“Tax Amnesty”, Untuk Kepentingan Siapa?
Oleh : Wahyu Titis Lestariningrum, S.Si., Apt.
(Aktivis MHTI Cilacap)
Ungkap-tebus-lega, demikian bunyi slogan amnesti pajak. Amnesti Pajak /Tax Amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan demikian menurut definisi pajak.
Amnesti pajak, sejak program ini diberlakukan telah membuat gaduh di tengah masyarakat. Sejumlah kalangan masyarakat, terutama para penunggak pajak, merasa keberatan dengan tarif tebusan yang dinilai cukup besar bila dihitung dari jumlah penghasilan yang tidak dilaporkan selama ini. Program kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty pun mulai memicu keresahan masyarakat, utamanya masyarakat menengah kebawah. Wajib Pajak (WP), diharuskan mengungkap serta melaporkan seluruh hartanya kepada otoritas pajak, jika tidak ingin dikenakan denda.
Target penerimaan pajak dinilai sangat ambisius. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, pemerintah menargetkan pendapatan sebesar Rp 1.822,5 trilyun. Target pendapatan Negara tersebut bersumber dari penerimaan Perpajakan sebesar Rp. 1.546,7 trilyun dan penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 273,8 trilyun. Sedangkan target deficit anggaran ditetapkan menjadi Rp 273,2 atau setara 2,15 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).
Pengalaman tahun lalu, penerimaan dari pajak meleset, padahal dengan target lebih rendah. Bisa dibayangkan, target tahun lalu yang lebih rendah saja tidak tercapai, bagaimana dengan target tahun ini yang jauh lebih besar?
Inilah mengapa pemerintah Jokowi terus mencari jalan untuk mendapatkan pundi-pundi uang. Salah satu jalannya dengan menggaet para konglomerat hitam yang melarikan uang hasil jarahannya yang kini banyak diparkir di luar negeri. Pemerintah mengiming-imingi pengampunan pajak (tax amnesty) bagi mereka yang mau melaporkan harta kekayaannya. Dari sana, pemerintah berharap bisa mengeruk pendapatan baru sebesar Rp 195 trilyun.
Siapa yang Diuntungkan ?
Beberapa kalangan menyangsikan motif ekonomi sebagai landasan kebijakan rezim Jokowi ini. Diantara mereka menuding hal ini ada kepentingan lain di luar factor ekonomi semata untuk meningkatkan penerimaan pajak. Kepentingan itu adalah kepentingan balas jasa kepada para konglomerat hitam yang dulu telah berjasa mengantarkan rezim ini ke tampuk kekuasaan.
Melalui kebijakan ini, kata mereka , para konglomerat hitam ini mendapatkan legalitas terhadap harta yang dulunya mereka ambil secra tidak sah dari bumi Indonesia. Mereka yang dulu dianggap sebagai penjahat karena telah melarikan uang dari Indonesia, dengan pengampunan pajak–dengan sedikit membayar kepada Negara- berubah menjadi bak pahlawan yang telah ikut menyumbangkan dananya bagi pembangunan. Dampak yang lebih jauh, harta mereka menjadi harta legal setelah sekian lama tersimpan sebagai harta illegal. Berbagai tindak kejahatan yang pernah mereka lakukan terkait asal muasal harta hartanya, bisa jadi menguap begitu saja.
Kebijakan pengampunan pajak ini sejatinya menciderai rakyat kecil. Rakyat selama ini dikejar-kejar untuk taat membayar pajak, bahkan dikenai denda bila mereka terlambat atau tidak membayar pajak, sekarang para pengemplang pajak kelas kakap justru dilindungi oleh Negara dan mendapatkan diskon pembayaran pajaknya melalui amnesti pajak. Rakyat kecil akhirnya mendapat kezaliman tiga kali. Pertama, ketika mereka dipaksa membayar pajak; kedua, ketika penguasa berpihak kepada para pengusaha yang jelas-jelas sebelumnya tidak ikut andil membiayai pembangunan; ketiga, rakyat dipaksa mensubsidi para konglomerat melalui kebijakan Negara yang pro kepada para pengusaha-seperti BLBI.
