Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengatasi Hutang Negara, Mungkinkah?


Oleh: Rahmawati Ayu K., S.Pd (*)

Sampai detik ini, utang Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Kementrian Keuangan Juli 2016 saja, total utang pemerintah pusat hingga ini mencapai Rp. 3.362,74 Triliun. Angka tersebut akan terus meningkat, karena dalam nota Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 pemerintah akan tetap menarik utang untuk menutup defisit sebesar Rp. 332,8 triliun. Saat ini Indonesia mengalami defisit primer sejak beberapa tahun belakangan, dimana utang digunakan untuk membayar bunga utang. Yang terbaru dalam RAPBN 2017 ada defisit keseimbangan primer senilai Rp 111,4 triliun. Fakta ini diakui oleh menteri keuangan Sri Mulyani dan menyatakan bahwa kondisi RAPBN 2017 tidak sehat.

Gali lobang tutup lobang. Mungkin pepatah inilah yang sangat pas menggambarkan kondisi utang Indonesia. Sayangnya utang yang ditutup lebih besar, bahkan utang kecil yang baru ditarik hanya cukup untuk membayar bunga utang terdahulu.

Pasca reformasi, lebih dari satu dekade terakhir, dari tahun 2004, pertumbuhan utang pemerintah sebesar 61,35 persen atau angka kenaikan Rp. 1309 T dengan rata-rata 130 T per tahun. Saat itu utang pemerintah masih berjumlah Rp. 1.299,50 T. Sekarang, mencapai lebih dari 3000 T dengan komposisi Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp. 2.622,75 T dan pinjaman senilai 739,99 T.

Hampir satu dekade tersebut, saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan mengalami proses sulitnya menjaga keseimbangan primer yang terus tergerus. Di sisi lain, pendapatan sektor pajak belum bekerja maksimal menopang pendapatan negara.

Kini saat Sri Mulyani kembali menjadi Menteri Keuangan membantu Presiden Joko Widodo, ternyata utang pemerintah makin membengkak, namun pendapatan negara justru mengalami perlambatan.  Lebih menyedihkan, utang yang ditarik pemerintah saat ini, tidak untuk menutup defisit sepenuhnya, justru sebagian besar untuk membayar bunga utang yang telah kita nikmati. Dalam lima tahun terakhir ini, cicilan pokok dan bunga utang yang telah dibayarkan sebesar Rp. 1.527, 118 T (2011-2015). Dan diperkirakan tahun 2016 bunga utang saja akan dibayarkan Rp. 184 T dengan cicilan pokok RP. 295 T. Jadi untuk tahun 2016 ini saja, cicilan pokok ditambah bunga, pemerintah membayar Rp. 480,324 T.

Bayangkan jika Rp. 480,324 T itu tidak untuk membayar utang dan bunga, tapi untuk biaya pendidikan. Tentu hampir semua anak-anak kita tidak akan putus sekolah, bahkan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang tinggi. Di masa depan tentu hasilnya sumber daya manusia Indonesia akan meningkat dan dapat bersaing dengan negara maju. Atau uang tersebut dapat pula membiayai kesehatan, belanja kesejahteraan, dan prioritas lainnya. Tentu masyarakat Indonesia akan sedikit terangkat, dari derajat kemiskinan ke arah sejahtera.

Dampak Utang 

APBN 2017 kembali menjadikan hutang sebagai sumber pemasukan defisit yang semakin membesar. Perlu dipahami bahaya hutang bagi kedaulatan, kemandirian pembangunan, dan fundamental ekonomi bangsa.

Dampak kenaikan utang dan pembayaran cicilan dengan bunga akan terus dirasakan oleh bangsa ini, dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Pertama, dalam jangka pendek, khususnya alokasi anggaran, akan terjadi alokasi yang salah dan menyebabkan ketimpangan. Alokasi yang timpang terjadi karena, harusnya APBN digunakan untuk prioritas belanja public demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan, justru uang habis digunakan untuk membayar utang. Ketimpangan terjadi karena, bunga utang hanya menguntungkan pemilih surat utang dan Negara debitur.

Sedangkan upaya distribusi keadilan guna menjalankan mandatory spending justru gagal. Ketimpangan masih terjadi antara si kaya dan si miskin, karena uang APBN tidak didistribusikan sesuai prioritas karena kalah oleh kewajiban membayar utang.

Misalnya khusus untuk Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat, dalam APBN 2016 hanya teralokasi kurang dari Rp. 8 Triliun, sehingga dengan alokasi yang masih kecil tersebut tidak mampu untuk memangkas jumlah angka kemiskinan di Indonesia yang saat ini masih mencapai 28 juta jiwa. Seandainya, ratusan miliar bunga utang untuk ke prioritas ini, jumlah penduduk miskin akan berkurang secara signifikan dan semakin banyak generasi yang bisa mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi.

