Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kamera, Roll, Action!


Oleh : Endah Sulistiowati 
(Pemerhati Media)

Mengenai media kalau tidak salah, hari ini media sudah menjelma sebagai aktor politik, atau menjadi sebuah lembaga politik. Ketika media menjadi sebuah lembaga politik media membawa satu ideologi politik atau satu kepentingan politik.  Dalam konteks media sebagai lembaga politik, kalau merujuk pada sebuah buku, maka seorang jurnalis berusaha agar masyarakat tidak menyadari bahwa media atau jurnalis adalah aktor politik.

Media menjadi sebagai lembaga politik selalu mengembangkan realitas kedua sesuai dengan kepentingan politiknya. Media sebagai lembaga politik atau organ politik melahirkan citra, kalau dalam post medernisasi disebut bahwa hari ini kita pada fase simulakra.

Simulakra ini terjadi antara realitas dan citra melebur. Mana yang realita, mana yang citra itu menjadi samar. Kata, Akbar Ahmad menyebutkan media sebagai iblis untuk zaman post modernisasi ini, karena mereka bisa mengemas fiksi lebih menarik menjadi realitas.

Tidak dipungkiri bahwa dengan media massa baik itu cetak ataupun elektroniklah kita bisa mengenal dunia, siapa yang akan kenal dengan Donald Trump, Hillary Clinton, Paris Hilton,  jika tidak ada media yang memberitakan. Demikian juga Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudoyono bukan apa-apa kalau tidak ada media yang memblow up-nya. Apalagi Ayu Ting Ting dan teman-temannya, jika tidak ada media siapa yang akan mengakui keartisannya. Hampir semua kalangan mengetahui, fungsi media massa adalah sebagai sumber informasi, hiburan, pendidikan dan juga sebagai kontrol sosial. Dan tidak berlebihan jika fungsi dari media menjadi landasan dasar pemikiran bagi setiap pelaku dan pengelola media massa, cetak maupun elektronik. 

Para politikus nasional pun sangat paham akan pentingnya penguasaan media, bahkan beberapa diantaranya terjun langsung di dalamnya, Sebut saja Aburizal Bakri dengan Bakri Groupnya yang menguasai stasiun ANTV dan Tvone, kemudian Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia, Hary Tanoe dengan MNC Groupnya. Bahkan ke arah mana peta perpolitikan mereka bisa dibaca dari informasi ataupun program yang ditampilkan di media yang mereka kuasai. 

Dengan modal yang besar, media yang telah go public, mengalahkan berbagai media lain yang minim modal. Mereka berkembang menjadi media mainstream dengan oplah yang sangat besar, dan dibaca banyak orang. Hingga dalam pergulatan opini publik, jangkauan dan pengaruhnya dapat terasa lebih besar. Sementara itu, media lain cenderung kecil daya jangkaunya. Kebanyakan bahkan hanya diakses oleh kalangan terbatas dengan oplah yang juga kalah jauh dibanding media mainstream.

Ideologi Oplagh dan Rating

Salah satu kode etik jurnalistik adalah netralitas. Bahwasannya dalam pasal satu disebutkan bahwa setiap wartawan harus bersikap independen. Artinya, yang dimaksud independen adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi pihak lain termasuk dalam hal ini adalah pemilik perusahaan pers. 

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa tinstitusi pers juga perlu hidup untuk menghidupi semua staff dan kru yang berjuang disana. Dan tidak diharamkan pula jika mereka memburu iklan untuk meningkatkan kesejahteraan. Sebab, diakui atau tidak, sudah menjadi rahasia umum jika hidup dan matinya media massa akan sangat tergantung oleh suntikan iklan, bahkan terkadang tidak hanya iklan bahkan ada program-program tertentu yang dibeli pemilik modal dengan tujuan tertentu pula. Ini adalah sebuah kenyataan yang bisa membuat kita miris, ketika media massa kemudian meninggalkan “ideologi”  pers-nya bahkan mengikis kode etik-nya.