Menzalimi Rakyat
Saat ini, pajak bahkan menjadi satu-satunya sumber pemasukan terbesar dalam APBN kita selama puluhan tahun. Dalam APBN tahun 2016 ini, pemasukan dari pajak ditargetkan 75% dari total pemasukan APBN. Jika ditotal dengan kepabeanan dan cukai sebesar 10%. Maka jika keduanya digabung, praktis penerimaan dari perpajakan adalah 85% dari total penerimaan APBN. Pemasukan APBN dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) hanya ditargetkan 15% atau sebesar Rp 273,8 trilyun. Dari jumlah sebesar itu, penerimaan dari migas (minyak dan gas) hanya Rp 78,6 trilyun (Kemenkeu.go.id).
Fakta di atas membuktikan bahwa selama ini APBN tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada para pemilik modal, terutama pihak asing. Apalagi subsidi untuk rakyat terus dikurangi, sementara beban pajak untuk rakyat makin ditambah, diantaranya melalui UU Tax Amnesty, yang ternyata disinyalir akan menyasar juga rakyat kebanyakan. Padahal selama ini pun mereka terbebani oleh berbagai pungutan pajak yang amat memberatkan.
Terkait itu, baginda Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidaklah seseorang diangkat untuk mengurusi rakyat, lalu mati, sementara ia menipu (menzalimi) rakyatnya. Kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga.” (HR. al Bukhari).
Solusi Nyata
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya seperti emas, perak, tembaga, timah, bouksit, nikel minyak dan gas (migas) serta batubara. Selai kekayaan lain berupa puluhan juta hektar hutan, kekayaan laut dengan jutaan ton ikannya, dll. Namun anehnya, sumber utama APBN kita bukan dari hasil kekayaan alam yang melimpah tersebut, tetapi sumber utama APBN justru diperoleh dari pajak yang sebagian besarnya dipungut dari rakyat. Pertanyaannya: Lalu kemana uang hasil dari berbagai sumber daya alam milik rakyat tersebut? Tidak lain, sebagian besarnya masuk ke pihak swasta, khususnya pihak asing. Mengapa? Karena memang sebagian besar sumber daya alam milik rakyat itu sudah lama berada dalam genggaman pihak swasta terutama pihak asing. Menurut Data Litbang Kompas, hingga tahun 2011 saja asing telah menguasai : 70% tambang migas; 75% batubara, bauksit, nikel dan timah, 85% tembaga dan emas; dan 40% perkebunan sawit dari total 8,5 juta hektar.
Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber kekayaan alam milik umat jelas haram karena bertentangan dengan nash-nash syariah, antara lain sabda Nabi saw : “Umat manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara; air, padang gembalaan dan api.” (HR. Ibn Majah).
Sehingga solusi yang diperlukan saat ini tidak lain adalah dengan mengembalikan semua sumber daya alam ittu kepada umat sebagai pemiliknya yang sah, lalu dikelola oleh Negara, seluruh hasil dari sumber daya alam itu pasti akan dinikmati sepenuhnya oleh rakyat, bukan oleh segelintir pihak swasta dan pihak asing. Sehingga Negara tidak akan terus-menerus membebani rakyatnya dengan berbagai pungutan pajak. Mengapa? Karena hasil dari sumber daya alam itu sudah lebih dari cukup untuk membiayai pengurusan rakyat, bahkan akan sanggup untuk mmakmurkan dan mensejahterakan mereka.
Wujud ketaqwaan hakiki yaitu menjalankan seluruh syariat Islam secara Kaffah, jika umat ini telah benar-benar bertaqwa, Allah SWT pasti akan mnurunkan keberkahan-Nya dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya yang artinya : “Jika saja penduduk negeri beriman, Kami pasti akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (kami) sehingga kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka lakukan itu”. (QS. Al-A’raf [7] : 96). Wallahu’alam bishowab. [VM]
Posting Komentar untuk "“Tax Amnesty”, Untuk Kepentingan Siapa?"