Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebakaran Hutan, Cegah dan Akhiri!


Oleh : Maya Ummu Azka, SP. 
(Pemerhati Lingkungan)

Ternyata kabut asap yang memakan banyak korban jiwa akhir tahun lalu tak membuat pemerintah introspeksi diri. Terbukti, kebakaran hutan dan lahan yang menyeruak beberapa bulan terakhir tak kunjung padam, malah mulai menimbulkan kabut asap di Kota Pekanbaru.

Ulah Manusia

Kebakaran hutan bisa terjadi secara alami atau disebabkan perbuatan manusia. Secara alami. Peristiwa ini banyak dipicu oleh petir, lelehan lahar gunung api, dan gesekan antara pepohonan. Sambaran petir dan gesekan pohon bisa berubah menjadi kebakaran bila kondisi hutannya memungkinkan, seperti kekeringan yang panjang.

Di hutan-hutan subtropis seperti Amerika Serikat dan Kanada, sambaran petir dan gesekan ranting pepohonan sering memicu kebakaran. Namun di hutan hujan tropis seperti Indonesia, hal ini sedikit mustahil. Karena terjadinya petir biasanya akan diiringi oleh turunnya hujan atau petir terjadi di sepanjang hujan. Sehingga sangat tidak mungkin menimbulkan kebakaran.

Pemicu alamiah lainnya adalah gesekan antara cabang dan ranting pepohonan. Hal ini pun biasanya hanya terjadi di hutan-hutan yang kering. Hutan hujan tropis memiliki kelembaban tinggi sehingga kemungkinan gesekan antar pohon menyebabkan kebakaran sangat kecil.

Sedangkan kebakaran hutan yang dipicu kegiatan manusia bisa diakibatkan dua hal, secara sengaja dan tidak sengaja. Kebakaran secara sengaja kebanyakan dipicu oleh pembakaran untuk membuka lahan dan pembakaran karena eksploitasi sumber daya alam. Sedangkan kebakaran tak disengaja lebih disebabkan oleh kelalaian karena tidak mematikan api unggun, pembakaran sampah, membuang puntung rokok, dan tindakan kelalaian lainnya.

Di Indonesia, 99% kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Hanya 1% diantaranya yang terjadi secara alamiah. 

Dari pemaparan di atas, kita dapati bahwa penyebab terbesar kebakaran hutan adalah ulah manusia itu sendiri. Jadi amat tak pantas bila masih mengkambinghitamkan musim kemarau sebagai penyebab kebakaran hutan. 

Parahnya, sistem kapitalisme dan neoliberalisme yang diterapkan oleh negara kita saat ini (sadar atau tidak)  memposisikan hutan sebagai obyek yang bisa dimiliki oleh swasta. Kerakusan paradigma berpikir kapitalis mendorong pengusaha pemegang HPH mengeksploitasi hutan semaksimal mungkin dan hanya menjadikan program konservasi dalam timbangan untung-rugi secara materi.

Syari'ah Meminimalisir Kebakaran Hutan

Hutan adalah salah satu kekayaan alam ciptaan Allah SWT, karunia bagi kehidupan manusia. Darinya ada sumber mata air, sebagai paru-paru dunia, habitat flora dan fauna. Hasil hutan juga bermanfaat secara ekonomi bagi manusia. Sebagai ciptaan Allah, pasti pengelolaan hutan akan lebih tepat jika menggunakan aturan-Nya.

Syari'at Islam telah menetapkan hutan sebagai kepemilikan umum karena sifatnya yang menguasai hajat hidup orang banyak,  sehingga tidak boleh dikuasai oleh swasta terlebih asing. Negara lah yang harus mengelolanya dan hasilnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Sebagaimana fungsi pemimpin negara dalam Islam adalah sebagai perisai bagi semua yang ada dalam wilayah kepemimpinannya, maka ia pun bertanggung jawab atas kes0lestarian huta.

Menurut Shiddiq Al Jawi, fungsi pengawasan operasional hutan dalam sistem Islsm dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Ia bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Ia dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan. Sedangkan fungsi pengawasan keuangan (hasil pengelolaan hutan), dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).

Negara juga wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan. Secara teknis bisa dengan mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong serta memfasilitasi para peneliti untuk melakukan riset-riset terkait.

Selain preventif, negara pun wajib melakukan tindakan kuratif jika kerusakan ataupun kebakaran hutan telah terjadi. Sanksi ta’zir yang tegas akan diberikan terhadap pihak yang terbukti melakukan perusakan hutan. Baik itu pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya.

Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional. Jenis dan kadar sanksi ini dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus.

Dengan penerapan langkah-langkah preventif dan kuratif di atas, kebakaran hutan yang setiap tahun menjadi momok pun akan bisa dicegah dan diakhiri.

Tiada Yang Lain

Sebagai aturan yang berasal dari Sang Pencipta, Syari'at Islam adalah satu-satunya yang tepat untuk seluruh mahluk Allah di dunia. Begitu pula dalam menjaga kelestarian hutan dan mencegahnya dari kerusakan, termasuk kebakaran hutan. Hanya manusia yang mau berpikir dengan akal sehat dan hati yang jernih yang akan mengakui, manusia dan alam semesta membutuhkan penerapan Syari'at Allah dalam sistem Khilafah untuk mengatur kehidupan. Wallahu a'lam. [VM]

Posting Komentar untuk "Kebakaran Hutan, Cegah dan Akhiri!"

close