Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Stop Liberalisasi Migas, Kelola dengan Syariah!


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI 

Anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah Zubir tidak setuju jika SKK Migas dibubarkan dan dikembalikan kepada PT Pertamina (persero). Jika SKK Migas dibubarkan, kata Inas, Pertamina akan menjadi ‘raja minyak. “Pertamina jadi raja minyak seperti dulu lagi, orang-orangnya memperkaya diri,” kata dia di Jakarta, Selasa (27/9). Inas mengungkapkan, saat ini Komisi VII sedang membahas draf revisi UU No 22/2001 tentang Migas. Salah satu poin penting dalam revisi UU Migas tersebut adalah SKK Migas akan dirombak.

“Opsi kedua, SKK Migas akan dijadikan BUMN khusus. Namun pasti akan terjadi perdebatan panjang di Badan Legislatif, karena SKK Migas tidak akan berada di bawah UU BUMN melainkan UU Migas,” jelas dia. Menurut Inas, jika opsi kedua yang dipilih, maka bisa membuat perdebatan di Badan Legislatif seperti perang Baratha Yudha dalam kisah pewayangan. “Perdebatan SKK Migas menjadi BUMN khusu akan sangat panjang dan melelahkan,” ujar dia. (eksplorasi.id 28/9/2016)

Industri minyak dan gas bumi di Indonesia menuntut penguasaan Negara atas sektor yang dinilai menguasai hajat hidup rakyat banyak. Mengingat sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui itu merupakan kekayaan alam terbesar Indonesia yang diharapkan dapat mendorong sekaligus mempercepat tangga kemakmuran bangsa. Sehingga pada awal kekuasaan Orde Baru, sekitar tahun 1973, pendapatan dari sektor minyak dan gas bumi sempat diandalkan sebagai penghasil devisa Negara terbesar, sekitar 60%. Saat ini pun, kendati sektor migas tinggal menyisakan kontribusi sekitar 11,79% dari total APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), Namun masih “dipaksa” menjadi andalan.

Meski Indonesia memiliki laju pengurasan minyak yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara penghasil minyak dunia, ternyata pengurasan ini lebih banyak dilakukan perusahaan-perusahaan asing. Sementara itu, PT Pertamina (Persero), perusahaan BUMN minyak dan gas terbesar, belum bisa menjadi motor produksi minyak nasional.

Di Indonesia ada 60 kontraktor Migas yang terkategori ke dalam 3 kelompok: (1) Super Major: terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia; (2) Major; terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%; (3) Perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%. 

Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multinasional asing dan berwatak kapitalis tulen. Wajar jika negeri yang berlimpah-ruah dengan minyak dan gas ini ’meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut.

Dari sisi produksi, sumber energi primer Indonesia didominasi oleh sektor swasta baik asing maupun domestik. Untuk migas, misalnya, porsi Pertamina yang merupakan wakil Pemerintah dalam pengelolaan migas sekitar 86  persen. Ini pun sudah termasuk kerjasama dengan sejumlah Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) swasta.

Minimnya peran Pertamina tersebut merupakan buah dari kebijakan liberalisasi di sektor migas yang sejak lama diberlakukan di negara ini. Peraturan Pemerintah tentang Penanaman Modal No. 36 Tahun 2010, misalnya, mengizinkan investor asing untuk masuk ke pertambangan migas hingga 95 persen. Bahkan UU Migas, yang telah beberapa kali diuji materil di Mahkamah Konstitusi (MK), tetap melegitimasi liberasi di sektor ini. Fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi tersebut memang dianggap sesuai dengan konstitusi yang berlaku di negeri ini.

Dalam proses investasi dan pengelolaan migas, negara ini menganut sistem Production Sharing Contract (PSC), yakni pendapatan swasta diberikan kesempatan yang sama dengan Pertamina untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Setiap hasil produksi dibagi berdasarkan skema tertentu berdasarkan lokasi, tingkat kesulitan, jumlah kandungan sumur dan sebagainya. Perusahaan dari manapun yang memenuhi syarat dipersilakan mengikuti tender SKK Migas untuk mendapatkan ladang migas baru ataupun yang telah berakhir masa kontraknya. Pertamina yang nota bene merupakan BUMN sekalipun harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan swasta.

