Mewaspadai Fenomena Awkarin Untuk Selamatkan Generasi
Sosok remaja Karin Novilda alias AWKARIN yang berusia 19 tahun, beberapa waktu yang lalu sempat menjadi sosok yang sangat populer, terutama di kalangan pengguna sosial media. Pemilik akun dengan followers sebanyak 675 ribu ini tak segan menggugah berbagai foto dan videonya yang vulgar. Terposting di youtube yang antara lain memuat gaya pacaran keblabasan, penggunaan bahasa yang kasar, drama putus cinta bahkan adegan mewek mau bunuh diri. Dari sini jelas terlihat betapa bebasnya kehidupan anak remaja saat ini, yang biasa dikenal dengan sebutan gaul bebas.
Namun terlepas dari sosok Awkarin saat ini, dulu Karin adalah sosok pelajar yang sangat berprestasi. Awal juni 2013 Karin di nobatkan sebagai pelajar SMP dengan peraih nilai UN tertinggi di Tanjung Pinang dan 3 besar di propinsi Riau. Bahkan peraih nilai UN sempurna pada Mapel Matematika (Tanjung Pinang pos). Dan setelah itu Karin melanjutkan akademinya ke Jakarta. Bahkan Karin sudah mampu menghasilkan uang sendiri dan tak lagi merepotkan ke dua orang tuanya, dengan menjadi model dari produk-produk bermerk. Selepas SMA, Karin mencoba bermetamorfosis dari gadis polos menjadi selebritas vlogger yang kontraversional. Karin merasa bahwa gaya hidup yang di jalaninya adalah gaya hidup yang normal-normal saja. Bahkan Karin mengatakan prinsip hidupnya dalam salah satu caption instagramnya “nakal boleh,tapi bego jangan”.
Maka dari sinilah akhirnya menjadikan Awkarin panutan bagi kalangan remaja saat ini. Sosok yang ramah, mandiri, nakal, bebas,tetapi tetap pintar dan berprestasi, hingga menjadi pembelaan para remaja yang menjadi followersnya. Sehingga Awkarin ini semakin menjadikan sosok yang menginspirasi para remaja walaupun sejatinya rusak, nakal, bahkan gaul bebas.
Lantas apa yang kita harapkan dari remaja yang tidak punya rasa malu? Yang mana kemaksiatannya dan kerusakan moralnya dengan biasa menjadi tontonan. Bahkan sangat miris, dengan hal ini justru menjadikan sosok Awkarin semakin memiliki banyak followers. Tak peduli apakah membawa hal negatif yang akan mempengaruhi pola pikir dan pola sikap bagi generasi remaja atau tidak. Awkarin semakin laris manis. Tentu kita tidak akan rela melihat generasi-generasi penerus dan pemegang peradaban terjerumus dalam jurang kemaksiatan. Jangan sampai ke depannya semakin banyak bermunculan remaja-remaja gaul dan galau ala Awkarin.
Dalam hal ini tentu sangat diperlukan kerjasama yang kuat antara orang tua, pihak sekolah/guru, masyarakat dan negara.
