“Meraih Kemerdekaan Hakiki”


Oleh: Marwah Hayati Nufus
(Mahasiswa Pendidikan Fisika UPI)

Hampir tiba kembali negeri ini akan memperingati hari kemerdekaan. Tujuh puluh satu tahun sudah kemerdekaan bangsa ini diproklamirkan. Sungguh usia yang tak lagi muda bagi Indonesia dan Indonesia masih tetap memiliki cita-cita untuk menjadi bangsa maju, adil, dan makmur sejahtera lahir dan batin.

Sejak awal agustus kemarin, bendera merah putih mulai dipajang di depan rumah dan di jalan-jalan, aneka lomba yang akan ditampilkan sudah mulai sibuk dipersiapkan. Semua ini terangkum dalam spirit yang sama; mengisi ulang tahun hari kemerdekaan, untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan dalam mengusir penjajahan.

Para pahlawan sejatinya telah mewariskan semangat pada generasi berikutnya, bahwa kita tidak boleh menjadi bangsa jongos. Yakni bangsa yang tunduk dalam ketiak bangsa asing. Mereka memiliki semboyan yang begitu masyhur, merdeka atau mati. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Indonesia berhasil mengusir penjajah. Ini memang satu hal yang patut kita syukuri.

Indonesia memang sudah tujuh puluh satu tahun merdeka dari penjajahan fisik (militer). Namun, sejak merdeka tahun 1945 dari penjajahan fisik (militer) hingga saat ini, sesungguhnya negeri ini kembali masuk dalam penjajahan gaya baru, yakni penjajahan non-fisik (non-militer). Artinya, hingga kini Indonesia sesungguhnya masih terjajah dan belum sepenuhnya merdeka secara hakiki.
Potret Nyata Keterjajahan

Dalam rentang waktu tujuh puluh satu tahun, Indonesia masih menyuguhkan potret kehidupan rakyatnya yang masih memprihatinkan. Dari data BPS, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 254,9 juta jiwa. Yang masuk kategori miskin pada Maret 2016 mencapai 28,01 juta orang dengan ukuran pendapatn 3 dolar AS/hari.

Rakyat Indonesia saat ini masih mengalami keterjajahan di negeri sendiri. Rakyat dihadapkan pada kenaikan harga yang semakin tidak terkendali, baik bahan pokok, pupuk pertanian, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi.

Indonesia pun menjadi negeri yang masih terjajah dari sisi pembuatan aturan dan kebijakan, banyak sekali UU di negeri ini yang didiktekan oleh pihak asing. Di antaranya melalui Lol dengan IMF. Banyak utang –yang sesungguhnya menjadi alat penjajahan- dialirkan ke Indonesia oleh berbagai lembaga  donor baik IMF, Bank Dunia, ADB, Usaid dan sebagainya. Perubahan konstitusi negeri ini pun tak lepas dari peran dan campur tangan asing. Banyak dari UU itu disponsori bahkan rancangannya dibuat oleh pihak asing, di antaranya melalui program utang, bantuan teknis, dan lainnya.

Akibatnya, lahir banyak UU dan kebijakan pemerintah yang bercorak neoliberal, yang lebih menguntungkan asing dan swasta serta merugikan banyak rakyat. UU bercorak liberal itu hakikatnya melegalkan penjajahan baru (neo-imperialisme) atas negeri ini. Karena itu meski sudah tujuh puluh satu tahun “merdeka”, negeri ini masih banyak bergantung pada asing. Bahan pangan baik makanan pokok, garam, gandum, kedelai, susu, dan lain-lain banyak impor. Akibat ketergantungan itu, ditambah permainan para pelaku pasar yang berwatak kapitalis, gejolak harga-harga menjadi fakta keseharian.

Akibat UU dan kebijkan neoliberal, sumber daya alam dan kekayaan negeri ini lebih banyak dikuasai oleh swasta asing. Di sisi lain, juga lahir banyak kebijakan neoliberal yang meninimalkan peran Negara dalam mengurusi rakyat, misalnya saja tanggung jawab pelayanan kesehatan rakyat yang dialihkan dari Negara ke pundak rakyat melalui  asuransi sosial kesehatan (BPJS).

Dengan menyaksikan sekaligus merasakan fakta-fakta tersebut, akhirnya bagi rakyat kebanyakan kemerdekaan menjadi sebatas retorika.

Akar Masalah

Sebenarnya, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada system kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 71 tahun “merdeka” negeri ini mengadopsi sistem demokrasi-sekuler. Demokrasi pada akhirnya menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Kebijakan dan UU dapat dipermainkan seenaknya oleh para pejabat yang memiliki kekuasaan dan modal.

Jelas, rakyat ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para penghianat di negeri ini. Mereka adalah para komprador lokal yang terdiri dari penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat kekuasaan dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat seperti “ayam mati di lumbung padi”. Mereka sengsara di negerinya sendiri yang amat kaya. Mereka terjajah justru oleh para pemimpinnya sendiri yang menjadi antek-antek kepentingan negara penjajah.

Kemerdekaan Hakiki

Kemerdekaan hakiki adalah saat manusia bebas dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi dan penghambaan kepada sesame manusia, Mewujudkan kemerdekaan hakiki itu merupakan misi dari Islam. Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman dan penghambaan terhadap manusia oleh manusia lainnya secara umum. Yunus bin Bukair RA  menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Najran, di antara isinya: 

“Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan (wilayah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) …………..”(Ibn Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, v/553, Maktabah al-Ma’arif).

Di antara modus penghambaan kepada sesame manusia itu adalah melalui aturan hukum dan perundang-undangan buatan manusia, sebagaimana sesuai dengan doktrin demokrasi. Apalagi aturan hukum perundang-undangan itu diimpor dari pihak asing/penjajah, seperti yang terjadi pada banyak bangsa terjajah, termasuk pada negeri ini.

Islam dengan inti ajarannya yaitu tauhid akan membebaskan manusia dari penghambaan ala demokrasi ini. Pasalnya, dalam Islam penyerahan kekuasaan membuat hukum kepada manusia adalah satu bentuk syirik. Syirik seperti itulah yang telah mengakar pada Bani Israel.

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik saat ini adalah melepaskan diri dari:

1. Sistem Kapitalisme-Sekuler dalam segala bidang;
2. Para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan negara-negara kapitalis.

Selanjutnya, kita harus segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh kehidupan kita. Hanya dengan syariah Islam lah kita dapat lepas dari aturan-aturan penjajahan. Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih kemerdekaan hakiki.

Syariah Islam yang diterapkan oleh Negara Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat karena kebijakan politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Negara juga akan memberikan kemudahan kepada rakyat untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier. Negara pun akan menjamin kebutuhan vital bersama rakyat seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis dan kemudahan transportasi. Negara Islam juga akan menjamin keamanan rakyat dengan menerapkan hukum yang tegas. Capaian semua itu berdiri tegak di atas sebuah ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia, menentramkan jiwa dan memuaskan akal. Itulah Ideologi Islam yang akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Wallahu’alam bi shawab. [VM]

Posting Komentar untuk "“Meraih Kemerdekaan Hakiki”"