Ditengah realitas demokrasi seperti sekarang, kapitalisasi media massa menjadi sesuatu yang tidak asing lagi. Dan konsekuensinya, “ideologi” media massa sudah mengalami pergeseran, dari” ideologi moral” menjadi ideologi oplagh dan rating. Kita ambil contoh program acara Dangdut Academy yang diselenggarakan oleh stasiun TV Indosiar, ratingnya sangat tinggi sehingga dipasang di jam premium, dengan iklan yang sangat banyak, bahkan jam tayangnya sampai tengah malam dan episodenya terus diperpanjang sehingga hampir tidak ada porsi untuk program lain, sehingga pemirsa dipaksa untuk melihat acara tersebut. Demikian juga yang terjadi di stasiun TV yang lain. Ada pula stasiun TV yang mendidikasikan diri sebagai TV yang selalu menyuguhkan kabar terkini, namun sangat nampak sekali bahwa mereka ingin menggiring pemirsa ke arah tertentu, kita ambil contoh waktu terjadi bom tamrin diawal tahun 2016, sampai akhirnya tampil sosok hero dari kepolisian yang bisa menangkap si teroris yang sangat dielu-elukan. 

Bahkan kalau kita mau mundur agak jauh, disaat terjadinya bom WTC dan 2001, hampir semua media baik cetak maupun elektronik sepakat bahwa pelakunya adalah anak buah Usamah Bin Laden yang tinggal di Afganistan, kemudian bom Bali semua jari menunjuk arah yang sama bahwa Amrozi dkk pelakunya. Kasus Century yang menyeret nama Sri Mulyani dan Budiono belum juga hilang dari ingatan setidaknya rakyat Indonesia belum amnesia, namun media massa-lah yang mendadak amnesia ketika Sri Mulyani melenggang kembali menduduki jabatan yang dulu ditinggalkannya, tidak satu pun media yang menyinggung hal ini. 

Inilah jika media massa yang dikejar adalah rupiah, sehingga menjadikan insan pers masuk dalam kubangan media massa yang sarat kepentingan. Baik yang dilakukan seorang tokoh atau pemilik modal. Realitas ini sekarang sudah sedemikian kronis, masyarakat sekarang tidak bodoh hampir semua sudah melek informasi, sehingga bisa saja mereka menilai bahwa dunia pers bisa dibeli, bahkan sekedar settingan belaka.  

Fakta Jejaring Media

Pada tahun 2001 seperti diberitakan Wall Street Journal bahwa AS telah menyiapkan kebijakan Live Spy Satellite, sebuah satelit navigasi yang sering disebut satelit Big Brother, Mondex selaku perusahaan pengembang RFID di AS bekerjasama dengan perusahaan OrbComm untuk memfasilitasi SmartCard yang dapat diintegrasikan dengan sistem navigasi satelit, yang kelak Live Spy Satellite digunakan sebagai alat pengawas dan kontrol penerima sinyal dari RFID Chip, sehingga setiap RFID yang dipasang ke benda atau ditanam kemanusia akan dengan mudah dilacak dan temukan, dimana satelit ini memiliki akses terbatas bagi publik, berbeda dengan berbagai satelit AS yang dioperasikan oleh NASA maupun U.S. Geological Survey. Tujuan penggunaan teknologi RFID Chip dengan integrasi satelit navigasi oleh pemerintah AS administrasi Bush disebut sebagai perluasan terhadap batas keamanan nasional dalam menanggapi isu terorisme dan sebagai instrumen pendukung dalam penanggulangan bencana, namun konsekuensi dari semua hal ini adalah hilangnya privasi dan kebebasan dari warga sipil, di AS sendiri penentangan oleh masyarakat terjadi mengenai implementasi dilaksanakannya program ini, sehingga karena derasnya penolakan kebijakan ini di era Obama ditangguhkan.

Seperti diberitakan Kompas.com (18/06/11) kemudian muncul RFID Chip versi baru dengan pemantapan pada sumber energinya, hal ini terkait dengan rencana pengunaan RFID terhadap manusia, dimana RFID terbaru dalam pengoperasiannya tidak tergantung lagi terhadap energi baterai lithium, namun memanfaatkan pembuluh darah dengan mengintegrasikan impuls saraf ke chip ini, sehingga ketika manusia yang telah ditanami chip ini mati, maka otomatis chip tersebut akan tershut down secara otomatis, dan begitu juga ketika orang yang telah di pasang dengan RFID Chip melakukan suatu tindakan yang dianggap mengancam stabilitas keamanan, maka RFID Chip akan shut down dan otomatis kehidupan sosial orang tersebut turut mati.

