Reshuffle Kabinet Bukan untuk Kepentingan Rakyat


Presiden Jokowi telah mengumumkan reshuffle (perombakan) kabinet pada Rabu, 27 Juli 2016 di Istana Presiden. Sebanyak 12 posisi menteri dirombak. Sembilan menteri adalah wajah baru dan sisanya wajah lama yang bergeser posisi.

Demi Cina dan Amerika/Eropa

Pemerintahan Jokowi sangat memperhatikan kepentingan Cina, terutama dalam dua bidang: infrastruktur dan perdagangan. Utang dari Cina mendominasi pembiayaan infrastruktur. Kepentingan investasi Cina itu terwakili melalui sosok Menteri BUMN Rini Soemarno. Utang dari Cina disalurkan melalui BUMN seperti utang US$ 3 miliar yang disalurkan melalui tiga bank BUMN: BNI, BRI dan Bank Mandiri. Begitu juga proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai dengan utang dari Cina banyak yang dikerjakan oleh BUMN.

Adapun Barat, terutama Amerika dan Eropa, merasa kepentingannya kurang diperhatikan. Kepentingan Barat selama ini tampak dominan dalam dua bidang: pasar keuangan serta pertambangan minerba dan migas. Jika kepentingan Barat itu tidak segera dipenuhi, hal itu bisa jadi akan “mengganggu”. Untuk memenuhi kepentingan Barat itu dibutuhkan sosok yang “market’s trusted” (dipercaya pasar). Sosok Sri Mulyani (SM) dinilai tepat. Pasar pun menyambut positif reshuffle. IHSG dan kurs Rupiah menguat. Sosok SM juga dianggap bisa menarik investasi, khususnya hot money (uang panas).

Dengan reshuffle ini, kepentingan Cina dan Amerika/Eropa sama-sama dipenuhi. Keduanya bisa membawa modal dalam bentuk hot money dan utang, yang bisa membuat indikator makro terlihat baik.

Namun, di balik itu sebetulnya ada bahaya. Masuknya modal dalam bentuk hot money bisa menguap kapan saja. Utang dari Cina pun tidak menciptakan lapangan kerja besar di dalam negeri karena banyak tenaga kerjanya juga dari Cina. Semua itu akan membuat negeri ini makin jatuh dalam pengaruh dan kepentingan Barat dan Timur.

Makin Liberal

Reshuffle kali ini membuat ekonomi negeri ini makin liberal. Sosok SM sudah dikenal berhaluan neoliberal. Bahkan SM dianggap bagian dari Mafia Berkeley yang membentuk perekonomian negeri ini bercorak neoliberal. Hal itu juga dibuktikan dengan kebijakan neoliberal selama SM menjadi menteri keuangan (menkeu) dulu. Saat itu SM mengeluarkan sejumlah kebijakan mulai dari pengurangan/penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi investasi, peningkatan pajak baik jenis maupun besarannya dan memperbesar utang terutama melalui Surat Utang Negara (SUN). Pada saat SM menjadi menkeu era SBY, dikeluarkan SUN dengan kupon (bunga) tertinggi dalam sejarah SUN hingga sekarang.

Ke depan, penghapusan subsidi akan berlanjut. Saat ini subsidi tinggal tersisa sedikit. Rencana penghapusan subsidi solar mungkin akan dilakukan. Alokasi subsidi listrik bahkan sudah habis per Juni 2016 lalu. Subsidi gas LPG 3 kg juga terancam untuk dikurangi bahkan dihapus.

Apalagi tekanan defisit APBN makin besar. Pertengahan tahun ini, defisit anggaran telah mencapai 1,83% dari PDB atau Rp 276,6 triliun. Nilainya mendekati target defisit dalam APBNP 2016 sebesar Rp 296,7 triliun atau 2,35% dari PDB. Jika defisit ditutup dengan utang, sesuai target APBNP, Pemerintah Jokowi tinggal bisa menambah utang Rp 20 triliun lagi. Jika terlewati, artinya Pemeritah Jokowi menyalahi target UU APBN. Defisit anggaran terancam melewati ambang batas 3% tahun ini, batas yang ditetapkan dalam UU No. 17 Th. 2003 tentang Keuangan Negara.

Untuk menutupi defisit itu, Pemerintah harus menggenjot penerimaan negara. Penerimaan dari pajak reguler seret. Penerimaan negara baru 35,5 persen dari target APBNP 2016. Untuk itu Pemerintah banyak berharap penerimaan dari tax amnesty (pengampunan pajak) yang ditargetkan Rp 165 triliun. Namun, satu bulan berjalan, perkembangannya tidak seperti yang diharapkan. Penerimaan dari tax amnesty per 1 Agustus 2016 baru mencapai Rp 98,43 miliar atau 5,96% dari target uang tebusan Rp 165 triliun. Di antara misi khusus kembalinya SM adalah menyukseskan target tebusan tax amnesty ini. Namun, banyak pengamat meramalkan, uang tebusan maksimal hanya akan mencapai setengah dari target.

Jika target tebusan tax amnesty tidak tercapai maka defisit akan diatasi dengan memangkas belanja. Namun, langkah ini akan membuat Pemerintah sulit mencapai target pertumbuhan. SM sudah menyatakan, salah satu prioritasnya adalah terkait kebijakan fiskal.