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bila posisi utang Indonesia selalu naik maka akan membahayakan APBN. Pemerintah akan terhambat untuk mengarahkan belanja kea rah yang produktif, seperti pembangunan infrastruktur dan mendorong perekonomian secara umum. “Akhirnya belanja produktif pemerintah jadi terbatas,” terang Josua, Jakarta (detik.com/kamis/18-8-2016).

Di samping itu, kredibilitas APBN juga akan menjadi pertanyaan investor. Lembaga rating internasional seperti Standard & Poor’s, Moody’s dan Fitch akan menyoroti buruknya kondisi fiscal yang ditangani pemerintah. Ini juga akan menyulitkan pemerintah untuk menarik investasi. “Saat keseimbangan primer memburuk, mungkin ada persepsi lembaga rating itu akan melihat bayar bunga utang saja belum bisa apalagi bayar pokoknya,” jelasnya lagi.

Kedua, dalam jangka menengah, utang pemerintah akan semakin memberi ketergantungan yang menakutkan bagi APBN. Pembayaran utang pokok dan cicilan justru akan semakin membebani APBN. Di sisi lain, pemerintah kian sulit memungut pajak. Tax amnesty sebagai solusi pemerintahpun hingga saat ini belum berhasil. Alokasi APBN untuk membayar bunga utang pun akan melanggengkan riba yang merapuhkan pembangunan.

Dari sisi pendapatan negara yang lambat, ditambah dengan belanja pemerintah yang terus meningkat, dampaknya yaitu defisit yang terus tinggi. Solusi tercepat untuk memangkas defisit bagi pemerintah adalah dengan utang. Utang yang terus ditimbun akan beresiko kritis dan ekonomi yang tidak kuat menghadapi krisis global. Seperti bola salju, membesar dan pasti akan hancur karena berlebihan.

Ketiga, dalam jangka panjang yang paling ditakutkan adalah ekonomi dan keuangan APBN kita sangat tergantung kepada asing. Sehingga, kebijakan ekonomi dan pengelolaan kemajuan dapat disetir oleh asing. Misalnya, jika jatuh tempo dan tidak bisa membayar cicilan dan bunga, maka negara secara mudah akan tergadaikan untuk membayar hutang.

Solusi Defisit Anggaran

Anggaran defisit adalah problem universal. Artinya, dapat terjadi di negara manapun tanpa melihat ideologinya, baik di negara kapitalis sekuler, negara sosialis komunis, maupun di negara khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah (komprehensif). Yang berbeda hanya faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan berdasarkan perspektif ideologi masing-masing.

Untuk mengatasi problem defisit anggaran ini solusi universalnya ada tiga, yaitu: menambah pendapatan, mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang. Untuk konteks Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit yang pertama adalah meningkatkan pajak dan berutang.

Kedua, mencari sumber alternatif pendapatan. Pemerintah tidak banyak menggali potensi selain pajak (misal SDA) untuk menambah sumber pemasukan tapi justru memilih menaikkan pendapatan dari pajak yang membebani dan memiskinkan rakyat. Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya Sumber Daya Alamnya yang apabila dikelola sendiri oleh pemerintah, akan menghasilkan pendapatan negara yang sangat besar. Bisa jadi pemerintah tidak perlu berutang lagi untuk mensejahterakan rakyatnya.

Namun faktanya, yang terjadi di Indonesia sangat memprihatinkan. Mulai dari sektor pangan, air minum, energi, kesehatan, pendidikan, hingga perbankan dan keuangan dikuasai asing. Regulasi yang mestinya berazaskan UUD 1945 menjelma menjadi kebijakan yang dikendalikan asing melalui UU Sumber Daya Alam, UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba, dll.

Padahal, komitmen dengan negara-negara maju itu sesungguhnya justru merugikan Indonesia, bahkan hingga ke tingkat dasar, soal konstitusi. Kebijakan negara telah berubah menjadi kebijakan yang dikendalikan oleh asing.

APBN Dalam Islam

Anggaran defisit adalah problem universal. Artinya, dapat terjadi di negara manapun tanpa melihat ideologinya, baik di negara kapitalis sekuler, negara sosialis komunis, maupun di negara khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah (komprehensif). Yang berbeda hanya faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan berdasarkan perspektif ideologi masing-masing.

Untuk mengatasi problem defisit anggaran ini solusi universalnya ada tiga, yaitu: menambah pendapatan, mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang. Untuk konteks Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit adalah meningkatkan pajak dan berutang.

