharuskan adanya institusi negara yang relevan, yaitu negara Khilafah. Hanya dalam Khilafah saja, pendidikan Islam akan berada dalam jalur misinya yang benar, yaitu sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam.

Di dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan pokok seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh Negara (Daulah Khilafah). Oleh karena itu, Negara menjamin setiap rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan dari segala kalangan mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa memungut biaya.

Islam menjadikan aqidah Islam sebagai dasar kurikulum pendidikan. Dengan keyakinan penuh bahwa untuk mewujudkan generasi berjiwa pemimpin memerlukan kurikulum berkualitas yang disusun berdasarkan dan berorientasikan ideology Islam bukan pasar. Materi dan metode pendidikan didesain sedemikian rupa sehingga peserta didik memahami dan meyakini bahwa eksistensi Allah swt dengan segala sifat-sifat uluhiyahnya adalah realitas, kesadaran ini dimanivestasikan dengan memandang keridhoan Allah swt sebagai kebahagiaan tertinggi, dan keterikatan kepada syariat Allah swt adalah hal yang mutlak.  Disamping itu peserta didik memandang Islam sebagai sistem kehidupan satu-satunya yang layak bagi manusia.  Di atas prinsip-prinsip ini nilai-nilai, akhlak mulia benar-benar menghiasi segenap aktivitas pelajar.

Pelaksanaan pendidikan formal di masa kejayaan Islam, berdasarkan sirah Rasul hingga masa tarikh Daulah Khilafah, dapat dideskripsikan sebagai berikut:
  • Kurikulum pendidikan didasarkan pada Aqidah Islam.
  • Mata pelajaran dan metodologi pendidikan untuk menyampaikan pelajaran seluruhnya disusun sejalan dengan asas Aqidah Islam.
  • Tujuan penyelenggaraan pendidikannya merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan Islam yang disesuaikan dengan tingkatan pendidikannya.
  • Sejalan dengan tujuan pendidikannya, waktu belajar untuk ilmu-ilmu Islam (tsaqofah Islamiyyah) diberikan setiap minggu dengan proporsi yang disesuaikan dengan waktu pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan).
  • Pelajaran ilmu-ilmu kehidupan/terapan dan sejenisnya (iptek dan keterampilan) dibedakan dari pelajaran guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah dan tsaqofah Islamiyyah. Khusus untuk materi guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah mulai diberikan di tingkat dasar sebagai materi pengenalan dan kemudian meningkat pada materi pembentukan dan peningkatan setelah usia anak didik menginjak baligh (dewasa). Sementara materi tsaqofah Islamiyyah dan pelajaran ilmu-ilmu terapan dan sejenisnya diajarkan secara bertingkat dari mulai tingkat dasar.
  • Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar diseluruh jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta.
  • Meteri pelajaran yang bermuatan pemikiran, ide dan hukum yang bertentangan dengan islam, sepertiideologi sosialis/komunis atau liberal/kapitalis, aqidah ahli kitab dan lainnya, termasuk sejarah asing, bahasa maupun sastra asing dan lainya, hanya diberikan pada tingkat pendidikan tinggi yang tujuannya hanya untuk pengetahuan, bukan untuk diyakini dan diamalkan.
  • Libur sekolah hanya diberikan pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha (termasuk hari tasyri’). Masa pendidikan berlangsung sepanjang tahun dan tujuh hari dalam seminggunya. Hal ini menjadikan umat Islam biasa beretos kerja tinggi.
  • Pendidikan sekolah tidak membatasi usia. Yang ada hanyalah batas usia wajib belajar bagi anak-anak, yakni mulai umur tujuh tahun.

Sistem pendidikan Islam telah terbukti mampu mewujudkan generasi berjiwa pemimpin, menjadi pelopor di segala bidang kehidupan. Mulai dari pemerintahan, sains dan teknologi, militer hingga ekonomi. Dunia telah mengakui kehebatan mereka, sebut saja para khulafaur Rasyidin, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Muhammad Al-Fatih, Shalahudin Al-Ayyubi, Umar bin Abdul Aziz, para imam mazhab, dll.

Pendidikan Islam dalam institusi negara demokrasi-sekular saat ini, adalah fenomena problematis. Karena dalam sistem sekular ini, pendidikan Islam tidak akan mampu sepenuhnya menjadi pembentuk dan pelestari peradaban Islam, namun sebaliknya akan menjadi pembentuk dan pelestari peradaban Barat. Dengan ungkapan yang lebih tegas, pendidikan Islam dalam sistem demokrasi sekular saat ini, hanyalah instrumen imperialisme. Yaitu sekadar alat kapitalisme global untuk mewujudkan kepentingan pasar bagi kelestarian hegemoni Barat atas Dunia Islam. [VM]

Posting Komentar untuk "Gebrakan Mendikbud dalam Nalar Kritis"