Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Tingginya Angka Perceraian


Oleh : Endah Sulistiowati, SP. (MHTI Kediri)

Disfungsi keluarga semakin banyak terjadi seiring modernitas dan kehidupan berbasis demokrasi. Nilai HAM membuat keluarga individualis, tak mau mendengar nasihat lingkungan dan sebagainya. Negara juga sangat lemah memberantas hal-hal yang mempengaruhi lahirnya disfungsi keluarga. Misal, negara lemah dan membiarkan tontonan porno, kekerasan, juga produksi miras dan peredaran narkoba dan lain-lain.

Kementerian Agama mendapat temuan meningkatnya angka perceraian dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Temuan itu didapat dari hasil penelitian mengenai tren cerai gugat masyarakat muslim Indonesia yang dijalankan Pusat Penelitian Kehidupan Keagamaan Kemenag. “Angka pereraian di Indonesia lima tahun terakhir terus meningkat”, ujar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam Maruki, dikutip dari laman kemenag.go.id, 20 Januari 2015. Muharam mengatakan, dari 2 juta pasangan menikah, sebanyak 15-20% bercerai. Sementar, jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia pada tahun 2014 mencapai 382.231,naik sekitar 131.023 kasus dibanding tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus. Sementara dalam persentase berdasarkan data Badan Peradilan Agama mahkamah Agung, dalam 5 tahun terakhir terjadi kasus cerai gugat menapai 59 persen hingga 80 persen.

Tahun 2009 : menikah 2.162.268 kejadian, cerai 216.286 kejadian. Tahun 2010 : menikah 2.207.364 kejadian cerai 285.184 kejadian. Tahun 2011 : menikah 2.319.821 kejadian,cerai 258.119 kejadian. Tahun 2012 :menikah 2.291.265 kejadian,cerai 372.577 kejadian.tahun 2013 :menikah 2.218.130 kejadian, cerai 324.527 kejadian. Data dari Kemementrian Agama RI itu disampaikan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan, Anwar Saadi. Sebagai sampel kita ambil data dua tahun terakhir di 2012 dan 2013 saja. Jika diambil tengahnya,angka perceraian di dua tahun itu sekitar 350.000 kasus.atau 40 perceraian setiap jam. Luar biaasa fantastis. Di Indonesia terjadi 40 kasus perceraian tiap jam nya. Dan hampir 1000 kasus perceraian setiap harinya. 

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan, Propinsi Jawa Timur merupakan penyumbang terbesar angka perceraian di Indonesia, yakni mencapai 47%. “dalam beberapa tahun terakhir ini angka perceraian di Indonesia melonjak drastis dan Jatim merupakan penyumbang terbesar dalam kasus perceraian di tanah air. Bahkan, mencapai 47% atau hampir separuh kasus perceraian di Indonesia ada di Jatim,” kata Khofifah usai menggelar konferensi pers terkait Hari Lahir (Harlah) ke-70 Muslimat NU di Malang, Minggu (20/3/2016), sperti dikutip Antara. Khofifah mengatakan, penyebab perceraian salah satunya adalah masalah ekonomi (kesejahteraan) dan prosesnya sebagian besar melalui gugatan atau perceraian yang diajukan pihak istri.

Imbas perceraian ini pun sangat luas, baik itu bagi anak-anak sendiri, keluarga besar, ataupun bagi lingkungan. Tingginya tingkat perceraian di masyarakat bisa menyebabkan terjadinya penyakit menular bahkan bisa bersifat endemik. Sehingga nantinya sebagian besar keluarga akan berfikir bahwa bercerai adalah solusi terbaik bagi mereka ketika mereka harus dihadapkan pada suatu permasalahan yang bersifat kompleks. Tanpa berfikir lagi akibat yang akan terjadi pada anak-anak mereka.

Masalah ekonomi atau kesejahteraan sebagai mayoritas penyebab runtuhnya institusi keluarga dipandang sebagai hal yang umum ditengah-tengah masyarakat, apa pasal? Kemiskinan saat ini menjadi isu sentral di hampir seluruh penjuru dunia. Dan isu ini menjadi momok yang sangat menakutkan. The Telegraph, 3/3/2015, melansir sebuah riset berkenaan dengan indeks kesengsaraan di dunia. Indonesia termasuk dalam 15 negara paling sengsara di dunia. Negeri mayoritas muslim ini menempati urutan ke-15. Indeks ini dihitung berdasarkan tingkat pengangguran dan inflasi. 

