Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Membaca Sepak Terjang Australia


Oleh : Umar Syarifudin Syabab HTI 
(Pengamat Politik Internasional)

Dalam konflik Laut China Selatan, China mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan, tempat perdagangan senilai lebih dari 5 triliun dolar bergerak setiap tahun. Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam memiliki klaim sama atas wilayah itu. China, Kamis (14/7/2016) mengeluarkan protes resmi setelah Australia mengumumkan akan terus menggunakan haknya untuk kebebasan berlayar dan terbang di Laut China Selatan.

Pernyataan Australia itu muncul setelah putusan Mahmakah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, Selasa (12/7/2016). PCA menyimpulkan, China tidak memiliki pengakuan bersejarah pada perairan Laut China Selatan dan juga telah terjadi pelanggaran atas hak ekonomi dan kedaulatan Filipina. China menolak keputusan PCA itu, setelah menolak berperan serta dalam perkara tersebut dan mengatakan pengadilan itu tidak memiliki kewenangan.

Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, mendesak semua negara terkait di Laut Cina Selatan menyelesaikan sengketa mereka secara damai. Bishop juga mengatakan, Australia akan tetap menerapkan hak internasionalnya untuk kebebasan berlayar dan mendukung hak pihak lain untuk melakukan hal sama. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, mengatakan, China secara resmi memprotes "komentar salah" Australia.

Namun AS tidak menginginkan sikap ambigu Australia, Asisten Kepala Staf Tentara Amerika Serikat (AS) Tom Hanson mengatakan Australia harus memilih memperkuat hubungan dengan Amerika atau dengan Cina. Dia juga meminta Australia bersikap tegas terhadap Cina yang selalu mengklaim Laut Cina Selatan sebagai miliknya. "Australia harus memilih antara Amerika atau Cina. Rasanya sulit menyeimbangkan aliansi dengan Amerika dan memperkuat hubungan ekonomi dengan Cina. Harus ada keputusan mana yang lebih penting bagi kepentingan nasional Australia," katanya, Kamis (1/9).

Australia sebagai sekutu AS sempat dikritik oleh China karena menerbangkan sejumlah pesawat pengintai di area Laut Cina Selatan. Cina merupakan mitra dagang Australia yang paling besar. Cina adalah rekan terbesar perdagangan Australia dan sumber besar modal asing, yang membelanjakan harta Australia sebesar 11,1 miliar dolar Amerika. Lembaga akuntansi dan penasihat KPMG dan Universitas Sydney menyatakan kebanyakan belanja itu berupa bangunan pada 2015. 

Sejak dekade 1950-an hingga kini, posisi dan kedudukan Australia selalu dipandang sebagai Deputi Sharif Amerika Serikat dan Inggris di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara. Namun dalam perkembangan  waktu, maupun dinamika internal yang begitu tajam di kalangan para cendekiawan dan para militer Negeri Kanguru itu, sikap Australia yang dipandang otomatis selalu Pro Amerika dan Inggris, nampaknya tidak sesederhana yang nampak di permukaan. Meskipun dalam beberapa kasus, ketika sudah mempertaruhkan Malaysia dan Singapura, sikap Australia sejak era Robert Menzies selalu dalam posisi Pro AS dan Inggris. 
  1. Namun sejatinya, di Australia sendiri terdapat tiga aliran pandangan sebagai landasan penyusunan kebijakan strategis Pertahanan Nasional Australia: Australia sebagai suatu bagian dari sistem pertahanan global Amerika Serikat. Konsepsi ini dimulai sejak pemerintahan Robert Menzies. Tujuan utama konsepsi ini adalah menempatkan Amerika Serikat dalam kedudukan yang sedemikian rupa, sehingga secara otomatis akan membantu Australia jika menghadapi ancaman nasional, terutama di sektor pertahanan-keamanan. Sebaliknya, bahwa Australia tidak dapat menghindarkan diri dari suatu komitmen total membantu  Amerika Serikat, jika Negara Paman Sam tersebut menghadapi ancaman atau serangan militer. 
  2. Konsep Fortress Australia, yang pada pokoknya ingin melepaskan diri dari segala ikatan pertahanan dengan pihak-pihak ketiga, dan sebaliknya ingin memperkuat pertahanan serta kemampuan ekonomi/industri daratan Australia sendiri. Gagasan ini ingin dicapai dengan bantuan Amerika Serikat (modernisasi peralatan perang) serta di bawah lindungan payung kekuatan militer Amerika Serikat di Pasifik, tapi tanpa adanya lagi ikatan-ikatan otomatis terhadap Amerika Serikat dalam segala hal. 
  3. Konsep Forward Defense, di mana Australia secara aktif menempatkan kehadiran militernya di wilayah Asia Tenggara bukan dengan maksud menggantikan peranan Inggris East of Suez tapi sebaliknya pula tidak mengisolasikan diri dari pembinaan wilayah strategis baginya, yaitu pintu gerbang Asia Tenggara. 