Pada proses tersebut, praktik-praktik kotor berpeluang terjadi antara peserta dengan pejabat yang berkepentingan baik dari internal SKK Migas, Kementerian ESDM dan pihak Legislatif. Pasalnya, tidak sedikit pejabat baik Eksekutif maupun Legislatif, yang memiliki saham di perusahaan migas atau setidaknya berkongsi dengan para pemiliknya. Kasus yang disangkakan kepada Anggota DPR, Sutan Batoegana, adalah contohnya.

Perusahaan pemenang tender, yang disebut Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), kemudian melakukan proses pengadaan barang dan jasa dalam rangka pelaksanaan eksplorasi. Seluruh biaya tersebut, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Pemerintah, kelak akan ditanggung oleh negara jika perusahan tersebut berhasil memproduksi migas. Biaya inilah yang dikenal dengan biaya pengganti (cost recovery). Pada titik ini, peluang terjadinya penggelembungan (mark-up) oleh produsen sangat dimungkinkan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah banyak menemukan hal ini yang nilainya triliunan rupiah. Pada periode 2009-2013, misalnya, dari 38 KKKS yang diperiksa, ditemukan mark-up sekitar Rp 6 triliun. Padahal laporan-laporan BPK tersebut hanya bersifat uji petik dari seluruh KKKS yang sedang beroperasi. Sayangnya, sebagaimana laporan-laporan BPK yang lain, banyak yang tidak ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

Melihat praktik pengelolaan migas di negara ini, sebenarnya negara tidak hanya dirugikan oleh keberadaan praktik-praktik ‘kotor’ seperti suap dan mark-up dalam pengelolaan migas, namun juga peraturan yang memberikan hak kelola kepada perusahaan swasta termasuk pihak asing. Dana yang mengalir ke kontraktor nilainya sangat besar. Angka tersebut tentu belum ditambah dengan ‘kebocoran’ yang dimanipulasi sedemikian rupa.

Praktik kotor oleh pelaku-pelaku kriminal di sektor migas, yang kerap diistilahkan dengan mafia, sesungguhnya tidaklah sulit untuk dilacak dan dihentikan. Berbagai laporan baik yang berasal dari BPK maupun yang berasl dari publik, sebenarnya sudah diungkap kepada penegak hukum. Namun, semua itu tidak ditindaklanjuti secara serius. Lebih dari itu, sanksi bagi mereka yang terbukti bersalah di pengadilan belum memberikan efek jera bagi pelaku dan efek yang membuat ciut nyali pelaku.

Kondisi ini sepenuhnya  tidak terlepas dari kebijakan tata kelola yang baik (good governance) ala neolib di bidang energi. Yaitu kebijakan energi dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik. Akibatnya sumber-sumber energi fosil sebagai energi primer yang merupakan sumber energi penting dan efektif, seharusnya dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat, harus   diserahkan pada pihak swasta terutama asing. Pihak swasta sebagai corporate  tentunya hanya berfokus pada kepentingan bisnis yang lebih mementingkan ekspor. Sesungguhnya kebijakan good governance dalam pengelolaan energi lahir dari sistem demokrasi kapitalis yang membuat  fungsi, wewenang dan tanggung jawab Negara dikebiri sebatas regulator saja. Hasilnya, negara hanya sebagai stempel legalisasi “perampokan” sumber-sumber energi yang merupakan harta milik umum seperti.

Sebagaimana halnya PT Pertamina Persero sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN),  yang sejatinya institusi industri milik umum seharusnya menjadi perpanjangan tangan negara dalam melakukan fungsi ri’ayah/pelayanan terhadap rakyat di bidang energi. Namun didorong sepenuhnya menjadi institusi bisnis dengan dalih agar pengelolaan energi dapat berjalan efektif dan efisien sebagaimana yang diamanatkan oleh konsep good governance ala sistem demokrasi kapitalis yang hakikatnya liberalisasi sumber-sumber energi penting.