Sebenarnya negara sudah mulai sadar akan permasalahan ini, terbukti Indonesia ikut mengirimkan delegasinya pada KTT Milenium yang digagas PBB pada September 2000 di New York yang diikuti oleh 189 negara. Hasilnya adalah ditandatanganinya sebuah deklarasi (Milenium Deklaration) yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan –dikenal dengan MDGs (Milenium Developmen Goals) yang harus di(apai negara peserta sebelum tahun 2015. Salah satunya adalah proyek penghapusan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim (dengan standart penghasilan di bawah 1,25 USD/hari). Jika dicermati pada keseluruhan proyek Milenium tersebut, bermuara pada satu target, yakni eliminasi problem besar bernama “kemiskinan” . Dalam laporan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Peren(anaan Nasional (Bappenas) tentang tujuan pembangunan milenium Indonesia tahun 2010 ter(antum upaya pengentasan kemiskinan. Satu dari sekian upaya pengentasan kemiskinan terdapat program Pemberdayaan Ekonomi Perempun (PEP) yang sampai saat ini menjadi bagian dari fokus perhatian pemerintah. Namun sayangnya untuk mengegolkan program ini pemerintah harus menambah hutang negara.

Dari permasalahan kesejahteraan inilah yang memaksa para perempuan  harus keluar rumah dan berjibaku dengan kerasnya dunia kerja dan usaha demi mempertahankan hidup, tidak sedikit dari para perempuan ini yang berhasil meningkatkan taraf perekonomian keluarga mereka. Namun apakah masalah kemiskinan bisa teratasi ketika para perempuannya masuk ke dunia kerja? Ternyata hal ini berefek pada permasalahan sosial lain yakni 1. Bergesernya peran perempuan dalam keluarga, sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, karena banyak ibu yang harus kehilangan waktunya untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan produksi 2. Ketaatan istri kepada suami akan berkurang khususnya bila penghasilan suami lebih rendah daripada penghasilan istri. 3. Pengangguran para suami/laki-laki tetap tidak terselesaikan. 4. Memicu keretakan keluarga. Karena para perempuan merasa bisa hidup mandiri dengan bisa berpenghasilan sendiri, mereka lebih punya bergining position di tengah-tengah keluarga sehingga para perempuan bisa dengan mudah mengambil keputusan termasuk dalam hal ini adalah keputusan bercerai. 

Tingginya angka per(eraian di Indonesia seharusnya memaksa pemerintah untuk turun tangan ikut andil dalam menetukan solusi, kenapa? Karena hal ini akan berpengaruh pada generasi bangsa selanjutnya. Dengan orang tua yang serba sibuk bahkan berpisah, maka problem berikutnya adalah pengasuhan anak. Apakah cukup dengan memasukkan mereka ke sekolah fullday yang harapannya anak tidak terlantar ketika para orang tua bekerja. Sepertinya hal ini akan masuk pada lingkaran setan yang tidak akan bertemu ujungnya. Tersesat pada lorong labirin yang serba kompleks. Karena bisa jadI itu hanyalah solusi sementara saja, karena para guru juga memiliki anak-anak yang harus mereka asuh dan perhatikan, sehingga kalau mereka harus terfokus disekolah bisa jadi mereka akan ‘apek disekolah dan suntuk di rumah’. Luar biasa.

Sehingga kalau negara ini tidak mau kehilangan good generation 10-20 tahun kedepan, maka sudah saatnya negara/pemerintah memposisikan dirinya sebagai perisai keluarga Indonesia. Kalau masalah utamanya adalah kemiskinan/ekonomi maka yang harus dilakuKan adalah: 1. Buang sistem kapitalis yang hanya menyejahterakan orang kaya. 2. Menasionalisasi pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang melimpah untuk digunakan menyejahterakan rakyat dan membuka lapangan pekerjaan. Serta membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat3. Memperbaiki sistem pengeloloan negara yang tengah bobrok. Dengan begitu keluarga terselamatkan, generasipun aman. Wallahu ‘alam bi showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Menyoal Tingginya Angka Perceraian"

close