AS memang amat berkepentingan untuk mengamankan pengaruh politik dan militernya di kawasan Asia Pasifik. Professor Ann Marie Murphy, peneliti senior di Weatherhead East Asia Institute, Columbia University, mengatakan bahwa hingga 2020 nanti 60 persen kekuatan Angkatan Laut akan diturunkan di Asia.

Dengan meningkatnya kehadiran militer Amerika Serikat ke kawasan Asia itu, telah menimbulkan masalah baru di negara-negara Asia Pasifik. Amerika Serikat nampaknya secara kontinyu melakukan politik pembendungan terhadap munculnya kekuatan Islam di Asia Pasifik dan ancaman China, dengan target jangka menengah sebagai berikut : 

Pertama, AS ingin membendung pengaruh RRC di Asia Tenggara khususnya dalam persoalan Laut Cina Selatan. Wilayah ini amat strategis bagi AS maupun RRC, baik sebagai jalur perdagangan maupun sumberdaya alamnya yang berlimpah. Oleh karena itu AS terus menjalin hubungan dengan sekutu-sekutunya, termasuk Indonesia, untuk mengeliminir pengaruh Cina.

Kedua, AS juga berkepentingan untuk menjaga kepentingan mereka di kawasan Papua. Keberadaan pertambangan Freeport sebagai perusahaan tambang besar di dunia adalah nilai strategis bagi AS. Hal ini tampak dari pendekatan yang dilakukan AS kepada dua pihak; kepada kelompok separatis-teroris OPM dan juga kepada aparat pemerintah daerah Papua.

Tidak hanya AS dan Inggris, Australia juga tak henti memancing di air keruh. Oknum-oknum di negara tersebut, tampaknya, tidak rela Papua terus menjadi bagian integral wilayah Indonesia. Padahal, pasca Pepera (Penentuan Pendapat rakyat) yang digelar PBB pada 1969, sudah tak terbantahkan lagi bahwa Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, apapun gerakan memisahkan Papua dari Indonesia dikategorikan sebagai gerakan makar yang harus diberantas. Tak terkecuali campur tangan asing yang hendak memisahkan Papua dari Indonesia.
Tahun 2012 Pemerintah Australia menawarkan ide kepada Pentagon untuk menggunakan salah satu pulau terpencil di Samudera Hindia untuk misi mata-mata di Asia Tenggara. Menteri Pertahanan Australia waktu itu, Stephen Smith, menanggapi laporan Washington Post baru-baru ini bahwa AS tertarik menggunakan Kepulauan Cocos. Pulau ini nantinya digunakan sebagai basis baru untuk pesawat pengintai, termasuk pesawat tak berawak.

Smith menambahkan, Kepulauan Cocos harus menjadi pilihan jangka panjang. Tentunya didukung dengan infrastruktur yang besar untuk mempersiapkan operasi ini. “Ini telah disepakati untuk pengembangan  infrastruktur yang besar, terutama lapangan udara,” ungkap Smith yang dikutip dari Presstv, Rabu, (28/3/12).

Secara politik, Australia akan berusaha keras menjaga Indonesia tetap sebagai sebuah negera sekular, demokratis serta menjunjung nilai-nilai HAM dan pluralisme. Selama Indonesia tetap sebagai sebuah negara sekular dengan berideologi kapitalis, kepentingan-kepentingan penjajahan Barat termasuk Australia akan tetap terjaga.

Bagi Australia, kelompok-kelompok Islam di Indonesia yang mereka cap sebagai ekstremis dan radikal sangat mengancam kestabilan politik negara itu dan kawasan regional sekitarnya. Bahkan Islam garis keras—julukan bagi kelompok yang menginginkan syariah Islam, Negara Islam atau Khilafah—dianggap jauh lebih berbahaya dibanding terorisme.

Harian The Australian (7/07/2011), dalam artikel berjudul, “Hardline Islam a Bigger Threat than Terrorists,” dengan tegas meminta pemerintah Australia untuk memperluas bantuan reformasi pendidikan Islam di Indonesia, Istilah reformasi digunakan sang penulis, Tim Lindsey, untuk menutupi maksud sebenarnya, yakni mengembangkan pemahaman Islam ala liberal.

Tujuan proglam liberalisasi ini adalah mempersempit Islam hanya sebatas ritual, moralitas dan individual. Adapun syariah Islam yang kaffah dalam sistem ekonomi, politik, pendidikan yang akan diterapkan Negara Islam dianggap sebagai pemikiran garis keras yang berbahaya. Bagi negara-negara Barat, penegakan syariah Islam oleh negara akan mengancam kepentingan penjajahan mereka di Dunia Islam, termasuk Indonesia.

Setelah mengetahui skenario AS memanfaatkan Australia dalam mengokohkan penjajahan mereka, maka Pemerintah Indonesia seharusnya paham, negara-negara imperialis tidak akan membiarkan Indonesia menjadi negara yang utuh dan kuat. Negara-negara imperialis ini akan selalu melakukan konspirasi untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. [VM]

Posting Komentar untuk "Membaca Sepak Terjang Australia"

close