Sebuah Renungan tentang Pengorbanan
Oleh : Aruum Mujahidah S.Pd.
(MHTI Kab. Tuban Jatim)
Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan mulia dalam Islam. Karena dalam bulan ini terdapat beberapa keutamaan seperti sepuluh hari pertama yang di dalamnya terdapat Hari Arafah dan Hari Raya Idhul Adha. Hari Arafah dimana kaum muslimin seluruh dunia melaksanakan puncak dari ibadah haji berupa wukuf di Arafah sedangkan kaum muslimin yang tidak pergi haji melaksanakan puasa Arafah yang pahalanya juga sangat besar di sisi Allah SWT. Belum lagi, hari ini merupakan salah satu waktu termakbulnya do’a seorang hamba sehingga banyak kaum muslimin yang mengisi hari ini dengan banyak bertasbih, bertahmid, bertakbir, bertahlil dan beristighfar. Setelah itu, tanggal 10 Dzulhijjah kaum muslimin seluruh dunia merayakan hari Raya Idhul Adha dan sebagian kaum muslimin juga menyembelih hewan korban bagi yang mampu.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita melakukan banyak pengorbanan. Pengorbanan ini kita lakukan tersebab tuntutan yang harus kita jalani atau mungkin untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Misalnya saja ketika seseorang dituntut untuk berangkat ke kantor tepat waktu tentu ada banyak hal yang harus dikorbankan. Mulai bangun lebih pagi, kemudian melaksanakan segala pekerjaan di rumah. Bahkan bagi wanita karir sekaligus berprofesi sebagai ibu maka akan banyak hal yang mungkin harus dikorbankan. Meninggalkan rumah di pagi buta disaat si kecil belum bangun atau bahkan mungkin tidak sempat membuatkan sarapan untuk keluarga dan sebagainya.
Selain itu, ketika ingin mendapatkan apa yang diinginkan tentu juga harus melakukan pengorbanan. Seorang pelajar yang ingin mendapatkan nilai bagus ketika ulangan, tentu harus mempersiapkan diri dengan banyak belajar, mengorbankan waktu untuk berfikir dan belajar berjam-jam bahkan mengorbankan dana untuk menambah jam tambahan sehingga lebih memahami pelajaran yang akan diujikan. Seorang petani atau mungkin nelayan, pedagang, pejabat, guru, dokter, politikus, pengusaha dan sederet profesi lainya tentu juga akan melakukan banyak pengorbanan baik dalam waktu, tenaga, pikiran maupun uang yang dimiliki dalam menjalani profesi mereka masing-masing.
Namun, perlu kiranya kita merenung untuk apa berbagai pengorbanan itu dilakukan. Yah, sebagian besar pengorbanan-pengorbanan itu kadang dilakukan hanya untuk menunjukkan eksistensi diri. Maksud dari eksisensi diri disini apakah untuk dianggap mampu, keren atau bahkan mungkin untuk mengejar sesuatu yang banyak diimpikan setiap orang, kebahagiaan. Memang tidak salah, sungguh tidak. Dan saya yakin masih banyak orang-orang yang ikhlas dalam mengorbankan yang dimiliki untuk sebuah kebaikan dan sebagai bentuk dari rasa tanggung jawabnya. Tapi tidak ada salahnya kita merenung sejenak sekaligus meluruskan. Sudahkah pengorbanan yang kita lakukan selama ini benar-benar untuk sebuah kebaikan dan kebahagiaan yang sesungguhnya ? Terlebih sudahkah pengorbanan yang kita lakukan memang benar-benar pengorbanan yang harus kita lakukan untuk mendapat nilai terbaik di hadapan Sang Illahi Rabbi? Karena sungguh sangat merugi jika semua yang kita korbankan ujungnya hanya sia-sia. Hanya mendapatkan penilaian baik di mata mausia tapi tidak dihadapan Rabb kita.
Setiap insan tentu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Dan untuk mencapai kebahagiaan itu tentu perlu sebuah pengorbanan. Maka sungguh bijak apa yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam mencapai kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan dunia tapi juga akhirat, kebahagiaan hakiki. Bulan Dzulhijjah ini mencontohkan kepada kita pengorbanan yang sesungguhnya. Nabiyullah Ibrahim as. begitu rela meski tetap ada rasa berat dalam hatinya saat akan menyembelih putranya Ismail as. demi memenuhi perintah Rabbnya, bentuk ketundukan seorang hamba kepada Rabbnya, ujungnya adalah kebahagiaan hakiki. Hal ini juga yang dicontohkan para generasi sahabat, tabiin, tabiut tabi’in dan salafus salih yang mengikuti jejak Rasulullah SAW. Sahabat Abu Bakar ra. yang mengorbankan seluruh harta yang dimiliki dan hanya meninggalkan Allah dan rasulNya untuk keluarga pada saat para sahabat diminta menginfakkan hartanya oleh Rasulullah Saw. Belum lagi, sahabat Ustman bin Afgan juga Abdurahman bin Auf yang tidak tanggung-tanggung mengorbankan hartanya di jalan Allah. Bahkan sahabat-sahabat yang lain meskipun tidak memiliki dana untuk berinfak, tetap tidak menghalangi mereka untuk mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk meninggikan Islam. Apalagi jika bukan darah, kehormatan dan nyawa mereka. Mengapa pengorbanan yang dilakukan sampai sedemikian rupa? Tentu karena mereka begitu memahami arti pengorbanan yang sesungguhnya. Dan semua pengorbanan itu hanya untuk mendapatkan nilai terbaik dihadapan Rabbnya, Allah SWT. Inilah pengorbanan yang seharusnya dilakukan oleh setiap insan.
Maka, di bulan Dzulhijjah ini merupakan momen yang tepat untuk meluruskan arti dari sebuah pengorbanan. Momen untuk bercermin akan pengorbanan yang sudah kita lakukan sejauh ini. Ujung dari sebuah pengorbanan adalah kebahagiaan yang didambakan setiap insan. Bukan kebahagiaan semu saja, akan tetapi kebahagiaan hakiki, itulah surga. Tempat di mana kita akan merasakan nikmat tiada tara, menghapus segala resah dan gulana karena yang ada hanya bahagia. Dan untuk mendapatkannya butuh sebuah pengorbanan. Oleh karenanya, apapun profesi kita, lakukanlah pengorbanan itu dalam arti yang sesungguhnya. [VM]
Posting Komentar untuk "Sebuah Renungan tentang Pengorbanan"