PERTAMA, Kasus Awkarin sudah sepatutnya menjadi bahan renungan serius bagi orangtua, karena orangtua adalah orang yang pertama dan utama sebagai pendidik, sebelum anaknya dihantarkan menuju sekolah di luar. Orang tualah yang memiliki pondasi kuat pada pendidikan yang mempengaruhi pola sikap dan pola pikir pada anaknya. Dengan kata lain apa yang terjadi pada anak hari ini merupakan gambaran pola asuh yang diterapkan selama ini. Dalam Islam Rosululloh SAW mengajarkan untuk mendidik anak jauh sebelum berhubungan suami istri dianjurkan untuk berdoa, agar orangtua dan anaknya kelak terhindar dari ganguan syetan, dan ketika mengandung calon ibu senantiasa berdzikir, membaca Al-Qur’an dan mengucapkan kata-kata yang baik sebab suara baik yang terdengar oleh janin dapat meningkatkan kecerdasan otaknya, dan ketika bayi baru lahir, sang ayah mengumandangkan adzan pada telinga kanan anaknya, dan memberikan nama yang baik nan indah. Kemudian pada proses tumbuh kembang anak, orang tua harus membekali anak dengan dasar aqidah islam dan mengajarkan anaknya bagaimana beribadah, berwudlu, sholat, membaca dan menghafal Al-Qur’an, berpuasa, dan senantiasa bersyukur. Selain itu ,orang tua juga dituntut untuk mengajarkan tentang akhlak yang baik seperti adab makan, adab tidur, adab berpakaian, adab berbicara, dan adab bergaul. Anak diperbolehkan untuk bermain tetapi tidak boleh bermain yang membuatnya kecanduan dan lalai akan aktifitas utamanya, dan tentu saja bentuk pengajaran yang dilakukan oleh orangtua dengan cara lemah lembut. Dan jika melakukan kesalahan, maka orangtua memberi hukuman yang mendidik bukan membuat trauma. Sehingga, terbentuk pada anak perilaku yang lemah lembut dan tidak mudah emosional. Selain itu orang tua juga memposisikan dirinya sebagai teman bagi anak, karena ini hal yang terpenting, sehingga anak merasa dekat dengan orangtua dan tidak perlu curhat ke teman atau ke tempat yang tidak pantas (misal : media sosial) dan orang tua dituntut agar mengetahui dengan jelas dengan siapa anaknya berteman, karena lingkungan memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian anak.
KEDUA, ternyata tidak cukup hanya pada peran orangtua secara serius untuk membentuk kepribadian anak, karena anak butuh bersosialisasi, butuh pendidikan diluar rumah. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan kerjasama dengan tim pendidik di sekolah untuk senantiasa mengedepankan kurikulum berbasis Aqidah Islam, mengontrol pola sikap melalui bimbingan nafsiyah dan keteladanan dari kisah para sahabat atau shohabiyah,ilmuwan-ilmuwan muslim yang sholih berkarakter, berakhlak mulia dan berprestasi. Tujuannya agar anak-anak termotivasi dan terinspirasi dengan keteladanan tersebut, bukan pada sosok idola yang salah kaprah.
KETIGA, selain itu juga dibutuhkan lingkungan yang nyaman dan kondusif yang tidak individualis. Yang jauh dari gaya hidup gaul bebas. Dan Lingkungan yang memiliki kepedulian terhadap generasi. Lingkungan yang senantiasa beraktifitas amar makruf nahi mungkar [menyampaikan kebaikan dan mencegah keburukan ditengah-tengah umat].
KEEMPAT, Pada hakekatnya semua komponen diatas tidak memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan pada kepribadian anak baik itu pola pikir ataupun pola sikapnya. Tanpa dukungan dan kerjasama yang totalitas dari Negara. Karena negara punya peranan yang amat penting terkait dengan segala kebijakan dan perundang-undangan yang di berlakukan, misalnya terkait sistem pendidikannya, yang senantiasa berganti-ganti kurikulum, tidak berpijak pada satu kurikulum yang baku dan terpercaya seperti kurikulum berbasis aqidah islam, yang telah terbukti mampu mencetak generasi-generasi unggulan seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi dan lain lain. Juga sosial budaya, dimana negara bisa mengontrol dan mewaspadai jangan sampai generasi kita meniru budaya dan sosial kehidupan ala barat. Selain itu perlunya kontroling negara untuk mengawasi dan menseleksi internet yang digunakan, dan tayangan-tayangan yang ada di televisi, surat kabar ataupun majalah dengan menghilangkan aroma pornografi dan pornoaksi pada generasi kita.
Dengan kata lain sistem yang diberlakukan sekarang selayaknya diganti dengan sistem islam dalam seluruh aspek kehidupan agar tercipta generasi yang memiliki kepribadian Islam, baik pola pikirnya ataupun pola sikapnya yang tangguh dan mulia yang siap memimpin estafet peradaban selanjutnya. Bukankah suksesnya suatu negara dilihat dari generasinya? Saatnya selamatkan generasi kita! [VM]
Pengirim : Sugiarti (Ibu Peduli Generasi - Pasuruan)
Posting Komentar untuk "Mewaspadai Fenomena Awkarin Untuk Selamatkan Generasi"