Modus Operandi Pengemis Buntung: Bukti Kegagalan Pemerintah Mengentas Kemiskinan
Oleh: Ulfiatul Khomariah
(Mahasiswi S1 Sastra Indonesia Universitas Jember)
Berdasarkan beberapa sumber berita, saat ini banyak cara yang dilakukan para pengemis untuk menarik simpati para penderma. Belakangan ini terbongkar aksi modus operasi para pengemis di sejumlah wilayah dengan berpura-pura buta, pincang, buntung, dan yang lainnya. Kuat dugaan jika mereka merupakan sindikat yang pola operasinya memang sudah terorganisir. Seperti yang terjadi di Kota Bandung beberapa minggu lalu. Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bandung menangkap pengemis pria yang berpura-pura buntung di Jalan Otista, Kota Bandung. Pria ini mengaku bernama Alexander.
Kepala Dinsos Kota Bandung Aji Sugiyat mengatakan pria yang saat ditangkap mengenakan kopiah itu dibawa ke rumah singgah milik Dinsos di Sukajadi. Di media begitu gencar memberitakannnya, sampai-sampai Alex bak menjadi selebritis karena akhirnya banyak orang yang tahu tentangnya. Sebagian orang menjadikan aktivitas mengemis sebagai profesi untuk mencari penghidupan di tengah kesempitan hidup yang kian menjadi-jadi, tak telak himpitan ekonomi sering menjadi alasan untuk mencari mata pencaharian sebagai pengemis jalanan.
Pengemis memang menjadi permasalahan dimanapun. Tidak hanya di Indonesia, bahkan Negara-negara di dunia. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Kemensos, tercatat pada 2012 jumlah pengemis mencapai angka 178.262 orang. Kasus Alex adalah salah satu contoh diantara banyaknya pengemis yang ada di dunia ini. Masalah inipun menjadi masalah yang pelik, sebab hampir tiap tahun angka pengemis semakin bertambah. Ini dikarenakan profesi sebagai pengemis hanya membutuhkan modal minim seperti kaleng atau batok kelapa, namun menghasilkan penghasilan yang menjanjikan. Jadilah profesi ini sangat digandrungi.
Pengaturan mengenai pengemis sebenarnya bukan hal yang baru lagi. Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 sudah mengatur masalah penanganan pengemis. Namun, sepertinya itu tidak mampu memperbaiki dan menyelesaikan kondisi pengemis yang ada di Indonesia. Masalah pengemis mencuat kembali ke permukaan dan dianggap telah menimbulkan banyak permasalahan sosial seperti, makin maraknya kriminalitas, bertambah luasnya kawasan kumuh, makin meluasnya budaya miskin, munculnya pola hidup malas terutama di kalangan kaum muda dan lain-lain. Ini merupakan bukti gagalnya pemerintah dalam mensejahterakan rakyat dan mengentaskan masalah kemiskinan yang nyata-nyata ada di Indonesia maupun di belahan negara lainnya.
Akar Masalah: Kapitalisme-Liberal
Menjadi seorang pengemis tentunya bukanlah keinginan setiap orang. Dari sekian alasan yang paling menonjol mengapa sebagian orang memilih mengemis adalah karena faktor ekonomi. Masalah ekonomi yang hingga saat ini mencuat dan kian menjadi-jadi, tentu tidak terlepas sebagai imbas dari penerapan sistem politik (demokrasi) yang menjadikan manusia liar dan tidak manusiawi dan juga sistem ekonomi (kapitalisme-liberal) yang menciptakan kesenjangan ekonomi yang sangat parah dan ketamakan akan dunia.
Pada umumnya, mereka para pengemis berada dalam kondisi sulit, dimana mereka tidak mampu bersaing di tengah derasnya laju pembangunan dan teknologi. Sehingga dengan kondisi ketidakmampuan mereka tersebut, akhirnya mereka mendapat perlakuan yang diskriminatif terutama dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Akhirnya, kehidupan di jalanan dan mengemis dengan berbagai macam modus operandi merupakan pilihan terakhir untuk dapat bertahan hidup, khususnya di kota-kota besar.