Sementara problem kelangkaan BBM yang mendera negeri ini diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan Pemerintah. Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang sangat liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan Migas. Dalam UU ini: (1) Pemerintah membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN Migas Nasional diprivatisasi; (2) Pemerintah memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domestik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak; (3) Perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri.

Kelola dengan Syariah

Dalam pandangan Islam, semua sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia–baik primer seperti batu bara, minyak bumi, gas, energi matahari beserta turunannya (energi air, angin, gelombang laut), pasang surut dan panas bumi serta nuklir; maupun sekunder seperti listrik–adalah hak milik umum (milkiyah ‘ammah). Pengelola hak milik umum adalah negara, melalui perusahaan milik negara (BUMN). Individu/swasta dilarang memiliki energi tersebut untuk dikomersilkan. Karena itu, liberalisasi yang berujung pada privatisasi sektor-sektor tersebut diharamkan. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Ibn Abbas:

Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, padang dan api. Harganya pun haram. (HR Ibn Majah).

Air, api dan padang adalah tiga perkara yang dibutuhkan oleh semua orang demi kelangsungan hidupnya. Karena itu, Nabi saw. menyebut bahwa kaum Muslim (bahkan seluruh manusia) sama-sama membutuhkannya. Ketiganya disebut sebagai perkara yang menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itu, Islam menetapkan perkara seperti ini sebagai hak milik umum.

Semua sarana dan prasarana, termasuk infrastruktur yang berkaitan dan digunakan untuk kebutuhan tersebut, juga dinyatakan sebagai hak milik umum; seperti pompa air untuk menyedot mataair, sumur bor, sungai, selat, serta salurat air yang dialirkan ke rumah-rumah; begitu juga alat pembangkit listrik seperti PLTU, PLTA, dan sebagainya, termasuk jaringan, kawat dan gardunya. Yang juga termasuk milik umum adalah tambang gas, minyak, batubara, emas dan sebagainya.

Di sinilah perlunya kita berpikir jernih untuk menerima solusi ntuk mengembalikan kedaulatan migas dan terbebas dari cengkeraman Kapitalisme global dengan solusi yang berasal dari sistem  Islam, yaitu  syariah Islam  yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam.  Pertama, mengembalikan  sumberdaya alam, termasuk energi yaitu minyak, gas dan batubara serta sumber energi lainnya menjadi milik umum yang wajib di kelola oleh negara. Kedua, efisiensi harus dilakukan di seluruh mata rantai produksi dan distribusi.  Bila minyak mentah masih harus diimpor, Pemerintah seharusnya melakukannya langsung, tanpa melalui broker.

Ketiga, pembenahan transportasi publik. Ini karena dari sisi konsumsi, bila transportasi publik dibangun dengan massif, maka konsumsi BBM untuk transportasi dapat ditekan, kemacetan diurai, dan sekaligus polusi dan pemanasan global juga dapat diturunkan. Keempat, harus segera mewujudkan energi alternatif selain fosil secara serius; misalnya optimalisasi energi terbarukan (geotermal, surya, angin, ombak dan bahan bakar nabati) untuk lebih banyak diusahakan. Potensi geotermal yang 27 GW hampir sama dengan seluruh daya PLN saat ini.

Negara juga akan berfokus mengembangkan  badan risetnya di bidang energi, sehingga mampu menemukan sumber-sumber energi baru yang potensial untuk dieksploitasi. Negara memastikan bahwa semua energi tersebut dapat dinikmati oleh seluruh rakyat maupun oleh dunia industri. Kelebihan dari kebutuhan dalam negeri dapat diekspor ke luar negeri yang keuntungannya dikembalikan kepada seluruh rakyat dalam bentuk kebutuhan publik lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur maupun untuk riset dan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia bidang energi. [VM]

Posting Komentar untuk "Stop Liberalisasi Migas, Kelola dengan Syariah!"

close