Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Dialog Antar Agama


Istilah “dialog antar agama”, dalam bahasa Arab disebut, al-hiwâr bayna al-adyân, sebenarnya istilah yang lahir dari rahim ideologi Kapitalisme. Kapitalisme, sebagai ideologi yang dibangun berdasarkan akidah Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan jelas tidak memberikan ruang pada agama untuk mengatur urusan kehidupan. Ideologi Kapitalisme, dengan akidah Sekularisme, juga mempunyai metode baku, yaitu penjajahan (imperialisme). Untuk melakukan penjajahan ini mereka menggunakan strategi, devide et impera (farriq tasud), atau politik belah bambu.

Akibatnya, konflik antar pemeluk agama; Muslim dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan seterusnya mewarnai kehidupan umat manusia di dunia. Bahkan konflik antar sesama pemeluk agama—Muslim dengan sesama Muslim, hanya karena beda aliran, mazhab dan organisasi—juga tak jarang terjadi. Semuanya itu bagian dari strategi politik penjajahan agar imperialisme di sebuah negeri tetap bisa dipertahankan. Setelah berbagai konflik tersebut terjadi, muncullah seruan untuk mencari titik temu antar agama, agar konflik horisontal akibat perbedaan agama, dan paham keagamaan tersebut bisa didamaikan.

Karena itu “dialog antar agama” dalam kontek mencari titik temu antar agama adalah seruan yang lahir bukan dari akidah Islam. Bahkan itu merupakan bentuk tambal sulam dari kebobrokan sistem Kapitalisme. Semua ini adalah akibat kejahatan sistemik yang diterapkan untuk mempertahankan penjajahan di negeri kaum Muslim. Selain itu “dialog antar agama” ini juga lahir dari paham Pluralisme yang menganggap semua agama sama. Inilah latar belakang dan dasar yang melahirkan “dialog antar agama”.

Karena dasarnya bukan akidah Islam, “dialog antar agama” seperti ini tidak saja menyalahi hukum Islam, tetapi juga bertentangan dengan akidah dan hukum Islam.

Pertama: Allah SWT menyatakan bahwa selain Islam adalah kufur:

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ..

Kaum kafir, baik dari kalangan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) maupun musyrik, tidak akan meninggalkan agamanya, sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata [QS al-Bayyinah [98]: 1).

Dalam ayat di atas dengan tegas Allah SWT menyebut Ahli Kitab, yaitu pemeluk Yahudi dan Nasrani, dan musyrik sebagai orang kafir. Selain Islam adalah kufur dan bertentangan dengan akidah Islam, yang diyakini oleh kaum Muslim. Seorang Muslim yang meyakini akidah Islam jelas tidak mungkin bisa mengakui, bahwa selain Islam (kufur) itu sama dengan Islam, atau setidaknya mempunyai persamaan dengan Islam. Akidah seperti ini meniscayakan penolakan untuk menyamakan Islam dengan agama lain, termasuk mencari persamaan satu dengan yang lain.

Kedua: Allah SWT juga menyatakan, bahwa selain Islam tidak akan Dia terima:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ..

Siapa saja yang memeluk selain Islam sebagai agama, maka sekali-kali tidak akan pernah diterima, dan di Akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Ali ‘Imran [3]: 85).

Dalam ayat di atas dengan tegas Allah SWT menyebut selain Islam—baik Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan sebagainya—tidak akan diterima oleh Allah. Mereka yang memeluknya di dunia, di Akhirat pasti merugi, karena amal perbuatan mereka tak satupun yang diterima oleh Allah SWT. Padahal mereka sudah bersusah-payah. Jika agama yang lain ditolak oleh Allah, bagaimana mungkin agama seperti ini disamakan dengan Islam, yang merupakan satu-satunya agama yang diterima oleh Allah? Lalu bagaimana mungkin bisa dicari titik temu di antara keduanya, yang tidak mungkin dipertemukan?

Dalam konteks hukum juga jelas, Allah SWT menolak sinkretisme. Islam dengan yang lain dicampuradukkan. Allah SWT berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكاَفِرُوْنَ لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ، وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ، وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ، وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ، لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنٌ.

Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian juga tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” (QS al-Kafirun [109]: 1-6).

Ayat ini dengan tegas melarang umat Islam untuk melakukan sinkretisme dengan kaum kafir dalam peribadatan.

Ketiga: Allah SWT juga menegaskan, bahwa ketika seorang Muslim menyatakan beriman kepada Allah, pada saat yang sama, dia wajib mengingkari yang lain [thaghut].

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدْ اِسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُسْطَى.

Siapa saja yang mengingkari taghut dan mengimani Allah sesungguhnya dia berpegang teguh pada tali yang amat kuat (QS al-Baqarah [2]: 256).

Itu artinya, keyakinan seorang Muslim pada akidah Islam meniscayakan harus menolak yang lain.
Memang, ada argumen yang sering digunakan, seperti: Pertama, firman Allah SWT:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ.

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab, mari kita (berpegang) pada satu kalimat yang sama, yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian. Hendaknya kita tidak menyembah kecuali kepada Allah. Kita tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Kita juga tidak menjadikan sesama kita sebagai tuhan selain Allah.” (QS Ali ‘Imran [3]: 64).

Konotasi “kalimat[in] sawa’” [satu kalimat yang sama] di dalam ayat ini dijelaskan oleh kalimat berikutnya, “Alla na’buda i-Llaha, wa la nusyrika bihi syai’a, wa la yattikha ba’dhuna ba’dh[an] arbab[an] min duni-Llah (Hendaknya kita tidak menyembah kecuali kepada Allah. Kita tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Kita juga tidak menjadikan sesama kita sebagai tuhan selain Allah). Inilah inti “millah” yang diturunkan oleh kepada para nabi dan rasul. Ayat ini bukan ajakan “dialog antar agama” untuk mencari titik temu, atau persamaan di antara berbagai agama yang berbeda.

Kedua, sabda Nabi saw. yang menyatakan tentang turunnya Nabi ‘Isa as. di Akhir zaman:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمْ اِبْنُ مَرْيَمَ حَكَماً مُقْسِطاً فَيُكَسِّرَ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ.

Demi Zat Yang jiwaku dalam genggaman-Nya, nyaris akan turun di tengah-tengah kalian Putra Maryam sebagai pemutus yang adil. Beliau akan menghancurkan salib, membunuh babi dan membatalkan jizyah (HR al-Bukhari).

Nabi Isa as. turun bukan untuk menerapkan ajaran Kristen, tetapi untuk menerapkan Islam. Dalam menjelaskan hadis di atas, Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan, “Maksud dari ungkapan, “Menghancurkan salib dan membunuh babi”, adalah membatalkan agama Kristen, dengan menghancurkan salib secara nyata, dan membatalkan apa yang diakui orang-orang Kristen karena dianggap agung.”

Karena itu tidak ada argumen yang bisa digunakan sebagai justifikasi untuk membenarkan “dialog antar agama”.

Hanya saja perlu dicatat, dialog sebagai perbuatan secara umum boleh. Apalagi jika dialog itu digunakan sebagai sarana untuk berdakwah kepada orang non-Muslim agar mereka memahami Islam, kemudian melalui dialog tersebut mereka akhirnya tertarik dan memeluk Islam. Dialog seperti ini hukumnya boleh dan tidak termasuk dalam konteks “dialog antar agama” sebagaimana yang dilarang di atas.

Inilah yang dimaksud oleh firman Allah:

وَلاَ تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ.

Janganlah kalian mendebat Ahli Kitab, kecuali dengan argumen yang lebih baik (sempurna) (QS al-Ankabut [29]: 46).

Dalam nas yang lain, Allah SWT menyatakan:
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ.

Debatlah mereka dengan argumen yang lebih baik (sempurna) (QS an-Nahl [16]: 125].
WalLâhu a’lam bi as-shawab. [KH. Hafidz Abdurrahmann] [VM]

Posting Komentar untuk "Hukum Dialog Antar Agama"

close