Mengembalikan Kemuliaan Perempuan


Oleh: Hasni Tagili
(Dosen Universitas Lakidende)

Perempuan yang bekerja di luar rumah kini menjadi pemandangan umum yang dianggap biasa. Malah akan dipertanyakan secara ganjil jika ada perempuan yang memiliki pendidikan akademik setingkat sarjana atau pekerjaan bergengsi seperti PNS yang ternyata memilih posisi ibu rumah tangga sebagai karir terakhirnya.

Lihat saja Ibu Septi Peni Wulandani. Perempuan ini melepas karir PNSnya (padahal waktu itu baru saja lulus tes kemudian mendapatkan SK PNS) demi memenuhi kewajibannya sebagai pendidik utama sang anak. Meski ketiga anaknya memilih untuk tidak bersekolah, namun uniknya, setiap anak harus memiliki project yang perlu ditempuh sejak umur 9 tahun. Hasilnya? Enes, si sulung yang berusia 17 tahun memiliki banyak project peduli lingkungan, dan kini tengah menempuh studi S1nya di Singapura dengan biaya sendiri sebagai financial analyst. Ia kuliah setelah SMP, tanpa ada ijazah, hanya bermodal presentasi. Anak keduanya, Ara, yang berusia 10 th telah menjadi pebisnis sapi yang mengelola lebih dari 5000 ekor sapi. Si bungsu, Elan, pun tak mau kalah. Bocah itu malahan mampu membuat robot dari sampah (Sholihah.web.id, 21/07/2016). Luar biasa! 

Namun, tidak semua wanita mau dan bisa mengikuti pilihan Ibu Septi. Di Indonesia, jumlah pekerja wanita telah mencapai 54,44% di tahun 2015. Persentase ini menjelaskan bahwa wanita yang bekerja lebih banyak jumlahnya daripada yang tidak.

Adapun Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Indonesia yang bekerja di luar negeri tahun 2016 pada kuartal 1 ini berjumlah 3.639 orang (sumber: Bank Indonesia dan BNP2TKI). Kendati demikian, para ‘pahlawan devisa’ tersebut tak jarang mendapatkan perlakuan buruk dari majikannya. Siti Khadijah, TKW asal Karawang (Jawa Barat) yang bekerja di Abu Dhabi, telah disiksa oleh majikannya selama 7 bulan (Tempo.co, 22/03/2016). Tidak jauh berbeda dari nasib Siti, TKW asal Sukabumi (Jawa Barat), Mulyati, juga dianiaya oleh majikannya (Mediaindonesia.com, 31/03/2016). Ironis!

Pemerintah menyerahkan kekuasaan pengelolaan sumber daya alam negeri ini ke tangan asing dengan membuka keran lewat UU RI No. 1 Tahun 1967 pasal 9 dan 11. Padahal pemerintah berjanji mengurus rakyatnya lewat UU RI Pasal 33 ayat 2 dan 3. Kontras! Walhasil, penguasa kehilangan sebagian besar aset negara untuk dikelola sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Imbasnya, rakyat (baik laki-laki maupun perempuan) harus bekerja sendiri guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tuntutan ekonomi jelas menjadi momok utama hilangnya kemuliaan seorang wanita. Kemiskinan merambah hampir ke semua lini. Harga bahan pangan meroket setiap tahunnya. Hal ini menjadikan wanita tidak merasa cukup jika hanya di rumah mengurus anak dan dapurnya. Padahal mereka sadari benar sederetan fakta kelam yang mewarnai citra wanita. Lihat saja kasus prostitusi  Kalijodo, Malioboro, Kramat Tunggak, dan Dolly yang rata-rata menampung 500 orang PSK dengan kisaran umur 18-30 tahun yang seperempatnya positif terjangkit HIV/AIDS (data dari Posko Pendaftaran dan Penanganan Warga, 2016).

Berbeda jauh dengan sistem Islam, dimana posisi wanita merupakan sebuah kemuliaan. Islam memberikan penjagaan yang luar biasa besar terhadap seorang perempuan, baik statusnya sebagai seorang gadis, istri, ataupun ibu. 

Pertama, Islam menjaga agar wanita terlindungi kehormatannya dengan mewajibkan wanita menutup auratnya, tidak berdandan berlebihan, tidak berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya, tidak bercampur baur dengan lawan jenis, dan segala aktivitas yang bisa mengantarkannya pada perzinahan. Islam juga melarang keras pekerjaan yang mengeksploitasi keperempuannya misalnya menjadi artis, penari atau model. 

Kedua, Islam menjamin kesejahteraan bagi wanita dengan memberikan tugas utama sebagai pengurus rumah, suami, dan anak-anaknya. Wanita tidak dibebani tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut dibebankan kepada lelaki, suami, ayah, saudara laki-laki ataupun negara jika tidak ada lagi ada yang menanggung mereka. Nafkah untuk mereka diambil dari Baitul Maal. Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, harta itu menjadi hak para ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang sebatangkara, maka ia menjadi kewajiban kami (negara)” (HR Muslim). Namun demikian, wanita tetap boleh bekerja jika mendapat izin dari suami dan terikat dengan hukum syariah. Islam juga memberikan wanita peluang untuk mengecap pendidikan setinggi mungkin. 

Ketiga, Islam memberi hak untuk berpolitik kepada wanita, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, membaiat khalifah, menjadi anggota partai politik Islam, memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat, memberikan hak di bidang peradilan, juga berjihad.

Oleh karena itu, sistem pemerintahan Islam memiliki peran vital untuk memuliakan wanita yaitu harus senantiasa berupaya agar setiap individu memiliki ketakwaan yang tinggi melalui penerapan sistem pendidikan dan sosial Islam. Disamping itu, penerapan sistem ekonomi Islam akan mampu memberikan kesejahteraan bagi wanita. Sehingga, kemuliaan wanita dapat dikembalikan pada posisinya semula. Wallahu ‘alam bisshawab. [VM]

Posting Komentar untuk "Mengembalikan Kemuliaan Perempuan"