Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Radikalisme Sekuler Liberal Bahaya Laten yang Masih Liar dan Eksis


Oleh : Umar Syarifudin – Pengasuh Majlis Taklim al Ukhuwah Kota Kediri

Di saat pemerintah berbicara tentang bagaimana caranya mencegah paham-paham radikal, sembari memaksakan memaksakan tafsir ‘Islam toleran’ ‘Islam moderat’ yang substansinya sekulerisme.  Lalu Ulama, keluarga dan institusi pendidikan diminta ‘harus saling bersinergi’ agar sekolah dan anak didiknya jauh dari paham berbau radikal. Tidak hanya itu, pemerintah menata mekanisme pendidikan yang ‘melawan’ faham dan ‘kelompok’ radikal. 

Jelas, istilah paham dan kelompok radikal dikonotasikan negative dan dianggap sebagai common enemy. Lalu dicanangkanlah deradikalisasi menjadi semacam proyek dan masuk dalam APBN dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pemerintah bekerja sama dengan lembaga non pemerintah, LSM, ormas dan lain-lain. Pemerintah pun menyodorkan gagasan deislamisasi di Indonesia. “Islam moderat” maupun “Islam nusantara” menjadi arus utama yang dibangunnya dalam bingkai sistem sekuler-kapitalis-demokrasi.

Setiap kali umat Islam ingin hidup lebih Islami secara personal, kultural, maupun sistemik maka Anda pun dicurigai berpotensi menjadi ancaman. Di titik inilah proyek  deradikalisasi berfungsi. Targetnya fokus dan fokus untuk kaum Muslim.  Umat Islam digiring secara halus untuk berislam setengah-tengah dan menyesuaikan diri dengan standar sekulerisme dan kebijakan pemerintah. Inilah dusta yang sering diulang terkait esensi dari pemikiran “deradikalisasi yang disosialisasikan agar masyarakat mempercayainya. Semua ini adalah program terencana negara-negara Barat yang didukung, difasilitasi, oleh pemerintah mereka. 

Deradikalisasi berupaya menghilangkan pemikiran Islam tersebut dari kaum Muslim dan melakukan kriminalisasi terhadap pemikiran itu dengan mengaitkan dengan teroris. Upaya deradikalisasi semacam berarti mereduksi aqidah Islam dan menjadikan aqidah Islam hanya aqidah ruhiyah semata. Hukum-hukum syara’ dipilah dan dipilih sesuai paham sekuler, yang terkait dengan ibadah diambil, tetapi yang terkait dengan pengaturan kehidupan dicampakkan.

Proyek deradikalisasi tidak berdiri sendiri, tetapi bagian dari skenario besar dominasi Barat atas dunia muslim dengan perancangan yang detail dan sistematis, melibatkan berbagai komponen pendukung dan memetakan berbagai komponen kendala. Istilah Islam radikal dimunculkan sebagai pijakan legal untuk memunculkan istilah Islam Moderat. Hakikatnya suksesi deradikalisasi memiliki ambisi ideologis untuk menundukkan kaum muslimin pada penjajahan demokrasi Barat, serta menjegal bangkitnya Islam politik tampil dan menang. Berikutnya langkah-langkah sistematis dilakukan dengan membuat polarisasi umat Islam dan merupakan metode pecah-belah atas umat Islam. 

Kaum Muslim harus menyadari bahwa perang Barat terhadap Islam dengan bantuan kaki tangannya itu nyata, maka solusinya adalah Islam kaffah, bukan Islam kompromi maupun setengah-setengah. Meningkatkan kesadaran dan perjuangan dengan terus mengemban risalah Islam untuk bisa diterapkan dalam kancah kehidupan. Serta membongkar kebohongan kaum anti-Islam dan rejim sekuler yang terus menerus mengkhianati rakyat, dan bangga dengan identitas kita sebagai muslim, tanpa embel-embel Islam nusantara, Islam moderat, Islam toleran, Islam liberal, dan lain-lain sesuai pesanan Barat.