Hampir separuh stasiun televisi di lebih dari 70 negara yang menayangkan Big Brother adalah stasiun televisi yang berada di bawah jaringan atau terafiliasi dengan grup media pemodal Yahudi, yang mana dalam menjalankan bisnis medianya kaum Yahudi berorientasi penuh pada proyeksi pemenuhan agenda kelompok mereka untuk menata kehidupan sosial budaya dari peradaban dengan sedemikian rupa, termasuk dengan melakukan cara busuk sekalipun. Diantara jejaring media jaringan Yahudi yang paling terbesar di dunia adalah milik Rupert Murdoch, dibawah naungan News Corporation yang belakangan terbelit kasus pelanggaran akut atas kode etik jurnalisme di Inggris terkait penyadapan dalam memperoleh sumber berita, Rupert Murdoch merupakan seorang pengusaha taipan media global berdarah Yahudi yang juga menjadi anggota Roundtable Commission (RC), RC merupakan sebuah institusi loby kelompok bisnis Yahudi dalam berbagai bidang baik Perbankan, Media, Farmasi, Telekomunikasi, Manufaktur, dll yang merupakan turunan dari kegiatan pertemuan tahunan The Bilderberg Group, Club of Rome, Trilateral Commission. News Corp sendiri memegang hampir 50% pangsa pasar media mainstream dunia, dimana News Corp terdiri dari Studio Film, Surat Kabar, Majalah, Tabloid, Radio, TV Kabel, Stasiun Televisi dan Jaringan Media Internet.

Di Indonesia sendiri News Corp menguasai 5 stasiun televisi, yaitu Antv dan Tvone yang berafiliasi dengan Star Asia grup milik News Corp, dan RCTI, Globaltv, MNCtv yang ketiganya berada di bawah MNC Group yang terafiasi ke Fremantle Media yang juga masih berada di bawah kendali Murdoch. Tayangan Big Brother sendiri lisensinya dimiliki oleh perusahaan broadcast Endemol yang juga dimiliki pebisnis Yahudi, walaupun kemudian grup stasiun televisi di Indonesia yang menayangkan acara ini yaitu Trans Group bukan merupakan anggota afiliasi group News Corp ataupun Endemol serta tidak terlihat adanya indikasi Trans Group berada di bawah jaringan Yahudi (kecuali indikasi mengenai logo Transtv yang identik dengan lambang makar Freemason), satu-satunya hal keterkaitan yang dibisa ditarik adalah mengenai sponsor dari tayangan ini di Indonesia, yaitu Telkomsel, dimana seperti diutarakan sebelumnya bahwa tayangan Big Brother jelas beda dengan acara sejenis dengan orientasi pada tarif premium vote, sehingga dalam hal ini pembiayaan utama dari tayangan ini jelas berasal dari iklan dan sponsor utama yaitu Telkomsel, Telkomsel sendiri memiliki rekam jejak keterkaitan dengan jaringan bisnis Yahudi, yaitu dengan melihat kepemilikan saham sebesar 35% oleh Temasek Holdings melalui SingTel, dengan catatan bahwa seperti sudah menjadi rahasia umum mengenai hubungan mesra antara Israel dengan Singapura, termasuk dalam kerjasama ekonomi, yang salah satunya adalah adanya hubungan kuat antara Temasek Holdings sebagai BUMN Singapura dengan badan-badan usaha milik jaringan Yahudi, hal ini jugalah yang menjadi jawaban mengenai bagaimana keputusan kontroversi atas menangnya perusahaan teknologi Amdocs dalam tender system billing Telkomsel, yang mana Amdocs adalah perusahaan Israel yang berbasis di Guersney Island.

Kita masih sulit melawan begitu gencarnya opini yang diciptakan secara linear dan tidak ada satu pembanding dan nyaris tidak ada pembanding, kalau kita mencari sesuatu melemparkan satu counter opini saja, habis-habisan dibabat. Kira-kira dalam konteks inilah khususnya saya pribadi menghadapi satu leburan isu yang terus menerus secara berkesinambungan dihaturkan kepada publik. [VM]

Posting Komentar untuk "Kamera, Roll, Action!"

close