Bisa juga defisit ditutup dengan utang. Utang itu dalam bentuk SUN, juga mungkin dengan kupon menarik (tinggi) untuk menarik investor. SM sudah berpengalaman untuk itu. Itu artinya, jumlah utang akan melebihi 3% PDB, batas yang ditetapkan UU. Untuk itu Pemerintah sudah mulai membangun opini perlunya diterbitkan Perpu yang memperlebar defisit di atas 3%, bisa mencapai 5%. Dengan semua itu, utang Pemerintah pusat yang per Mei 2016 sudah mencapai Rp 3.323,36 triliun akan makin membengkak.

Memuluskan Kepentingan Kapitalis

Reshuffle juga memuluskan kepentingan para kapitalis. Pergantian menteri perhubungan akan memuluskan proyek kereta cepat. Pergantian Rizal Ramli dengan Luhut B. Pandjaitan juga akan memuluskan proyek reklamasi. Perlu diingat, Presiden Jokowi pernah menyatakan, reklamasi Teluk Jakarta merupakan proyek nasional bagian dari proyek NCID. Itu artinya, proyek reklamasi harus tetap jalan. Perlu diingat, yang dihentikan hanya reklamasi pulau G. Reklamasi pulau C, D dan N tetap berlanjut meski ada yang harus dibongkar atau diperbaiki. Reklamasi pulau lainnya tetap jalan dan hanya perlu perbaikan administrasi.

Kepentingan kapitalis dalam bidang minerba dan migas juga akan lebih terlayani. Menteri ESDM Arcandra Tahar menyatakan, revisi UU Migas menjadi prioritasnya. Ia mengaku siap merombak beberapa kebijakan di sektor energi yang menghambat investasi. Ia mencontohkan UU Migas yang dia anggap sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini sehingga membuat investor kurang melirik pasar migas dalam negeri (CNN Indonesia, 28/7).

Proyek gas Blok Abadi Masela di Laut Arafuru juga akan mulus. Freeport juga akan segera mendapat jaminan. Menteri ESDM Arcandra menyatakan, “Kami akan menjamin kepastian hukum Freeport.” (Detikfinance, 29/7).

Konsolidasi Politik dan Politik Transaksional

Reshuffle kali ini juga sekaligus mengokohkan konsolidasi politik rezim Jokowi. Awalnya rezim Jokowi hanya didukung 37% suara di DPR (PDIP, Hanura, Nasdem dan PKB). Sebaliknya, saat itu Koalisis Merah Putih (KMP) menguasai 52%. Sisanya 11% Demokrat memilih netral.

Namun, setelah pada Oktober 2015 PAN membelot, disusul PPP dan terakhir Golkar, dukungan terhadap rezim Jokowi-JK di DPR menjadi 386 suara (69%). KMP tinggal tersisa Gerindra dan PKS dengan 113 suara (20 persen). Adapun Partai Demokrat tetap berposisi netral, dengan 61 kursi (11 persen).

Pembalikan dukungan dari PAN dan Golkar itu dikokohkan dengan “imbalan”. Masing-masing mendapat satu pos menteri. Adapun PPP tidak mendapat posisi menteri, mungkin karena suaranya terbelah. Tampak, konsolidasi politik itu kental dengan aroma politik transaksional atau bagi-bagi jabatan. Padahal pada masa kampanye Pilpres, Jokowi menjanjikan hal itu tidak akan terjadi. Faktanya, justru bagi-bagi jabatan itu terjadi sejak awal pemerintahannya.

Alhasil, dukungan politik di DPR kepada rezim Jokowi makin solid. Dengan itu, berbagai kebijakan rezim Jokowi yang makin liberal juga akan mulus.

Ganti dengan Sistem Islam

Jelas sekali, reshuffle itu bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat, tetapi kepentingan asing baik Barat maupun Timur; juga kepentingan para kapitalis, rezim penguasa, golongan dan partai.

Reshuffle pada akhirnya akan makin mengokohkan neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Keduanya adalah ancaman besar bagi negeri ini dan penduduknya.

Pangkal dari semua itu adalah penerapan ideologi sekularisme-kapitalisme dengan politik demokrasinya yang sarat dengan politik transaksioal dan sistem ekonomi liberalnya. Sudah terbukti semua itu telah membuat negeri ini terpuruk.

Karena itu tidak layak sekularisme-kapitalisme dengan demokrasi dan liberalismenya itu terus dipertahankan. Semua itu harus ditinggalkan dan diganti dengan sistem Islam, dengan penerapan syariah secara menyeluruh. Syariah akan bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Jika sosialisme-komunisme dan sekularisme-kapitalisme telah terbukti rusak dan merusak, lalu dengan apa lagi jika bukan dengan Islam dan syariahnya kita bisa mewujudkan kehidupan yang baik untuk semua. Allah SWT berfirman:

﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾

Hukum Jahiliahkah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin? (TQSal-Maidah [5]: 50).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 816, 2 Duzlqa’dah 1437 H – 5 Agustus 2016 M]

Posting Komentar untuk "Reshuffle Kabinet Bukan untuk Kepentingan Rakyat"