Sekarang mari kita bandingkan dengan bagaimana pengelolaan anggaran belanja negara dalam islam. Apakah dalam Islam ada bahasan tentang APBN? APBN dalam artian rencana pendapatan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran, tidak pernah dikenal kaum muslimin dalam sejarah Islam. Yang dikenal dalam Islam adalah institusi Baitul Mal. Namun, fungsi Baitul Mal ini ternyata memiliki kesamaan dengan fungsi APBN, yaitu mengelola pendapatan dan pengeluaran negara. Hanya ada beberapa perbedaan antara keduanya terkait dengan jenis-jenis pendapatan, besaran dana untuk pengeluaran, periode, dan keterikatan dengan syariah Islam.

Cara Islam Mengatasi Defisit Anggaran

Pendapatan negara Islam (Khilafah) mungkin saja tidak cukup untuk membiayai semua pengeluarannya, sehingga terjadi defisit anggaran. Cara Khilafah mengatasi defisit anggaran ini adalah sebagai berikut:

Pertama, meningkatkan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, khalifah berhak melakukan berbagai upaya meningkatkan pendapatan negara, tentunya tetap sesuai hukum-hukum syariah. Paling tidak ada 4 (empat) cara yang bisa ditempuh:
  1. Mengelola harta negara. Misalnya menjual atau menyewakan tanah atau bangunan milik negara untuk dibangun pemukiman, pasar, gudang, dan sebagainya. Bisa juga mengelola tanah perkebunan dan tanah pertanian milik negara. Namun, tidak berarti negara menjadi pedagang atau pebisnis yang selalu berusaha mencari profit dan menghindari kerugian. Negara tetap wajib menonjolkan fungsinya sebagai pelayan rakyatnya.
  2. Khalifah melakukan hima, yakni pengkhususan terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan lainnya. Misalkan khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, pembiayaan jihad fi sabilillah. Karena itu segala pendapatan dari tambang emas Papua hanya boleh digunakan untuk kepentingan jihad, seperti pembangunan akademi militer, pembelian alutsista (alat utama sistem persenjataan), latihan militer, dan sebagainya.
  3. Menarik pajak sesuai ketentuan syariah. Pada dasarnya pajak bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap, melainkan bersifat insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pajak yang boleh ditarik dalam khilafah harus memenuhi empat syarat: (1) diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat; (2) hanya diambil dari kaum muslim saja; (3) hanya diambil dari muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) secara sempurna; (4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Nidzam Iqtishadi fi al-islam, hlm. 242).
  4. Mengoptimalkan pemungutan pendapatan yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fa’I, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya. Bisa jadi pemungutan sudah dilakukan, tetapi tidak optimal karena berbagai sebab; mungkin karena kurang profesionalnya staff Baitul Mal, atau ada sebagian hasil pemungutan yang dikorupsi, atau ada kesalahan pencatatan dan hitungan, dan sebagainya.

Kedua, menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Contohnya pengeluaran untuk kepentingan yang sifatnya penyempurna, yang patokannya adalah kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya bagi rakyat. Misal: perluasan jalan raya yang tidak mendesak, yaitu jika jalan tidak diperluas tidak menimbulkan masalah bagi pengguna jalan; atau membangun rumah sakit baru yang tak mendesak karena rumah sakit yang ada masih mencukupi; atau membangun jembatan kedua padahal jembatan pertama masih layak dan masih mampu menampung volume lalu lintas; atau menyediakan baju atau mobil dinas baru bagi khalifah dan aparat pemerintah lainnya, padahal baju dan mobil dinas yang lama masih layak.

Ketiga, berutang. Khalifah secara syar’I boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat dengan hukum-hukum syariah. Haram hukumnya khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharaman ada 2 (dua):
  1. Utang luar negeri itu pasti menarik bunga; yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan dalam AlQuran (QS al Baqarah : 275).
  2. Utang luar negeri itu pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum muslim (QS an Nisa :141). (Abdul qadim Zallum, al Amwal fi dawlah khilafah, hlm 76; Abdurrahman Al Maliki, As Siyasah Al iqtishadiyah Al Mutsla, hlm. 200-207).

Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa luar biasa, seperti menolong korban bencana alam.

Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di Baitul Mal, pada awalnya khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya, khalifah boleh berutang. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Dustur, 2/122-123). Wallahu a’lam. [VM]

*) Penulis adalah seorang pendidik, tinggal di Jember Jatim

Posting Komentar untuk "Mengatasi Hutang Negara, Mungkinkah?"

close