Solusi Tuntas: Islam Mengentas Kemiskinan
Secara i’tiqadi, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Meskipun demikian, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan baik dan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.
Strategi pengentasan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam Islam memiliki berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program pengentasan kemiskinan dan sekaligus penciptaan lapangan kerja. Pertama, Islam mendorong pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro poor growth). Islam mencapai pro poor growth melalui dua jalur utama, pelarangan riba dan mendorong kegiatan sektor riil. Pelarangan riba secara efektif akan mengendalikan inflasi sehingga daya beli masyarakat terjaga dan stabilitas perekonomian terjaga.
Kedua, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak kepada kepentingan rakyat banyak (pro poor budgeting). Dalam sejarah Islam, terdapat tiga prinsip utama dalam mencapai pro poor budgeting yaitu disiplin fiskal yang ketat, tata kelola pemerintahan yang baik, dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan publik. Tidak pernah terjadi defisit anggaran dalam pemerintahan Islam walau tekanan pengeluaran sangat tinggi, kecuali sekali pada masa pemerintahan Nabi Muhammad karena perang. Yang lebih banyak didorong adalah efisiensi dan penghematan anggaran melalui good governance. Di dalam Islam, anggaran negara adalah harta publik sehingga anggaran menjadi sangat responsif terhadap kepentingan orang miskin, seperti menyediakan makanan, membayar biaya penguburan dan utang, memberi pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial, dan beasiswa bagi yang belajar agama.
Ketiga, Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memiliki dampak eksternalitas positif dalam rangka meningkatkan kapasitas dan efisiensi perekonomian. Keempat, Islam mendorong penyediaan pelayanan publik dasar yang berpihak pada masyarakat luas (pro poor public services). Dan kelima, Islam mendorong kebijakan pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin (pro poor income distribution). Terdapat tiga instrument utama dalam Islam terkait distribusi pendapatan yaitu aturan kepemilikan tanah, penerapan zakat, serta menganjurkan qardhul hasan, infak, dan wakaf.
Dengan penerapan zakat, maka tidak akan ada konsentrasi harta pada sekelompok masyarakat. Zakat juga memastikan bahwa setiap orang akan mendapat jaminan hidup minimum sehingga memiliki peluang untuk keluar dari kemiskinan. Lebih jauh lagi, untuk memastikan bahwa harta tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja, Islam juga sangat mendorong orang kaya untuk memberikan qard, infak, dan wakaf. Demikianlah Islam mendorong pengentasan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, fokus pada pengembangan sektor riil, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Semua itu hanya akan bisa terwujudkan di bawah naungan Khilafah yang menerapkan Islam secara kaaffah sesuai dengan metode kenabian.
Bukti Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya beliau berkata lagi,“Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”. Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut,“Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian, gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau,“Sesungguhnya aku telah melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya, “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat menyejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada orang nonmuslim. Dalam hal ini, orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk penduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum muslim.” Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.
Umar bin Khatab r.a. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya. Umar berkata, “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lanjut usia.
Demikianlah sedikit gambaran sejarah kaum muslim, solusi Islam bukan sekedar konsep semata, melainkan dapat direalisasikan dan terbukti sejarah kaum muslimin telah mencatat bahwa sepanjang peradaban Islam, membuktikan bahwa solusi Islam benar-benar dapat terealisasikan. Yaitu ketika kaum muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah. Betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat muslim tapi juga bagi umat nonmuslim yang hidup di bawah naungan Islam. Karenanya wajib dan butuh menerapkan Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah sesuai metode kenabian. Wallahu a’alam bish shawwab. [VM]
Posting Komentar untuk "Modus Operandi Pengemis Buntung: Bukti Kegagalan Pemerintah Mengentas Kemiskinan"