Bahaya laten sesungguhnya adalah bercokolnya paham dan praktik sistem sekuler liberal dalam bingkai kapitalisme yang dipraktekkan negeri ini. Diterapkannya sistem demokrasi liberal, Indonesia bangkrut, rusak, gagal. Terbukti dalam sistem demokrasi kemaslahatan dan nasib umat Islam akan terus dipinggirkan.

Sedangkan ‘pesta’ serangan secara membabibuta kaum liberal terhadap syariah Islam sebenarnya berangkat dari paradigma tertentu yang menjadi landasannya. Pertama: HAM (Hak Asasi Manusia). Pemikiran ini bersumber pada konsep kebebasan manusia. Bebas berkeyakinan, bebas berpendapat, bebas bertingkah laku dan bebas memiliki. Kedua: Kedaulatan membuat hukum di tangan manusia. Dalam ideologi liberal, manusia berdaulat membuat hukum, hingga hukum Allah pun harus diuji oleh “otak” manusia. Apakah syariah Allah harus diuji oleh otak manusia? Demikianlah dalam demokrasi, semua UU harus dinilai dan disetujui manusia/rakyat, sekalipun itu berasal dari syariah Allah.

 Ketiga: Islamophobia, yakni takut terhadap penerapan syariah Islam sebagai aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hujatan mereka terhadap peraturan-peraturan daerah yang bernuansa Islam begitu bertubi-tubi meski masyarakat setempat merasakan dampak positif dari aturan yang diterapkan. Inilah fakta yang akan terus terjadi ketika sebagian syariah diterapkan dalam habitat yang bukan sistem Islam (sistem demokrasi). Ketika ketimpangan muncul hal itu dituduhkan pada syariah Islam. Padahal ketimpangan itu terjadi justru karena produk aturan buatan manusia dan oknum yang menyimpang.

Di saat umat secara sistematis dipalingkan dari ketaatannya kepada Allah, maka menumpuklah problem yang melilit erat negeri ini. Tak sedikit umat Islam mencampakkan hukum Islam karena merasa malu atas tuduhan yang dialamatkan oleh musuh-musuh Islam. Mereka secara sengaja mempropagandakan hukum Islam sebagai ‘kolot’, ‘anti kemajuan’, ‘ekslusif’, ‘bias jender’ dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sebagai gantinya, umat Islam justru didorong untuk menerapkan berbagai aturan yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan itu bertentangan dengan syariah agama mereka.

Tuduhan-tuduhan bodoh ini secara konsisten terus dialamatkan pada Islam melalui peranan lembaga-lembaga internasional, terutama PBB yang hakikatnya merupakan alat penjajahan Barat. Di antaranya memakai modus "perang melawan terorisme", yang hakikatnya adalah perang melawan Islam.

Konspirasi Barat ini dilakukan tidak lain karena Islam dan umat Islam memiliki potensi ancaman terhadap dominasi peradaban Barat (Kapitalisme global). Selain potensi SDM yang sangat besar berikut SDA-nya yang melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan mampu mengubur sistem Kapitalisme global. 

Di samping itu, keluarga Muslim saat ini masih berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan individu, setelah hukum-hukum Islam lainnya menyangkut aspek sosial dan kenegaraan berhasil mereka hancurkan. Terpeliharanya sisa-sisa hukum-hukum Islam oleh keluarga-keluarga Muslim ini pun masih menyimpan potensi besar dalam melahirkan generasi-generasi pejuang yang menjadi harapan umat di masa depan. Inilah yang mereka takutkan. Dari keluarga-keluarga Muslim ini akan lahir sosok Muslim militan yang siap menghancurkan dominasi mereka atas dunia. Sadarilah…[VM]

Posting Komentar untuk "Radikalisme Sekuler Liberal Bahaya Laten yang Masih Liar dan Eksis"

close